Terakota.id–Permukiman kuno pada masa peralihan Kerajaan Kadiri menuju Kerajaan Singhasari diduga berada di Desa Landungsari, Dau, Kabupaten Malang. Jejak arkeologis ditemukan di sebuah areal persawahan yang diapit Sungai Sungai Metro dan Sungai Braholo. Meliputi batuan padas kuno, batu bata dan kepingan gerabah yang diduga dibuat pada abad ke 13.
Bagian atas batuan padas ada torehan garis, belum diketahui apakah itu gambar kuno, tulisan atau coretan biasa. Arkeolog Universitas Negeri Malang, M. Dwi Cahyono menjelaskan kepingan gerabah diperkirakan sebuah wadah air untuk kebutuhan air minum. Bukti lokasi itu merupakan permukiman kuno yakni batu bata dan bebatuan padas membentang dalam ukuran 10 meter kali 15 meter.
Lokasinya lebih tinggi satu meter dibandingkan lahan persawahan sekitar. Batu bata kuno tersebut diukur panjang 38 sentimeter dengan lebar 22 meter, setebal 9 sentimeter. Untuk menuju lokasi, harus berjalan menyusuri pematang sawah sejauh satu kilometer.
Lokasi permukiman kuno hanya terpaut jarak 300 meter dari Situs Watugong dan sekitar satu kilometer dari Desa Karuman tempat tinggal ayah angkat Ken Arok, Bango Samparan. Dekatnya jarak dengan situs, memperkuat dugaan jika lokasi itu merupakan permukiman kuno.
Dalam prasastri Ukir Negara 1998, disebutkan daerah Wurandungan merupakan daerah perdikan yang diberikan Rakai Pamotoh bernama Dyah Limpa kepada warga setempat. Rakai adalah penguasa watak (distrik) Pamotoh atas nama Raja Kadiri menganugerahkan tanah kepada penduduk. Nama kuno Desa Wurandungan kemudian berubah menjadi Klandungan yang berbatasan dengan Kota Malang.
Permukiman kuno sebagian mendekati sumber mata air dan sungai untuk memenuhi kebutuhan air minum. Tetapi tak berdiri di tepi sungai. Mereka, katanya, memperlakukan air sebagai sangat istimewa sebagai sumber kehidupan. Terutama terhadap petirtaan atau air suci digunakan khusus untuk kebutuhan ritual keagamaan. “ Mereka tak pernah membuang sampah dan buang air besar di sungai,” katanya.
Sungai Brantas saat itu memiliki peranan penting untuk penduduk yang bermukim di perkampungan kuno. Aliran air sungai terjaga, tetap bersih untuk memasok kebutuhan air bersih dan sarana irigasi pertanian. Sehingga Sungai Brantas diperlakukan khusus, dihormati dan dikeramatkan.
Kampung Warna-Warni
Namun, kini sepanjang bantaran sungai berubah menjadi permukiman padat. Sampah bertebaran di sepanjang daerah aliran sungai. Seperti di kawasan daerah aliran sungai Brantas berdiri permukiman liar, padat dan tak beraturan. Terutama di bawah jembatan buk gluduk yang menghubungkan jalur utama Malang-Surabaya. Sisi kiri dan kanan sungai dipenuhi bangunan rumah, berhimpitan. Lokasinya hanya selemparan batu dari Kantor Wali Kota Malang.
Kini, kawasan permukiman padat itu dikenal dengan sebutan kampung warna-warni atau Kampung Wisata Jodipan (KWJ). Setiap rumah dicat warna warni, inisiatif mengecat rumah warga berasal dari mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammaidyah Malang yang tergabung dalam kelompok guyspro. Mereka mengusulkan mengecat rumah warga berwarna-warni untuk keperluan praktikum hubungan masyarakat.
Pengecatan dimulai 6 Juni 2016, melibatkan sebuah perusahaan produsen cat asal Malang. Koordinator guyspro, Nabila Firdausiyah mengaku tertantang mengubah citra Jodipan sebagai salah satu dari 10 permukiman kumuh di Indonesia. Selain itu juga untuk mengubah perilaku warga di bantaran sungai yang kerap membuang sampah ke sungai.
Jodipan juga dipilih lantaran memiliki lanskap yang bagus jika dilihat dari jembatan buk gluduk di Jalan Gatot Subroto. Nabila melakukan survei lapangan dan mendekati warga setempat. Gayung bersambut, warga setuju rencana pengecatan. “Komunitas mural dan seniman dilibatkan melukis dinding rumah,” katanya.
Masih separuh proses pengecatan, tak disangka banyak orang berkunjung dan berfoto. Selanjutnya, foto kampung warna-warni viral di media sosial. Ketua RW 2 Kelurahan Jodipan, Soni Parin menjelaskan perkampungan di bantaran sungai menjamur sejak 1970-an. Warga pendatang mendirikan rumah di tanah milik Negara.
Pensiunan tentara ini mengaku nyaman dan kerasan tinggal di kawasan bantaran sungai. Sanitasi, limbah domestik rumah tangga menjadi masalah keseharian warga setempat. Tak semua rumah memiliki kamar mandi dan toilet.
Sebuah toilet umum digunakan warga secara bergantian. Namun, warga lebih sering buang air besar di sungai. “Warga biasa membuang sampah ke sungai, sekarang malu banyak orang datang masa perilakunya tetap,” kata Soni.
Kini, tak ada warga yang membuang sampah maupun buang air ke sungai. Sampah rumah tangga diangkut ke atas oleh petugas kebersihan. Sebagai warga yang bermukim di bantaran sungai, Soni menyadari permukiman terancam digusur sewaktu-waktu.
Menata Perkampungan Kumuh
Koordinator Kotaku (Kota Tanpa Kumuh) Winardi menilai konsep kampung warna-warni tak bisa mengatasi persoalan permukiman kumuh. Meski diakui ada hasil positif seperti perilaku membuang sampah berubah, dan menggerakkan ekonomi warga setempat. Namun, bangunan rumah yang tak teratur, padat, jalan sempit, dan luas bangunan tak memadai.
“Seolah-olah bagus dan indah. Jalannya sempit, kayak labirin, lorong,” katanya. Agar program tepat sasaran diluncurkan Kotaku untuk mengatasi persoalan kampung kumuh. Kotaku merupakan program dari Direktorat Jenderal Pekerjaan Umum, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Sejak tiga tahun lalu penataan kawasan kumuh dimulai dengan mengidentifikasi kawasan melalui pencitraan satelit. Luas permukiman permukiman kumuh diukur dan ditetapkan dalam Surat Keputusan Wali Kota Malang. Total luas permukiman kumuh 608 hektare, tersebar di 29 Kelurahan. Kantung permukiman padat, dan miskin berada di Kotalama, Ciptomulyo, Polehan, Bale Arjosari, Sukun dan Tulusrejo.
Kelurahan Ciptomulyo menjadi kawasan dengan permukiman kumuh terluas mencapai 62,60 hektare. Kotaku, katanya, melibatkan masyarakat dan komunitas untuk ikut mendata dan mencari jalan keluar masalah perkampungan kumuh. Setiap kelurahan sasaran menyusun peta, dan merencanakan aksi tindak lanjut untuk mengurangi permukiman kumuh.
Saat ini dokumen tengah ditinjau ulang untuk verfikasi lapangan dan memperbaiki jika ada ketidaksesuaian dengan lapangan. Data visual dari pencitraan saletit terhadap kepadatan bangunan, diverifikasi langsung di lapangan.
Secara umum, katanya, kawasan permukiman kumuh berada di kawasan bantaran sungai, berhimpitan dengan rel kereta, dan daerah permukiman padat. “Kawasan kumuh di bantaran sungai tersebar di Jodipan, Kota Lama, Kedungkandang, Sukun, dan Dinoyo,” katanya.
Program Kotaku telah menata permukiman kumuh di daerah aliran sungai. Penataan dilakukan di RW 2 Sukun, sebanyak 24 rumah diatur mundur sampai 15 meter dari bibir sungai. Bangunan rumah ditata menghadap sungai. Tak ada konflik, penataan rumah kumuh dilakukan melalui musyawarah dengan warga setempat.
“Ini bisa menjadi model penataan di bantaran sungai lain,” ujarnya. Bidang tanah sepanjang 15 meter dari bibir sungai, katanya, bisa dimanfaatkan menjadi ruang terbuka hijau. Seperti menjadi taman sekaligus jalan inspeksi. Selain itu, juga dibangun sumur resapan dan biopori di sepanjang kawasan itu.
Kotaku mengalokasikan anggaran masing-masing kelurahan sebesar Rp 500 juta. Digunakan sesuatu kebutuhan seperti memperbaiki akses jalan, penataan bangunan, perbaikan drainase, akses air minum, biopori, sumur injeksi dan pengelolaan Instalasi Pengolahan Limbah (IPAL) komunal.
Tahun ini Kotaku Malang dianggarkan dana sebesar Rp 4,7 miliar untuk Rp 10 kelurahan. Sedangkan tahun depan direncanakan anggaran meningkat menjadi Rp 50 miliar. Program ini, katanya, diharapkan diimbangi dengan kinerja yang sama dari Organisasi Pemerintah Daerah (OPD) setempat. “Perkampungan kumuh harus diatasi secara terpadu, tak bisa parsial,” ujarnya.
Target 2019 Bebas Kumuh
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mengucurkan dana untuk mengatasi permukiman kumuh di Kota Malang. Targetnya pada 2019 tak ada lagi perkampungan kumuh di Kota Malang. Penanganan permukiman kumuh dilakukan bertahap, direncanakan sesuai dengan skala prioritas. Wali Kota Malang Mochamad Anton menjelaskan tahap pertama 2015 Kota Malang mendapat bantuan anggaran Rp 30 miliar. Tahap awal anggaran difokuskan menangani permukiman kumuh di Sukun, Polehan, Balearjosari, Tulusrejo, dan Kota Lama.
“Telah dilakukan identifikasi dan strategi penanganannya,” kata Anton Bantuan perupa pembangunan infrastruktur dan perbaikan rumah untuk keluarga masyarakat berpenghasilan rendah. Pada 2012 dibangun 600 unit rumah layak. Sedangkan 2013 diserahkan bantuan untuk perbaikan sekitar seribu unit rumah di perkampungan kumuh.
Masyarakat juga membutuhkan perbaikan infrastruktur, meliputi drainase, penerangan jalan umum, dan infrastruktur lain. Untuk mempercepat pembangunan permukiman kumuh, dilakukan usaha melalui dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dan Bank Dunia.
Lima Kelurahan yang menjadi prioritas penanganan permukiman kumuh. Padahal Wali Kota Malang telah mengeluarkan surat keputusan perkampungan kumuh tersebar 29 Kelurahan seluas 608 hektare. Kelurahan terluas perkampungan kumuh di Kelurahan Bareng 81,56 hektare, disusul Ciptomulyo 81,56 hektare, Penanggungan 53,01 hektare, Kasin 48,2 hektare dan Mergosono 47,2 hektare.
Justru kelima Kelurahan belum tersentuh banyak program untuk mengurangi perkampungan kumuh. Seperti di Kelurahan Ciptomulyo bangunan rumah berhimpitan, berjajar tak beraturan. Kali badek atau sungai bau membelah perkampungan itu. Aroma tak sedap menguar di udara, air sungai hitam pekat mengalir deras. Air berubah warna menjadi hitam akibat pencemaran limbah industri dan rumah tangga.
Peta Sanitasi dan Diare di Kota Malang 2016
“Pembuangan dari toilet masuk ke drainase, mengalir ke sungai,” kata Sekretaris Kelurahan Ciptomulyo, Mokhamad Dulajis. Kelurahan Ciptomulyo seluas 193,0 hektare dihuni sebanyak 16.711 jiwa terdiri dari 3.744 Kepala Keluarga. Sejauh ini, baru pembangunan sumur bor untuk memasok kebutuhan air bersih bagi 375 Kepala Keluarga.
Sebuah tendon air berdiri di depan Kantor Kelurahan. Tendon dibangun Dinas Pekerjaan Umum Kota Malang, pengelolaan air diserahkan kepada Himpunan Penduduk Pengguna Air Minum (HIPPAM) Ciptomulyo. “Warga cukup membayar Rp 20 ribu. Masih 10 persen yang menggunakan air sumur tercemar e.coli,” katanya.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perencanaan Ruang Kota Malang, Hadi Santoso menjelaskan selama empat tahun telah menerima anggaran dana Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Pada 2014 Rp 30 miliar, 2015 Rp 29,5miliar, 2016 menjadi 30 miliar, dan 2017 sebesar Rp 4,7 miliar.
“Dana digunakan untuk rehab rumah. Selama tiga tahun direhab 680 rumah,” ujarnya. Selain itu, juga digunakan pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbag (IPAL) Komunal. Dialokasikan anggaran Rp 400 juta untuk menampung limbah domestik rumah tangga dari 50 sampai 100 kepala keluarga. Sejauh ini telah dibangun IPAL Komunal di 85 titik.
Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum dan Perencanaan Ruang Kota Malang Sumardi Mulyono berulang kali mendapat penolakan warga atas pembangunan IPAL Komunal. Penolakan warga kuat saat awal dan tak memahami pentingan sanitasi. “Saya pernah diancam, mau dicelurit,” katanya.
Agar IPAL Komunal menarik, di atasnya dibangun ruang pertemuan dan taman bermain. Sehingga terlihat indah dan menarik. Telah dibangun IPAL Komunal di Ciptomulyo, Sukun, Jodipan, Polehan, Tulusrejo, dan Bandulan. Target 2019 bebas kumuh, katanya, sulit terealisasi. Dia mengklaim telah mengatasi sekitar 50 persen permukiman kumuh selama empat tahun terakhir.
Data Dinas Kesehatan yang dihimpun melalui Puskesmas 2014 menyebutkan sebanyak 140.815 rumah dikategorikan sehat. Meningkat dibandingkan 2013 sebanyak sebanyak 134.216 rumah layak huni dari total 183.921 rumah di Kota Malang. Kini, sebanyak 7.428 rumah dibina agar layak dan sehat.
Sementara akses air minum sebanyak 148.143 jiwa menggunakan sumur gali. Sedangkan 63.343 orang menggunakan sumur gali terlindung dan memenuhi syarat. Pengguna sumur gali dengan pompa mencapai 391.487 orang.
Sedangkan pengguna sumur gali dengan pompa dan memenuhi syarat mencapai 140.452 orang. Mayoritas penduduk Kota Malang menggunakan jaringan air minum dari PDAM atau HIPPAM mencapai 644.573 penduduk.
Survei Dinas Kesehatan Kota Malang 2014 menyebutkan jenis jamban leher angsa yang paling banyak digunakan mencapai 144.380 rumah. Disusul jamban jenis cemplung yang mencapai 29.047 rumah dan jamban jenis komunal 20.300 rumah dan jamban jenis plengsengan 9.195 rumah.
Sehingga total jumlah rumah tangga yang menggunakan jamban yang layak dan sehat mencapai 202.931 keluarga.Selebihnya, belum menggunakan jamban yang layak dan sehat. Bahkan masih ditemukan keluarga yang melakukan buang air besar sembarangan.
“ISPA, dan diare menjadi penyakit menular yang disebabkan buruknya sanitasi dan kualitas lingkungan permukiman,” ujar Kepala Dinas Kesehatan Kota Malang, Asih Tri Rachmi Nuswantari. Usaha pencegahan, katanya, yang paling efektif dengan mengubah perilaku masyarakat. Seperti tak membuang sampah dan buang air besar sembarangan.
“Butuh teladan, untuk ubah perilaku,” katanya. Kepala seksi kesehatan lingkungan dan olahraga Dinas Kesehatan Kota Malang, Herawati mengaku telah berperan melakukan perbaikan lingkungan. Dibentuk pokja sanitasi yang terdiri dari lintas sector. Rutin dilakukan penyuluhan dan pendidikan sanitasi. “Butuh waktu lama. Bolak-balik kunjungan,” ujarnya.
Hasilnya sejumlah kelurahan telah memiliki akses terhadap jamban sehat. Menyebar di Kelurahan Sawojajar, Arjosari, GadingKasri, Arjowinangun, Madyopuro, dan Mojolangu. Pemetaan data jamban dilakukan melalui sistem SMS Gateway, dengan pendataan langsung di lapangan oleh para kader posyandu.
Rusunawa untuk Warga Miskin
Dinas Pekerjaan Umum dan Perencanaan Ruang juga menyiapkan rumah susun sewa (Rusunawa). Terdiri dari Rusunawa Buring 1 terdiri dari dua menara dan Buring 2 terdapat satu menara. Tersedia total 200 unit yang disediakan untuk masyarakat berpenghasilan rendah.
Calon penghuni diseleksi, diidentifikasi benar-benar warga miskin dan berpenduduk Kota Malang. Sayang, calon penghuni terbuka tak dikhususkan bagi penduduk yang bermukim di permukiman kumuh.
Sehingga banyak penghuni permukiman kumuh tak tertarik berpindah ke rusunawa. “Biaya Sewa antara Rp 100 ribu sampai Rp 150 ribu bulan. Sesuai lokasi,” kata Kepala Dinas PUPR Kota Malang, Hadi Puspita.
Lokasi rusunawa bersebelahan dengan kawasan permukiman kumuh di Gadang dan Buring. Penduduk Gadang sebanyak 21.080 jiwa terdiri dari 6.035 kepala keluarga. Sekitar 4 persen kepala keluarga berada di permukiman bantaran sungai.
Namun warga yang bermukim di bantaran sungai mengaku lebih nyaman di rumah tinggal sendiri dibanding harus sewa. Seperti yang disampaikan pasangan Rifai Sudarma dan Poniti. Suami istri warga RT 2, RW 10 Kelurahan Gadang ini membangun rumah di bantaran sungai sejak 1982. Mereka mengakui jika rumahnya berdiri di tanah milik Negara.
“Tak ada sertifikat, tanah pengairan,” ujarnya. Selain lebih nyaman, dia juga tak harus mengeluarkan biaya ekstra untuk sewa. Mandi dan mencuci di sungai menjadi aktivitas setiap hari. Sebuah IPAL komunal dibangun samping rumahnya sejak tiga tahun lalu, melayani 50 keluarga.
Namun, kini sambungan pipa utama pecah sehingga menimbulkan bau menyengat. Terutama saat musim penghujan. Sementara untuk kebutuhan air minum, dia menggunakan jaringan pipa air minum dari PDAM Kota Malang. “Pernah sakit diare, tetapi tak sampai parah dan masuk rumah sakit,” katanya.
Jalan, baca dan makan
[…] Dihadiri oleh sekitar 15-an jurnalis di Bojonegoro. Terakota.id menyajikan dua karya jurnalistik mendalam mengenai isu kesehatan. Yakni berjudul, “Pusat Kerajaan Singhasari Dulu dan Kini” dan “Antara Permukiman Kuno dan Permukiman Kumuh.” […]