Perlukah Jathil Erotis Terwariskan? Oleh: Frengki Nur Fariya Pratama*

Tarian Jathilan Reyog Ponorogo. (Foto: https://phinemo.com).
Iklan terakota

Terakota.ID-Wajah cantik, menawan, seksi dan erotis. Begitulah sekilas pandang yang tergambar mana kala mendengar jathil reyog hari ini. Stigma buruk itu merundung salah satu moda kesenian Reyog Ponorogo yakni Reyog Obyog. Keberadaan Reyog obyog dianggap buntut adanya segala hal buruk dalam pementasan Reyog. Reyog Obyog pun terpojok. Sebaliknya, Reyog Festival dianggap sebagai ejawantah segala baik. Pakem, original, berkebudayaan, megah, dan adi luhungnya kesenian Reyog ada padanya. Stigma Reyog Obyog yang tentunya mengkhawatirkan jika terus dibiarkan. Sungguh miris dan tragis.

Tak ubahnya merunut panjang bentang tali. Kala nanti Reyog obyog tidak diakui masyarakat luas, putus sudah bentang tali historis untuk menelusur keberadaan Reyog Ponorogo. Apalagi, historis reyog versi Bantarangin juga perlu telaah yang lebih rinci. Perlu memilah antara historis dan legenda.

Begitu pula saat membincang erotisme Jathil. Pasti, pernyataan “ini adalah tradisi yang telah diwariskan!” muncul dalam perdebatan. Tunggu dulu! Bukankah dahulu pemeran jathil itu laki-laki? Bukankah transformasi dari laki-laki menjadi perempuan itu untuk membendung stigma buruk homoseksual yang tak sesuai norma? Transformasi itu pun demi memunculkan seni yang moralis, meskipun agak politis. Merujuk pada substansi bu(di)daya atas adanya  kecerdasan manusia.

Erotisme sebuah sudut pandang yang memang bersandar pada satu term erotis begitu memojokkan sebuah karya seni. Bukan tanpa sebab atau malah mengerdilkan. Namun lebih tepat jika dipandang lebih jauh ke depan. Memandang suatu hal dengan kesadaran dialektik –hal apa yang  nanti bakal terjadi. Mengingat hari-hari ini stigma itu kian kuat. Terdukung pula berbagai kasus pelecehan dan pemerkosaan yang melibatkan relasi kuasa yang kian mencuat. Apalagi, Jathil telah mengalami hyper-exposure, mengalahkan eksistensi kelompok Reyog itu sendiri.

Sosok “Jathil cantik” lebih dikenal dan lebih mendapat perhatian. Bak artis kondang yang membintangi layar perfilman. Identitas Reyog yang dulu terpaku pada Dadhak Merak kini bergeser pada jathil yang berbedak dan bergincu. Tentu itu tidak salah. Itu sebuah kreativitas yang seturut dengan perkembangan zaman. Hanya saja, kasihan nasib anak-anak kecil yang sedari orok terjejali stigma Reyog yang terlampau  erotis. Lalu menganggap erotis itulah bentuk original Reyog Ponorogo.

Tinggal menunggu internalisasi dari ingatan anak kita nanti. Mana yang menang antara reyog sebagai seni luhur atau aduhai manis Jathil reyog yang dilestarikan.

Dari Masa Lalu

Menelusuri jejak masa lalu, Reyog memang sebutan Jathil itu sendiri. Minimal beberapa kamus Jawa awal abad 19 hingga 20-an. Inventarisasi kata dari Bauwarna karya Ngabèi Wirapustaka atau Padmasusastra (1828), Javaansche Woordenlijst karya H.A. De Nooy dibantu Mas Padmasoesastra (1893) dan Pusaka Jawi diterbitkan Java Instituut (April 1926, edisi 4, tahun ke-V) mencatat Reyog merupakan nama lain dari Jathil, Jaranan, atau pun ébleg, tiruan kuda yang ditunggangi para pemainya. Hal itu juga bisa diamati dari representasi kesenian reyog di lain daerah seperti Blitar, Tulungagung dan Kediri.

Bahkan representasi kesenin reyog sebagai prajurit ditemukan pula di Jawa Barat. Tak heran, jika memori masyarakat lebih mengenal reyog sebagai jathilan. Dari sana, ciri jathil pun muncul yakni pemain yang berlagak seperti pasukan berkuda yang memakai kuda ebleg bambu atau sekelompok pasukan. Hingga Kamus Besar Bahasa Indonesia berkembang menyebut Reyog sebagai topeng raksasa berkepala harimau, sekelompok pasukan, atau pun kesenian lawakan.

Tarian Reyog Ponorogo, menampilkan naga dan kuda lumping atau jathilan. (Foto: Tropen Museum).

Lalu, bagaimana dengan keberadaan jathil hits ponorogo saat ini?

Beberapa sesepuh seniman reyog ponorogo pun mengkritisi hal tersebut. Pemain Jathil obyog secara tegas dianjurkan untuk memakai ébleg agar tidak menghilangkan ciri Jathilnya. Kritik ini pun dimaksudkan untuk membendung erotisme yang terjadi. Supaya kelompok Reyog di kota-kota lain tidak meniru kreativitas Jathil Reyog Ponorogo “yang begitu progresif”. Belum lagi jika muncul suara yang menganggap Jathil obyog sebagai objektifikasi perempuan. Malah semakin mengerdilkan eksistensi reyog Ponorogo itu sendiri.

Perlu diingat, tekad diakuinya Reyog Ponorogo sebagai ICH Unesco yang sangat menjunjung HAM itu harus dipersiapkan. Merenda berbagai kemungkinan narasi negatif yang  mengkritisi keberadaan Reyog dari segala sisi pandang. Reyog diusahakan bersih dan ancang-ancang atas segala macam kemungkinan persoalan kritik yang terjadi, selain urusan bulu merak dan kulit harimau yang dianggap melanggar Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan NOMOR P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 itu.

Ambil contoh saja kritik yang terjadi pada kesenian goyang karawang, dolalak purworejo, dan tari Bumbung Bali. Beberapa kesenian itu dianggap erotis disajikan dalam pementasan budaya. Bagaimana jadinya ketika nanti Reyog ponorogo tersandung stigma yang sama? Apakah itu tak menambah daftar ketidaklayakan Reyog Ponorogo diakui sebagai ICH Unesco?

Bukan berarti menggalakkan stigma negatif keberadaan Jathil yang hari ini memiliki daya tarik tersendiri dalam pementasan Reyog Ponorogo. Namun lebih pada dialektika penempatan moralitas dalam pentas Reyog. Pilih saja kewajiban memakai ébleg seperti yang telah disarankan. Ébleg akan sedikit banyak membatasi kejelian mata yang terlampau fokus pada egolan jathil. Ébleg pun akan menjaga jarak pinggul dengan kepala para pemain Dadhak Merak atau Bujangganong  saat édrégan. Hanya mencoba itu saja.

Ekspresi seni dan kreativitas memang tak bisa dibendung. Itu semua muncul secara naluriah dari dalam diri manusia, yang saking senangnya melestarikan dan mengembangkan kesenian asli daerahnya. Dan sangat disayangkan jika progresifitas itu tersandung stigma “erotis” dari salah satu figur pertunjukan. Dampaknya kesemua unsur kesenian. Nama luhur kesenian akan jatuh seketika. Dan tentu sulit untuk dikembalikan. Ingatkah kejatuhan Reyog di masa Lekra dulu?

Kesadaran perlu segera dibangkitkan. Masyarakat Ponorogo pun beberapa telah berbisik-bisik dengan stigma Jathil Obyog yang erotis. Perlu ada tindakan, perlu ada pengkajian, dan perlu adanya pemahaman yang lebih mendalam. Demi keberlangsungan kesenian Reyog yang adi luhung di masa mendatang.

Erotisme itu memang hadir dalam seni  sebagai bagian integral dari perikemanusiaan, yang hadir dari dunia ulang-alik, dunia pembalikan realitas. Bentuk kritik yang akan menonjok realitas moral, membangkitkan feromon, menjebol berbagai doktrin internal, yang muaranya pada tumbuhnya ruang dialektik. Pada akhirnya menyadarkan sisi lain pada diri sendiri yang selama ini hanya berfatwa buruk dan mungkar pada sebuah fenomena masyarakat. Hanya menunding salah dan menganggap dirinya paling benar tanpa duduk bersama mencari solusinya. Jangan sampai erotisme ini menjadi rasio-instrumental kesenian Reyog Obyog yang tak bisa diredam. Perlu melihat konteks pada fenomena setiap zaman!

 

*Ponorogo Creative Forum (PCF).

Pembaca Terakota.id bisa mengirim tulisan reportase, artikel, foto atau video tentang seni, budaya, sejarah dan perjalanan ke email :  redaksi@terakota.id. Tulisan yang menarik akan diterbitkan di kanal terasiana.