Iklan terakota

Terakota.id–Di Hari Musik Nasional tahun 2021 kemarin, Joni (gitaris Tani Maju) memposting infografis kecil di Instagram berisi nama-nama grup musik yang pernah ada di IKIP-Universitas Negeri Malang. Infografis itu cukup mengusik: kalau dari IKIP-UM saja ada grup musik sebanyak itu, pastinya jumlah total grup musik dari kampus, pemukiman, dan tempat nongkrong lain di Malang Raya nyaris tak terhitung jumlahnya.

Saya tidak perlu menyebutkan musisi-musisi nasional kelahiran Malang. Sudah jelas banyak! Pertanyaan selanjutnya yang terlintas di pikiran saya adalah: Bagaimana dengan lagu yang menyinggung kota Malang? Sebanyak apakah lagu-lagu semacam itu. Atau, apakah ada lagu bertema Malang yang populer sampai skala nasional? Di sini, yang saya maksudkan adalah lagu-lagu seperti “Yogyakarta,” “Jakarta,” “Surabaya,” “Stasiun Balapan,” “Kuta Bali,” dan lain-lain. Maka saya pun mencoba menggali ingatan dan tanya-tanya ke komunitas seni dan musik yang saya kenal.

Ternyata, dalam dua puluh tahun terakhir saja cukup banyak lagu yang berbicara tentang Malang. Yang mengherankan adalah kenapa hingga saat ini belum ada yang meledak seperti “Havana” (karya Wayne dan Williams yang dipopulerkan Cabello) atau “Yogyakarta” (KLa Project).

Grup musik IKIP-UM. (Ilustrasi : Joni Tani Maju).

Lagu-lagu dengan nama kota atau tempat sudah menjadi satu tradisi tersendiri dalam dunia musik. Kalau Anda sedikit saja mencari di google tentang “songs with city names” pasti yang pertama kali Anda temukan adalah halaman Wikipedia “List of Songs about Cities” ini. Isinya adalah judul-judul lagu tentang kota-kota di berbagai negara, mulai Albania hingga Vietnam. Lema Wikipedia itu diawali dengan rujukan ke buku Decline, Renewal, and the City in Popular Music Culture dari Sara Cohen dan Sound Tracks: Popular Music, Identity, and Place dari John Connel dan Chris Gibson. Kedua buku ini menekankan bahwa kota-kota memiliki posisi yang kokoh dalam musik populer. Atau, kita juga katakan, saking lazimnya lagu-lagu tentang ini, ada orang yang serius menggarapnya jadi tema buku kajian budaya populer

Di dunia musik Indonesia, hal yang sama juga sudah menjadi “tradisi” yang cukup hidup. Di awal, saya sempat menyebutkan lagu era 90-an “Yogyakarta” dari KLa Project dan “Kuta Bali” dari Andre Hehanusa. Orang-orang yang tumbuh remaja atau awal dewasa di masa itu pasti tidak bisa melepaskan diri dari lagu-lagu itu ketika berkunjung ke kota-kota itu. Begitu juga lagu “Januari di Kota Dili” yang dinyanyikan oleh penyanyi asal Bandung Rita Effendy.

Lagu ini populer pada tahun 1998, satu tahun sebelum Referendum yang berlanjut dengan proklamasi berdirinya Timor Leste sebagai sebuah negara. Ketika Referendum menjadi ramai di media, saya yakin gambar yang ada di kepala orang-orang yang tidak memiliki pengalaman langsung dengan kota Dili atau Timor Leste adalah sebuah kisah cinta kecil dalam lagu Rita Effendy itu. Pendek kata, kehadiran kota di dalam lagu populer ikut menciptakan imaji tentang kota tersebut bagi mereka yang bahkan tidak pernah mengunjunginya. Kalau tertarik tahu tentang lagu-lagu tentang kota yang ada di Indonesia, silakan temukan daftarnya di berbagai sumber, misalnya di sini atau di sini.

Lagu Malang Kera Malang

Untuk mencoba mencari jawab pertanyaan di awal, mari kita lihat dulu lagu-lagu yang bertema malang. Ternyata ada banyak lagu tentang kota Malang. Iksan Skuter, salah satu musisi indie dari Malang yang cukup populer, punya lagu berjudul “Malang yang Malang,” yang mudah ditemukan di YouTube. Lagu folk yang mengkritik perubahan kota Malang ini bisa dilihat dengan video klip yang memfokuskan pada Iksan Skuter yang menyanyi ala pengamen dengan ambience lalu lintas baik secara audio maupun visual. Mari kita dengar dulu biar terasa:

Dari liriknya, meski ada keprihatinan yang kuat atas perubahan yang melanda Malang, kita bisa merasakan sikap pasrah di sana. Kota yang tak lagi dingin, bangunan yang tinggi, banyaknya fasilitas industri, harga yang tinggi dan polusi yang semakin memberati udara kota adalah hal-hal yang tidak bisa dilwatkan mata mereka yang tinggal cukup lama di kota ini. Tapi, ketika di situ muncul “Malang, oh Malang, memang malang.” Dengan satu saja kata “memang” di situ, ada afirmasi dan penerimaan.

Suasana pasrah terhadap perubahan yang seolah tidak bisa dibalikkan lagi itu terasa kuat di video klip ini. Warnanya yang hitam putih menawarkan makna tidak adanya banyak pilihan. Iksan Skuter yang menyanyi di depan toko pojok jalan di antara orang-orang yang menjalani hidupnya sendiri-sendiri mengesankan dia hanya satu saja bagian dari hiruk-pikuk. Dan tentu saja lagunya yang ditingkahi deru kendaraan dan bunyi klakson itu mengesankan dia hanya bagian dari berbagai kekuatan.

Lagu-lagu lain yang tak kalah kuatnya menampilkan kota Malang bisa kita temukan pada lagu dengan suasana nikmat seperti “Uklam-uklam Sore” dari Progress. Lagu dengan musik reggae yang relatif tradisional ini punya gabungan antara rasa triman, syukur, tapi juga tidak menepis adanya masalah yang tidak bisa dibiarkan terpendam. Cobalah dengarkan dulu lagu yang direkam pada tahun 2003 ini:

Ketika mendengar musik reggae, seringkali kita ingat suasana pantai yang berhubungan dengan santai. Padahal, tentu saja musik reggae tidak hanya soal itu. Musik reggae adalah tempat Bob Marley mengisahkan kecurigaan otoritas kepada orang-orang tertentu di sebuah tempat (dengar lagu “I Shot the Sheriff”) dan juga tentang lingkungan kelas bawah di kota Kingston, Jamaika, tempat berbagai macam orang berkumpul (di lagu “No Woman, No Cry” lingkungan ini disebut sebagai “government yard in Trenchtown”).

Dalam lagu “Uklam-uklam Sore,” ada rasa syukur tentang kota Malang yang merupakan “city of pride” dan tempatnya anak-anak main bola di jalan dan suami-istri jalan-jalan di taman sambil berbicara tentang cinta. Tapi, ketika tempo naik, kita juga mendengar tentang pembangunan yang terus berjalan dan (kalau saya tidak salah dengar) masih adanya bayi yang kelaparan. Lagu ini masih punya keprihatinan, tapi ada penerimaan dan syukur atas kota ini.

Kata “uklam” dan kesan bersantai juga muncul di lagu-lagu lain. Lagu dari Aradoes Band menggunakan kata “uklam” dalam lagu bergaya retro “Uklam-uklam nang Kayutangan.” Dalam lagu yang menggunakan bahasa Walikan ini, Malang yang ditampilkan adalah Malang tempo doeloe, yang tempat hangout populernya adalah Kayutangan, dengan naik motor pinjaman.

Di dalam lagu ini, kita mendapat suasana santai, nongkrong, menikmati suasana dan bersosialisasi sambil ngopi dan makan ketan bubuk. Dan, dengan sudut pandang laki-laki heteroseksual, lagu ini menggambarkan bahwa satu kenikmatan pamungkasnya adalah ketika mendapatkan kenalan perempuan. Bisa dibilang lagu ini merayakan kota Malang dan kesantaian yang ditawarkan.Tidak ada keprihatinan atau kritik politik di sini.

Selain mengenang kehidupan anak nongkrong tempo doeloe, kekuatan lagu ini lebih pada bahasa walikannya memiliki nilai dokumentasi. Mameck Hariyadi, pencipta lagu “Uklam-uklam nang Kayutangan” ini memang banyak menciptakan lagu-lagu bahasa Walikan yang juga dia nyanyikan bersama Aradoes Band. Nilai dokumentasi linguistiknya diakui di artikel yang ditulis oleh Nurenzia Yannuar berjudul “Wolak-walike Jaman” ini.

Dalam artikel ini, Nurenzia membahas bagaimana Walikan yang awalnya bahasa anak muda ini kemudian dilestarikan dalam berbagai media (termasuk audiovisual) dan akhirnya membentuk identitas. Aradoes Band dan lagu-lagunya yang diciptakan oleh Mameck Hariyadi tersebut turut menyumbang dalam proses pelestarian yang akhirnya turut membentuk identitas tersebut.

Lagu terkini tentang “uklam” yang bisa dibicarakan di sini adalah lagu dari Tani Maju. Lagu “Uklam-uklam” yang termasuk dalam album Bed4 Topi Miring Bersama ini memang banyak menggunakan bahasa Walikan. Tapi, kalau kita dengarkan, kita akan tahu bahwa fokus dari lagu ini lebih ke “uklam-uklamnya” atau jalan-jalan. Agar lebih enak, mari kita lihat dulu video karya Didit Prast yang menampilkan para pemain Arema ini:

Di lagu ini, Tani Maju mengabsen tempat-tempat paling penting yang bisa dikunjungi dengan biaya rendah, mulai Comboran sampai Taman Singha (yang lokasinya dekat dengan kantor Terakota.id). Jalan-jalan keliling Malang bersama kawan-kawan ini bagi Tani Maju adalah obat untuk berbagai masalah mulai kondisi tidak punya pasangan sampai tidak punya uang. Di dalam lagu ini, Malang sebagai ruang dirayakan. Makanya, agak ironis juga ketika melihat video klip lagu ini hanya berlatar tempat parkir mal atau perkantoran.

Yang agak berbeda dari beberapa lagu yang disebut di atas adalah lagu dari veteran underground Malang, Begundal Lowokwaru. Lagu Begundal Lowokwaru yang berjudul “Kereta Terakhir Menuju Malang” mengisahkan seseorang atau sekelompok orang yang meninggalkan Jakarta menuju ke kota tercinta, Malang. Mari kita tonton dulu lagunya sebelum kita bicarakan liriknya:

Yang berbeda adalah, lagu ini seperti berbicara kepada orang-orang Jakarta (mulai dari “Meruya sampai Kampung Duren”) yang telah memberi mereka pengalaman indah. Mungkin bisa kita bayangkan ini cerita Begundal Lowokwaru yang habis sukses melakukan tour di Jakarta dan harus kembali ke Malang. Berbeda dengan Progress, Aradoes Band, dan Tani Maju, Begundal Lowokwaru tidak benar-benar merayakan Malang. Lagu ini lebih pada merayakan perasaan (bahagia setelah pengalaman indah di ibukota) tetapi sambil mengingat Malang yang menjadi tujuan perjalanan pulang mereka, atau lebih tepatnya Malang yang menjadi jangkar bagi Begundal Lowokwaru.

Pastinya masih banyak lagu-lagu lain tentang kota Malang baik ditulis oleh musisi asal Malang maupun musisi lain yang menikmati Malang. Sebut saja lagu Nganchuk Crew (“Ayo Ngombe”) atau lagu-lagu D’Kross yang sebagian besarnya adalah “fight song,” atau lagu-lagu pengobar semangat di tengah peperangan (bukan lagunya Rachel Platten ini!). Atau, dari luar Malang, kita bisa temukan lagunya Didi Kempot “Adheme Kutho Malang” yang sayangnya tidak pernah sepopuler “Stasiun Balapan” atau “Terminal Tirtonadi” atau “Tanjung Mas Ninggal Janji.” Semoga akan ada orang lain yang bisa berbicara tentang lagu-lagu tentang Malang lainnya.

Antara Hati dan Kota

Pertanyaannya kemudian, apa yang beda dari lagu-lagu tentang Malang di atas dengan lagu-lagu tentang kota yang sempat meledak di Indonesia. Mungkin perlu penelitian lebih lanjut soal ini, tapi dari telaah sekilas atas lagu-lagu yang mudah kita ingat, kita bisa tahu bahwa lagu-lagu yang meledak itu lebih fokus kepada urusan hati. Dengan kata lain, yang paling ditekankan adalah apa yang juga ditekankan pada banyak lagu populer, perihal patah hati, bungah hati, dan apa-apa yang ada di antaranya. Atau, lagu-lagu itu lebih berkutat pada perasaan universal daripada perasaan spesifik terkait kota tertentu.

Ingat saja lagu “Semalam di Cianjur” (Alfian Harahap),  “St. Carolus” (Retno), “Yogyakarta” (KLa Project), “Stasiun Balapan” (Didi Kempot), “Kuta Bali” (Andre Hehanusa), dan lain-lain. Dalam lagu-lagu ini, fokusnya adalah perayaan rasa cinta atau kenangan sakitnya patah hati. Kota di dalam lagu-lagu itu “sekadar” memberi ruang untuk terjadinya insiden patah hati atau jatuh hati. Bahkan, patah hatinya pun mungkin fiksional saja. Pastinya, hal yang seperti ini tidak membutuhkan seorang putra daerah atau bahkan orang yang pernah tinggal lama di tempat itu. Dalam lagu KLa Project, Yogyakarta disebut sebagai “kotamu” dan dalam lagu “Kuta Bali” lebih menggambarkan suasana bulan madu.

Sementara itu, sebagian besar dari lagu-lagu tentang Malang yang saya bahas di atas lebih fokus kepada kota Malangnya. Bisa dibilang, lagu-lagu di atas itu akan sangat menyentuh bagi mereka-mereka yang kenal kota Malang. Sementara tidak semua orang di Indonesia ini pernah bekerja, kuliah, perjalanan dinas, sambang saudara, atau ikut seminar di Malang. Saya bayangkan hanya mereka yang pernah tinggal di Malang yang bisa dengan mudah menghayati kekuatan lagu-lagu itu. Bahkan, untuk beberapa lagu tentang Malang di atas, butuh pemahaman bahasa Walikan untuk bisa merasakan keintiman dengan lagu-lagu itu.

Tapi, apakah itu artinya para musisi dari Malang ini harus membuat lagu-lagu yang lebih menyoroti perasaan universal saja agar kota Malang menancapkan bendera di peta musik tentang kota? Tentu tidak adil menuntut yang seperti itu. Pastinya banyak konflik yang lebih spesifik dan tidak generik yang bisa dieksplorasi. Di sisi lain, pastinya ada konflik-konflik daerah yang lebih urgen untuk direspons dengan lagu dibandingkan dengan seminya cinta, patahnya hati, hancurnya angan, atau terbitnya harapan.

Mungkin, memang laju pembangunan yang semakin tak terbendung itu lebih menuntut untuk direspons (seperti dalam lagu Iksan Skuter). Mungkin rasa syukur dan penghargaan atas apa yang ada di sekitar sebagai sumber hiburan agar tidak sampai “kubam” itu perlu dicatat (seperti oleh Tani Maju). Atau mungkin kerinduan kepada rumah dan kesadaran kembali sejauh-jauhnya burung mencari cacing adalah sesuatu yang patut dirayakan (sebagaimana dilakukan Begundal Lowokwaru).

Atau, kalau yang populer adalah lagu yang dibuat oleh orang yang punya pengalaman indah maupun payah di sebuah kota, mungkin menciptakan lagu yang meledak tentang kota Malang adalah hak musisi dari luar Malang. Kalau itu yang harus terjadi, tentu tidak banyak yang bisa dilakukan warga Malang selain menjaga agar Malang tetap menjadi kota yang nyaman, indah, ramah, kaya sejarah, sarat budaya, dan sebagainya dan sebagainya.

Dengan begitu, urusan lagu tentang kota Malang ini bukan hanya tanggung jawab para musisi, tapi juga warga kota Malang di seluruh pelosok kelurahannya. Jadi, kalau konten lagu yang universal itu patahnya hati dan seminya cinta, itu artinya orang-orang Malang harus membuat kotanya menjadi kota yang kondusif untuk jatuh cinta dan patah hati. Toh, kalau patah hati di kota Malang, obatnya sudah ada:

Kadit ojob kadit halasam, tidak perlu digawe kubam,” teriak Sri dan Novan dari Tani Maju. Ya, tidak perlu sampai harus mabuk-mabukan. Jalan-jalan saja keliling kota bersama kawan-kawan.