
Di mana kita akan meletakkan diri?
Oleh : *Muhammad Nashir
Terakota.id–Modernisasi adalah sebutan yang muncul di eropa bagi masyarakat setelah berkembangnya masa-masa Industrialisasi, oleh karena itu modernisasi terkadang di baca sebagai Manusia/seseorang yang mampu bersaing dalam kemajuan jaman demi mempertahankan kehidupannya. Ada juga yang berpandangan manusia modern adalah manusia yang mampu mengusai keadaan jaman dengan segala perangkatnya. Perkembangan pemikiran tentang modernisasi juga menghasilkan bahwa modernisasi adalah seseorang yang bisa dan mau menerima segala ekses perkembangan teknologi dan industri.
Pandangan seperti inilah yang paling banyak berkembang di masyarakat kita,tak pelak kitapun akhirnya terpuruk dalam lingkaran dan kungkungan kapitalisme yang tak manusiawi,di mana segala sesuatu di pandang menguntungkan atau tidak secara material. Lalu konsep Materialisme inilah yang di jadikan sebagai dasar landasan pemikiran di berbagai lembaga keilmuan,juga kepada wilayah kesusasteraan di Indonesia.
Dari sinilah awal kita akan membaca eksistensi sastra di era modern, atau bahkan harusnya kita mempertanyakan “Masihkah sastra mampu bertahan hidup jika terus terjebak dalam kungkungan geliat Materialisme? Sebab keberadaan sastra saat ini benar-benar sudah di kendalikan oleh Industri. Seperti halnya politik, hukum, pendidikan, ekonomi yang sudah di kendalikan oleh Industri dan masyarakat pragmatis,populer(modern)adalah dampak dari kebijakannya.
Sekarang kita akan bicara tentang Seni/sastra. Dalam pandangan kelompok fungsionalis Plato, Iqbal, Tolstoy, Ibsen, Shaw, Ruskin, Guayu dan lain-lain. Ruskin berpendapat Seniman adalah seorang nabi dan sekaligus seorang guru. Bagi Guayu “Prinsip seni adalah hidup itu sendiri”. Seni adalah “suatu keseluruhan metodis dari sarana yang dipilih untuk menciptakan perasaan keindahan”,dan perasaan keindahan”adalah kesadaran kemasyarakatan dalam kehidupan individual”.
“Tujuan puncak seni adalah membuat hati manusia berdebar,karena hati adalah pusat kehidupan yang paling dalam,maka seni haruslah saling berjalin dengan seluruh kemaujudan moral dan material manusia”. Menurut Tolstoy “Tujuan seni adalah memindahkan perasaan-perasaan yang paling baik dan tinggi kepada orang lain”.Bagi Ibsen, tujuan seni adalah kritik kehidupan. Bagi Plato, baik dalam kandungan maupun bentuknya,seni harus mengandung tujuan etis dan intruksional. Secara umum, fungsi seni bagi semua penulis ini adalah Perubahan sosial.
Pada awal abad sembilan belas ada gerakan yang menentang Fungsionalisme yaitu; Flaubert, Gauthier, Baudelaire, Puskhin, Oscar wilde dan Edgar AllanPoe, sebuah gerakan romantisme yang meyakini adanya kebebasan seni dengan slogannya “Seni untuk seni”.yang jika diteliti Materialisme adalah arah pemikiran mereka. Bagi mereka adalah; bahwa keindahan adalah kualitas seni yang khusus,ia adalah nilai dasar yang absolut,menyeluruh dan tertinggi;nilai-nilai lainnya seperti kebenaran dan kebaikan berada di bawahnya atau bahkan tidak relevan dengannya. Seni mempunyai hak otonom dan kelengkapannya sendiri,ia tidak mempunyai tujuan dan tidak mengejar tujuan di luar dirinya.
Dalam pemikiran gerakan ini akhirnya berkembang dan berhasil menjauhkan seni/satra pada khususnya dari perikehidupan sehari-hari dalam masyarakat. Wellek dan Werren umpamanya mengatakan; Bahasa ilmiah cenderung menyerupai sistem tanda matematika atau logis simbolis, penuh kepastian, lugas-jelas, dan tanpa bunga-bunga.
Dalam Bahasa Sastra haruslah penuh ketaksaan,penuh kesamaran,harus kaya asosiasi,konotasi dan mementingkan tanda,simbolisme suara dari kata-kata. Dalam hal ini sastra hanya diberi hak dan kewenangan mem presensi dan merepresentasikan hal-hal yang serba penuh keremang-remangan,ketidak pastian,imajinatif atau rekaan manusia belaka. Sastra tidak di beri lagi”hak dan kewenangan” mempresensi dan merepresentasi ajaran agama, hukum, sejarah, ketakdilan sosial dan lain-lain.
Seni/sastra sudah di jauhkan dari aktifitas eksistensial manusia.gambaran ini menunjukkan betapa seni/sastra jadi makin Eksklusif,Marginal,dan terisolasi dari aktifitas real kehidupan manusia sehari-hari. Sastra tinggal menjadi Estetika dan bergumul dengan imajinasi dan fiksi, eksklusifikasi sastra seperi inilah yang justru menjadikan sastra seolah hanya menjadi milik kalangan tertentu (kaum terpelajar, kelas menengah dan sejawatnya), sastra bukan lagi milik masyarakat secara keseluruhan, sehingga sastra sudah tidak mampu lagi membuat perubahan bagi kehidupan manusia dalam bernegara, bersosial, berbangsa sebagai suatu ke Indahan dan ke Damaian yang di cita-citakan manusia, sastra tidak mampu lagi menghasilkan kualitas kemanusiaan. Dalam kondisi seperti ini wajar jika sastra kemudian tidak lagi di minati, di tinggalkan, bahkan mulai di abaikan oleh masyarakat.
Sebab tidak ada lagi hubungan emosional dan relevansinya dengan masyarakat secara umum. Kita bisa melihat, ketika masyarakat berada dalam kondisi tekanan sosial, politik, dan ekonomi seperti ini, justru para seniman, penyair ramai-ramai dengan bangga hanya berbicara tentang bunga dan mimpi-mimpi. Para seniman “bisu” (kata Emha Ainun Nadjib) justru sedang merajai dalam kontes sastra di negeri ini.
Seniman “bisu” yang menjadi “bisu” karena kompleks-kompleks dalam pribadi yang menghalangi kebebasan pikiran mereka sendiri memang tidak mengasyikkan, apalagi alangkah mengecewakannya apabila seniman-seniman itu menjadi “bisu” karena miskin penglihatan atau miskin rasa kemanusiaan. Seniman yang “sok seni” hanya sampai pada “tipu seni” dan bukan “daya seni”, begitu komentar kritis W.S.Rendra.
Sejalan dengan itu Penyair, Filosof dan Pemikir dari Pakistan Muhammad Iqbal berpendapat;Seni tidak mempunyai arti tanpa pertaliannya dengan hidup manusia dan masyarakat. Puisi memelihara ladang kehidupan agar tetap menghijau dan memberikan petunjuk kehidupan abadi kepada kemanusiaan(Bang I Dara) Seni adalah sarana yang berharga bagi prestasi kehidupan (Asrar I Khudi). Seniman haruslah memompakan semangat kejantanan dan keberanian dalam hati orang yang berhati ayam.
Dan tujuan seni adalah kemajuan sosial. Penyair menurut Iqbal adalah mata suatu bangsa (Bang I Dara), dia adalah nurani-terdalam bangsa (Darb I Kalim), Apa nilai suatu bait puisi yang tak dapat membangkitkan suatu badai emosional dalam masyarakat?(Darb I Kalim) Dan dalam puisinya Goethe juga mengkritisi para penyair pada paham seni untuk seni:
Sungguh kubencikan sangat,
Banyaknya orang bersyair-syair!
Siapa musnahkan puisi di jagat?
Dialah para penyair!
Socrates yang hidup di tahun 470 – 399 SM mengatakan; “Bukanlah atas dasar kebijakan mereka menulis karangannya, melainkan atas dasar sesuatu ilham. Mereka serupa Ahli nujum yang mampu menceritakan banyak hal yang indah tanpa mengerti sendiri akan maknanya.
Fungsi sejati seni ialah menghidupkan gairah kehidupan, manusia dan masyarakat. Seorang seniman seharusnya menjadi pelopor suatu fajar kebangkitan, dan lebih baik diam daripada menyanyi dalam nada-nada yang menyedihkan, gelap, pilu dan mengandung kematian (Darb I Kalim). Bukankah Alqur’an juga sangat puitis? Lalu di mana kita akan memposisikan diri dalam ranah pemikiran tentang seni/sastra dalam era modern ini? Kebijakan atas pilihan kita sendirilah yang akan menentukan dan menjawab letak Eksistensi sastra di era modernisasi.
Akhirulkalam,wassalamualaikum warahmatullohhiwabarokatuh.
Kesadaran adalah matahari
Kesabaran adalah bumi
Keberanian menjadi cakrawala
Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.
(Cukilan puisi W.S.Rendra).
* Seniman

Merawat Tradisi Menebar Inspirasi