Musyawarah Desa Pondok Membahas Peraturan Desa tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. (Foto : dokumentasi KOPI Pondok).
Iklan terakota

Terakota.id–Nur Adiwijaya tak sendirian, banyak ABK lain menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Kejadian serupa juga terjadi pada medio 2000-an. Seperti yang dialami Kepala Desa Pondok, Kecamatan Babadan, Kabupaten Ponorogo Suharto saat menjadi Pekerja Migran Indonesia (PMI). Suharto bekerja di Korea mulai 1999 sampai 2003.

Bahkan, ia sempat dipercaya sebagai Ketua paguyuban pekerja migran di Korea. Suharto sering menemui ABK yang bekerja di kapal penangkap ikan. Mereka menjadi korban TPPO. Suharto menampung ABK yang melarikan diri dari aktivitas penangkapan ikan.“Mereka bekerja non stop, istirahat hanya beberapa pekan saat sandar di pelabuhan,” katanya.

Bahkan saat di kapal, mereka mengalami kekerasan. Sehingga mereka memilih kabur saat kapal bersandar. Saat kabur, mereka tak membawa dokumen dan identitas diri. “Kerja berat, tak kuat. Gaji jauh di bawah upah yang kami terima,” katanya.

Bahkan, sejumlah warga Pondok juga menjadi korban TPPO di Korea. Ia pulang tanpa membawa uang sepeserpun. Hanya membawa beberapa potong pakaian dan barang pribadi. “Bekerja tiga tahun tanpa dibayar,” katanya.

Suharto mengisahkan lika-iku menjadi PMI di Korea. Ia mengaku bekerja di Korea tanpa bekal yang cukup. Tak ada pelatihan kerja dan bahasa yang memadai. Bahkan, ia awalnya mengaku tak bisa bahasa Korea. Sekarang ada pelatihan bahasa korea, dan harus membayar biaya besar tapi antre lama tak kunjung berangkat. Setelah bekerja, ia perlahan-lahan belajar bahasa Korea.

“Yang penting sehat dan semangat bekerja,” katanya. Suharto tak puas dengan gaji yang diterima. Sehingga melarikan diri dari pabrik dan bekerja secara unprosedural, tergiur dengan iming-iming penghasilan sebesar Rp 7 juta. Selama empat tahun, ia bekerja secara unprosedural. Bahkan, sempat ditahan polisi karena tak memiliki dokumen dan identitas.

“Pemilik pabrik mengambil saya dan mengurus dokumen saat pemutihan,” ujarmya. Saat itu, jumlah PMI di Korea meliputi 7 ribu pekerja resmi, dan pekerja ilegal sebanyak 5 ribu.

Melihat fenomena selama bekerja sebagai PMI itu, Suharto sebagai Ketua paguyuban pekerja migran di Korea bersama Komunitas Pekerja Migran Indonesia (KOPI) lembaga yang membantu Pemerintah Desa dalam perlindungan PMI kemudian langsung tergerak untuk menyusun Peraturan Desa (Perdes) Perlindungan PMI untuk meminimalisir kasus-kasus seperti ini.

Kepala Desa Pondok, Babadan, Ponorogo Suharto merupakan purna PMI. Bekerja selama 14 tahun di Korea. (Terakota/Eko Widianto).

Menyusun Perdes diawali KOPI bersama Suharto dengan melakukan survei mengenai pelayanan publik dan tingkat kesejahteraan warga Desa Pondok. Survei untuk menjaring daftar isian masalah dan dituangkan dalam draft Perdes yang diajukan kepada Badan Perwakilan Desa (BPD).  “Dulu PMI mengajukan surat pengantar dari desa, setelah itu ya sudah. Lepas, tak ada kontrol,” kata Ketua Komunitas Pekerja Migran Indonesia (KOPI) Desa Pondok, Arif Yulianto.

Perdes berisi 21 pasal kemudian disahkan Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa Pondok (BPD) September 2020. Perdes ini mengatur kewenangan Pemerintah Desa dalam perlindungan PMI. Butuh waktu sekitar setahun untuk menyusun Perdes tersebut.

Ini menjadi sebuah terobosan baru bagi Pondok, agar bisa melindungi PMI dari praktik kejahatan seperti Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Setelah Perdes disahkan, Perdes juga menempatkan kewenangan Komunitas Pekerja Migran Indonesia (KOPI) sebagai lembaga yang akan membantu Pemerintah Desa dalam perlindungan PMI. Untuk selanjutnya, Pemerintah Desa Pondok menyiapkan Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk menjabarkan Perdes.

Perdes Cegah PMI Jadi Korban TPPO

Perdes ini sangat banyak manfaatnya. Dulu, katanya, banyak calon PMI yang berangkat dengan dokumen yang berbeda dengan data diri. Seperti usia di KTP dan paspor ditulis lebih tua agar bisa berangkat. Perdes kemudian mengatur calon PMI untuk menyerahkan foto kopi dokumen meliputi identitas diri, P3MI yang memberangkatkan, siapa petugas lapangan (PL) dan alamat tempat bekerja kepada petugas Pemerintah Desa dan KOPI. Sehingga setelah berada di negara tujuan, KOPI dan Pemerintah Desa bisa melacaknya.

“Bagian dari usaha pemerintah desa mengontrol PMI,” katanya.

KOPI beranggotakan keluarga PMI, purna PMI, dan tokoh pemuda. KOPI kemudian didampingi para aktivis di Institute of Education Development, Social, Religious and Cultural Studies atau Lembaga Kajian Pengembangan Pendidikan, Sosial, Agama, dan Kebudayaan (Infest).

“Saya mewakili keluarga PMI, kakak saya dua-duanya kerja di Hongkong,” ujarnya. Infest, katanya, memberi beragam pelatihan kepada pengurus KOPI. Antara lain pelatihan pengorganisasian, paralegal, dan manajemen informasi. KOPI dipertemukan dengan Serikat Pekerja Migran Indonesia (SPMI) di Hongkong, Taiwan, Korea, Jepang dan Malaysia. Mereka berjejaring, saling tukar informasi dan pengalaman.

Selama setahun terakhir membantu berbagai masalah PMI, KOPI bekerja dengan jaringan pekerja migran di luar negeri untuk membantu PMI yang mengalami masalah. Membantu pemulangan PMI dari Taiwan yang sakit tanpa dokumen. Serta memulangkan jenazah PMI di Malaysia yang meninggal karena kecelakaan, dengan identitas berbeda.

Dalam kerja-kerja berikutnya, KOPI kemudian menemui hambatan karena sebagian besar pemuda yang belum memiliki pengalaman. Berkoordinasi dengan BNP2MI, Pemerintah Kabupaten dan lembaga lainnya, KOPI kemudian menyiapkan alat komunikasi dengan PMI di luar negeri. Tujuannya bertukar informasi dan saling membantu jika menghadapi masalah di perantauan.

Perdes ini juga mencegah PMI tak bercerai sepihak selama bekerja di luar negeri. Sebelum berangkat, suami istri diminta membuat surat perjanjian tak melakukan cerai sepihak. Jika dilanggar, sanksinya harta gono-gini diserahkan kepada keluarga di rumah. “Agar berkurang. Perceraian PMI tinggi,” ujarnya.

Pengurus Komunitas Peduli Pekerja Migran Indonesia (KOPI) Desa Pondok membahas program kerja dan Ranperdes Perlindungan PMI. (Foto : dokumentasi KOPI Pondok).

Angka percerian PMI di Ponorogo tergolong tinggi. Catatan Pengadilan Agama Ponorogo selama 2019 jumlah kasus percerian mencapai 2,069 kasus. Rinciannya 1.513 cerai gugat dan sisanya 556 cerai talak. Seperti yang dilansir RRI Madiun, Pengadilan Agama Kabupaten Ponorogo Asrofi menyebut memang kasus perceraian didominasi cerai gugat mayoritas dilakukan para PMI.

“Proses perceraian diwakilkan kuasa hukum. Namun dengan syarat mendapat legalitas dari pihak KJRI atau KBRI. Permohonan ditolak jika hanya kesepakatan pemohon/termohon dengan kuasa hukum,” ujarnya.

Pada 2019 sebanyak 421 PMI yang memberikan kuasa kepada pengacara selama proses persidangan. Beragam alasan para PMI bercerai, mulai keluarga tak harmonis sejak berangkat, juga perselingkuhan

KOPI juga akan mendampingi, membina dan melakukan pemberdayaan anak PMI. Lantaran anak PMI yang ditinggal bekerja kebanyakan kurang perhatian. Calon PMI juga harus membuat rencana pengelolaan keuangan. Hasil bekerja sebagai PMI, katanya, digunakan untuk investasi, modal usaha, memperbaiki rumah dan kendaraan.

KOPI juga memberi edukasi calon PMI agar mengetahui hak mereka. Seperti dokumen merupakan milik pribadi tak boleh ditahan majikan atau perusahaan bekerja. Jika dokumen ditahan bisa diperkarakan secara hukum.

Selain itu bekerja harus sesuai kontrak, “Jika ada hak yang dilanggar. Bisa dilaporkan dan diperkarakan,” ujarnya.  Sedangkan setelah sampai di negara tujuan tetap terjalin komunikasi. Jika ada masalah bisa dibantu dengan jaringan PMI di luar negeri.

Sekarang sejumlah PMI mulai memiliki rencana dan gambaran usaha setelah purna PMI. Seperti Barokah, seorang PMI yang bekerja di Hongkong mulai kursus tata rias, dan totok wajah di Hongkong. Rencananya, ia akan mendirikan salon kecantikan ketika nanti pulang ke rumah.

DPRD Ponorogo Siapkan Ranperda Perlindungan PMI

Perdes Perlindungan PMI di sejumlah daerah memicu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Ponorogo menyiapkan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Perlindungan Pekerja Migran. Diawali dengan public hearing. Dihadiri Dinas Tenaga Kerja, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Perguruan Tinggi dan P3MI. Dalam public hearing, telah menerima banyak masukan.

Salah satunya melibatkan KOPI yang telah menyusun dan menyiapkan rancangan Perdes Perlindungan PMI. Komunikasi dilakukan intens, untuk mendapat masukan dan saran atas Ranperda yang diajukan sebagai inisiatif DPRD Kabupaten Ponorogo.

Ketua Komisi D bidang Pembangunan DPRD Kabupaten Ponorogo Pamuji menjelaskan Ranperda Perlindungan PMI merupakan inisiatif DPRD sesuai amanat Undang-Undang (UU) Nomor  18 tahun 2017 tentang Perlindungan pekerja Migran. Porsi dan peran pemerintah daerah, katanya, tertuang di pasal 41.

Sebagian anggota DPRD Kabupaten Ponorogo, katanya, ia ingin memberi sumbangsih sebagai wujud perlindungan PMI. Komisi D DPRD Kabupaten Ponorogo menyerap masukan dan hasilnya diserahkan ke panitia Khusus (Pansus). Selain itu, dikaji agar peraturan tak tumpang tindih dan bertentangan dengan peraturan di atasnya. “Diupayakan maksimal bisa mengakomodir pelaksanaan UU Perlindungan Pekerja Migran,” ujarnya.

Poin utamanya sesuai dengan kewenangan pemerintah daerah yakni bagaimana memberikan perlindungan sebelum penempatan, dan purna penempatan. Memberi pelindungan pra penempatan, dengan tertib adiminstrasi.  Peran pemerintah desa dan kabupaten dalam menyiapkan dokumen keberangkatan untuk mengurangi masalah di tempat penempatan.

DPRD Ponorogo menggelar Public Hearing untuk mendengar masukan atas Ranperda Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. (Foto : dokumentasi KOPI Pondok).

“Sebagian besar masalah diawali dari administrasi atau dokumen yang bermasalah,” katanya. Setelah purna PMI, pemerintah memberi pendampingan. Seperti memberi pelatihan kerja dan mewujudkan kewirausahaan.  Setelah purna, katanya, banyak yang belum bisa mandiri. Menggunakan uang hasil bekerja di luar negeri untuk kesejahteraan diri dan keluarga.

“Perlu pendampingan,” katanya. Pemerintah desa dan Pemerintah Kabupaten Ponorogo memberi sosialisasi daftar P3MI yang legal dan negara penempatan yang aman. Sebagian penempatan PMI melalui proses yang tak benar, sehingga terjadi trafficking atau korban perdagangan manusia.

Jumlah PMI dari Ponorogo menempati ranking kelima nasional dan ranking satu se Jawa Timur. Dibawah Indramayu, Lombok Timur, Cirebon, dan Cilacap. Data BNP2MI pada 2017 jumlah PMI dari Ponorogo sebanyak 9.157 2018 naik menjadi 10.043 sedangkan 2019 sebanyak 9.665 PMI.

Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo mengapresiasi Ranperda inisiatif DPRD Kabupaten Ponorogo. Namun, ia mengingatkan agar Perda yang dihasilkan harus bisa mengoperasionalkan bentuk-bentuk kewenangan daerah. Dalam tata kelola migrasi tenaga kerja seperti amanat UU Nomor 18 tahun 2017.

“Mendirikan LTSa (Layanan Terpadu  Satu Atap) atau mengintegrasikan layanan ketenagakerjaan dalam mall pelayanan publik,” kata Wahyu melalui apliksi perpesanan. Selain itu, juga memperkuat kapasitas desa dalam pengawasan proses rekruitmen PMI

Sementara implementasi UU Perlindungan Pekerja Migran di luar negeri, kata Wahyu, pemerintah harus melengkapi MoU dengan negara tujuan. Atas ketenagakerjaan dan dibutuhkan kualitas diplomat yang mumpuni dalam negosiasi. Menurut Wahyu, ini semua adalah sistem yang harus dijalankan untuk melindungi para pekerja migran Indonesia di luar negeri.