
Oleh: Tengsoe Tjahjono*
Terakota.id— Pada tahun 2000, Dewan Kesenian Surabaya pernah menyelenggarakan Forum Sastra yang mempertemukan 2 penyair yang memiliki aliran berbeda. Pada 26 September 2000 dipertemukan penyair Rusdi Zaki dan H.U. Mardi Luhung. Mereka tidak hanya mempertunjukkan puisinya, tetapi esai tentang puisi ‘lawan’-nya.
Mardi Luhung menulis, “Komentar? Ya, sajak jangkriknya Rusdi itu, memang tak berkomentar apa-apa. Apalagi mau ngomong tentang begini-begitu, yang bersifat pragmatis. Seperti sebuah pemandangan, sajak jangkrik itu cuma me-foto. Jepret. Jadi! Dan celakanya, karena saking jepretnya, maka di dalam foto itu, semua wujud dan jerohan yang difoto itu jadi tampak. Misalnya: wujud wanita pekerja, ternyata jerohannya seperti mesin yang tak boleh henti. Atau, wujud Kalimas yang dirawat, ternyata juga jerohannya menjulur seperti ular-ular ganas yang sedia meminta korban.”
Mardi Luhung melihat bahwa Rusdi sungguh tidak berjarak dengan dunia atau peristiwa yang berakibat pada kelahiran teks yang hanya melukiskan fakta tanpa sempat menyelam jauh ke lubuk persoalan yang terdalam.

Sebaliknya, Rusdi Zaki mengomentari puisi Mardi Luhung melalui esainya begini, “Ambiguitas puisi-puisi Hendry membuat orang seperti main petak umpet. Sekali-sekali dia harus bersembunyi. Pada kesempatan lain dia harus mencari-cari. Akibatnya, puisi-puisi semacam ini bisa bisa disukai orang, tapi juga bisa cuma “suka-suka”. Untuk klangenan masyarakat yang merasa sudah beradab tapi tidak memiliki apresiasi yang baik terhadap dunia sastra. Karena di jalanan mereka bertemu banyak “kalimat-kalimat puitis”, yang dengan sering ikut menyebut dan mengulang-ulang kalimat “puisi instan” tersebut sudah merasa menjadi bagian dari dunia yang beradab tadi.”
Melalui pernyataan lain Rusdi bisa jadi bahwa puisi Mardi Luhung merupakan produk dari penyair yang senang bermain-main kata secara berjumpalitan karena dianggap gagal mengungkapkan fakta secara benar dan akurat. Karena gagal menggambarkan dunia maka kompensasinya ialah bermain petak umpet melalui kata yang disusunnya. Sungguh, dua kubu puitika yang berseberangan.
Tjahjono Widijanto dan W. W Haryanto bertanding pada Forum Sastra 16 Oktober 2000. Mereka pun berkesempatan untuk saling mengaji puisi mereka. Tjahjono Widijanto mengomentari puisi-puisi W. Haryanto melalui esainya, “Akhirnya, sepakat dengan apa yang dikatakan pakar intertekstualitas Julia Cristeva bahwa selalu dibutuhkan teks lain untuk menafsirkan sebuah karya sastra. Karena itu pembebasan imaji dipraktikkan sebagai “pemutus hubungan” teks sastra (puisi) dengan teks yang ada sebelumnya, ia akan cenderung hadir sebagai “kegelapan” yang nyaris tidak menyediakan pintu untuk menemukan maknanya. Dan, semoga pula, pilihan yang telah dilakukan tidak sekadar berada dalam posisi stimmung belaka.” Tjahjono memandang kegelapan puisi W. Haryanto menutup pintu komunikasi dengan pembaca.
Di sisi lain W. Haryanto juga melihat kegagalan puisi Tjahjono Widjanto. Begini, “Bahwa, kelemahan sajak-sajak Tjahjono lebih karena tidak hadirnya perspektif yang tegas. Tapi perspektif tidak hadir secara otomatis, tetapi adalah evolusi dalam aliran seni. Hal ini yang belum terlihat dalam sajak Tjahjono. Kupikir ia perlu membuka diri dengan belajar pada aliran (dalam tradisi besar dunia), sehingga sajak-sajaknya mencapai sublimitas yang luar biasa.”
Pada November 2000, disandingkan Tengsoe Tjahjono dan Indra Tjahjadii. Dua penyair yang nyata-nyata berbeda aliran. Indra Tjahjadi mengomentari puisi Tengsoe Tjahjono, “Membaca puisi Anda … yang terlihat adalah (a) besarnya komitmen sosial yang terdapat hampir pada setiap karya puisi yang sudah Anda ciptakan, (b) minimnya gagasan yang bersifat pengetahuan pada setiap puisi yang Anda ciptakan, dan (c) carut-marutnya gaya yang membuat puisi-puisi yang Anda ciptakan tidaklah mempunyai sesuatu yang bersifat khas dari Anda. Indra Tjahjadi memotret puisi Tengsoe Tjahjono dengan kaca mata surealisme yang ia tekuni.
Tentang puisi Indra Tjahjadi, Tengsoe Tjahjono menulis, “Hanya saja bila Indra menempatkan dirinya sebagai penyair yang dibesarkan dalam tradisi sajak gelap dan kini menekuni ekspresi Surealisme, saya justru tidak menemukan hal itu dalam sajak-sajak Indra. Sajak-sajak Indra justru lebih dekat pada gaya Simbolisme.”
Begitulah suasana kehidupan sastra Surabaya pada tahun 2000-an. Masing-masing penyair (dan bisa jadi komunitas mereka masing-masing) memperjuangkan ideologi estetika dan puitika mereka, tanpa saling membunuh atau mematikan. Sebab, bagaimana pun juga sastrawan sebagai pribadi pasti memiliki ciri keunikan masing-masing. Perdebatan atau perbedaan bisa jadi akan dan selalu muncul pada setiap ruang kreatif tetapi tidak akan memisahkan mereka secara personal. Mengapa demikian? Sebab mereka memiliki nawaitu yang satu: Membangun dan menghidupkan sastra Indonesia.

*Penyair dan Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Surabaya (Unesa).

Merawat Tradisi Menebar Inspirasi