
Terakota.id—Penyair muda di kawasan ASEAN menulis puisi merespon gerakan sosial dan politik. Mereka berbicara ide dan gagasan dalam menuangkan puisi yang didasarkan atas pengamatan di lapangan dan riset. ASEAN Literary Festival menghadirkan para penyair muda antara lain Marius Hulpa dari Jerman, Aan Mansyur asal Makassar, dan Hariz Fadillah dari Brunei Darussalam.
Diskusi diselenggarakan di Kota Tua, 6 Agustus 2017. Ratusan penikmat puisi memenuhi gedung Tjipta Niaga. Mereka antusias menyimak, berdiskusi dan membahas gerakan puisi di kalangan anak muda. “Kebebasan berekspresi dijamin Negara. Hal besar dibuat puisi, bisa dengan jalan yang politis,” kata Marius.
Namun, dia mengingatkan jika menulis puisi dengan mengamati perkembangan sosial di sekitar. Merekam, mencatat dan menuliskan dalam puisi. Termasuk merekam fenomena korupsi yang terjadi dan dialami di sekitarnya.
Sementara Hariz mengakui jika kebebasan berekspresi di Indonesia mendapat jaminan. Sementara di Brunei terkekang, masyarakat tak bisa bebas bersuara dan menyampaikan pendapat. Sehingga dia menyampaikan aspirasi salah satunya melalui puisi. “Puisi dalam aspek politik sebagai bagian dari ekspresi anak muda,” ujarnya.
Demi kepentingan publik, kata Hariz, dia bisa berbicara lantang lewat puisi. Menulis dengan tenang dan jernih. Puisi, katanya, merupakan bagian dari ekspresi lewat puisi. “Tentang korupsi, dan kebebasan berbicara,” katanya.
Brunei yang paling dekat dengan Indonesia, berada di pulau yang sama namun kebebasan berekspresi berbeda. Tak ada daya kritis terhadap korupsi, dan isu kebebasan berbicara. Dia mengaku awalnya tak tertarik puisi. Namun setelah diterima di jurusan sastra, dia mengenal dan jatuh cinta dengan puisi. Â Sejumlah karya puisi dibuat dalam bahasa Melayu dan bahasa Inggris.
Sementara Aan Mansyur menyampaikan jika membuat puisi adalah tindakan politis. Penting  menyampaikan sesuatu gagasan dan kritik melalui puisi. Seperti yang dilakukan dengan berkolaborasi membuat kumpulan puisi refleksi 1998. Dia merekam detik-detik peristiwa reformasi 1998. Dia menggandeng temannya yang biasa mendokumentasikan atau mengumpulkan kliping berita pada gerakan reformasi 1998.
“Biasanya membaca koran dengan ilustrasi puisi. Ini lain membaca puisi dengan ilustrasi Koran,” ujarnya. Kumpulan puisi itu dikerjakan karena kerisauannya, banyak anak muda yang tak mengenal sejarah. Termasuk sejarah reformasi yang melibatkan para mahasiswa.
Dia memanfaatkan popularitasnya, dan berharap bisa mempengaruhi anak muda dengan puisi. Terbukti Aan mampu mempengaruhi anak muda setelah terlibat dalam menyusun puisi untuk film Ada Apa dengan Cinta. “Selama ini saya dianggap menulis puisi yang galau- galau,” katanya berkelakar.
Aneh, katanya, jika ada anak muda yang tak galau dengan kondisi negeri saat ini. Muncul kembali gerakan intoleran dan merebak paham radikal. Gerakan ini bermunculan dan melintas di lini masa media sosial.”Kebebasan mulai direnggut,” ujarnya.
Kumpulan puisi “Tidak ada New York hari ini” juga laris manis di pasaran. Anak muda kembali menjadi pasar bagi puisi karya anak muda. Aan sadar, jika posisinya saat ini bisa mempengaruhi pola pikir anak muda.  Kerisauannya itu direkam selama 20 tahun menjadi pustakawan.
Saat ini, katanya, sulit mengajak anak muda untuk membaca sastra.  Anak muda lebih banyak menghabiskan waktu dengan bermain gawai. Untuk itu, secara politis dia bersedia terlibat dalam produksi film AADC. “Saya tak mau hanya menulis puisi untuk film. Saya menulis buku puisi agar dibaca banyak orang,” ujarnya.
Persoalan yang dihadap penyair saat ini, kata Aan, banyak penyair menulis untuk sesama penyair. Sementara tak banyak puisi yang bagus dan layak dibaca anak muda. “Penyair tak hanya merangkai kata yang indah. Tapi ada pesan dan tujuan, menggunakan bahasa,” ujarnya.
Menutup diskusi, para penyair membacakan sejumlah puisi karyanya. Puisi Hariz menarik perhatian pengunjung lantaran puisinya relevan dengan kondisi Indonesia 20 tahun lalu. Masyarakat tak bebas menyampaikan pendapat dan gagasan.

Jalan, baca dan makan