Oleh: Mery Yulikuntari*
Terakota.id–Sebagian besar Negara Indonesia memegang andil banyak dalam keragaman bahasa di dunia. Sampai saat ini telah teridentifikasi 700 bahasa di Indonesia. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mencatat, dari total yang telah teridentifikasi ada 15 bahasa diantaranya sudah dinyatakan punah (Patji, 2016). Seiring perkembangan zaman, generasi muda saat ini yang disebut dengan generasi millenial. Generasi yang mendapat banyak kemudahan dalam mengakses informasi dari segala hal (speed accesibility). Individu yang tidak hanya berinteraksi dengan satu suku, satu daerah melainkan beda negara sekalipun.
Interaksi sosial antar individu membutuhkan bahasa. Bahasa yang digunakan tentunya bahasa yang dapat menampung orang-orang dari seluruh Negara sehingga memudahkan mereka dalam berkomunikasi. Dengan begitu, orang akan cenderung menggunakan bahasa yang global dan berangsur-angsur mulai melupakan bahasa daerahnya, ciri khas daerahnya dan personalitasnya. Dari berbagai potensi khas yang diwarisi oleh setiap individu yang dipengaruhi letak geografis, masihkah bahasa daerah dibutuhkan untuk kekuatan karakter generasi pasca milenial.
Fenomenanya, penggunaan bahasa daerah sudah mulai luntur, jarang sekali orang tua mengajarkan bahasa daerah kepada anak-anak. Tidak hanya pendidikan utama di rumah yang sudah tidak menggunakan bahasa daerah, melainkan di lingkungan pun mulai tergeser. Desa yang kemungkinan menjaga terlestarinya bahasa daerah pun sekarang terjajah dengan pembangunan-pembangunan yang mengarah pada “meng-kota-kan desa ”. Lambat laun desa pun berubah menjadi kota dengan cepatnya perkembangan.
Hal ini juga berpengaruh dalam penggunaan bahasa yang menjadi peran penting dalam komunikasi. Dan ini tentu mempengaruhi fungsi bahasa; fungsi edukatif, fungsi kultural, fungsi komunikasi.
Oleh karena itu, meski perubahan terus terjadi, dengan segala pencitraan, dan kemenarikan dunia. Namun apakah yang paling esensi masih bisa didapatkan pada era yang akan terus berkembang dan berubah ini? Dengan segala kecanggihan, kepintaran, kebenaran akankah kebaikan bahkan keindahan serta moral tetap terjaga , terlestarikan?
Pembahasan
Masyarakat yang masih memegang tradisi seperti di desa maupun suku-suku tertentu terpaksa untuk ikut menjadi bagian dari perkembangan zaman yang semakin canggih dengan berbagai macam teknologinya. Di Eropa, mereka yang sudah semakin canggih dari segala teknologinya telah jenuh dengan segala rutinitas atau hiruk pikuk kesibukan. Mereka mencanangkan Slow City, dalam program kali ini ditekankan pada menjaga dan mempertahankan kondisi budaya lokal dan memajukan kekhasan di dalam kotanya (Widyaningsih, 2008).
Hal tersebut sebagian di Indonesia masih dijalankan, dan sebagian besar sudah mulai ditinggalkan. Jika sudah tahu muara akhirnya bakal kembali pada seperti era Eropa saat ini yakni Slow City. Karena telah jenuh dan muak dengan hiruk pikuk dan kesibukan yang tiada henti. Lalu apakah Indonesia masih menghendaki menuju era serba teknologi dan meninggalkan budaya serta bahasa lokalnya.
Masih mungkinkah menggunakan bahasa daerah untuk menjaga karakter generasi selanjutnya? Ketika penutur yang lebih tua dari generasi millenial telah gugur, maka tinggal generasi millenial dan generasi selanjutnya. Apakah masih relevan menggunakan bahasa daerah? Apakah berbahasa daerah akan efektif nantinya?
Satu wilayah menjadi sangat heterogen saat ini, apabila tidak kuat penjagaan terhadap ciri khasnya maka semakin luntur pula budayanya, karakternya. Kehilangan arah bukan lagi wacana, melainkan kenyataan. Kita tidak bisa menjaga bahasa daerah secara masif hanya melalui kesadaran pentingnya bahasa daerah sebagai salah satu faktor. Pembentukan karakter di tiap-tiap keluarga juga perlu untuk dikuatkan.
Kita tidak memaksa semua menggunakan bahasa daerah, di luar rumah kebutuhan berkomunikasi tidak cukup diwakilkan satu bahasa saja. Melainkan multibahasa, sehingga kebutuhan akan komunikasi bisa terjalankan dengan baik. Penjaga bahasa daerah yang efektif adalah keluarga, karena sebagian besar keluarga masih dalam satu rumpun yang sama.
Realitasnya telah banyak pernikahan beda suku, beda pulau bahkan beda Negara. Pernikahan seperti itu pasti mempertemukan bahasa, budaya dan kebiasaan yang berbeda.
Dari semua hal yang perlu ditekankan adalah pesan atau makna yang terkandung di dalamnya. Makna atau pesan tersebut disampaikan dengan berbagai wujud, bentuk sesuai dengan zamannya. Perwujudan yang disesuaikan dengan minat masyarakat sehingga pesan itu tersampaikan dengan baik.
Namun, apa bahasa cukup dipahami hanya dengan makna atau isi pesannya saja. Apakah bahasa dasarnya dapat diwakilkan pada bahasa-bahasa lainnya? Apakah ada persamaan kata yang benar-benar dapat mewakilinya? Tentu ada perbedaan, jika memahami dengan bahasa yang berbeda dari bahasa dasarnya. Karena sebenarnya makna tidak hanya didapatkan setelah membaca ringkasan filosofi hidup orang Jawa. Melainkan makna dipelajari melalui proses kehidupan, proses perjalanan sehingga itu yang diwakilkan oleh orang terdahulu dalam kata-kata bijak yang kita kenal saat ini.
Oleh karena itu, memahami makna perlu belajar dari yang dasar. Belajar dari dasar itu adalah memakai bahasa tersebut sehari-hari. Ini adalah langkah awal untuk memahami bahasa. Yang terpenting kedua adalah, setelah memahami makna seseorang mampu memberi pemahaman pada orang lain. Seperti dia memberi pemahaman pada anak usia enam tahun.
Jika nantinya bahasa daerah tinggal catatan sejarah, maka itu juga tetap penting. Karena mereka yang butuh pasti mencari sampai ke akar. Jika nanti bahasa daerah sudah tak lagi terdengar, tapi tetaplah ada dokumentasinya sehingga generasi selanjutnya dapat belajar dari masa sebelumnya.
Alih-alih berpikir atau cenderung tradisional, tulisan ini sebenarnya berusaha untuk mengambil sisi positif dari segala bidang di sampiang sisi negatif. Kita tetap hidup pada zaman teknologi yang selalu ada pembaharuan hal itu pula menjadi ciri khas atau keunggulan di era sekarang. Namun untuk sisi kemanusiaan, untuk sisi tentang filosofi kehidupan, beberapa hal tradisi yang tersimpan dalam Bahasa Daerah tetap masih dapat menjadi panutan. Oleh karena itu bahasa daerah tetaplah penting untuk dilestarikan.
Penutup
Generasi millenial yang hidup dalam ruang lingkup luas, terpapar informasi yang heterogen sejak kecil tentu memiliki pengaruh positif dan negatif bagi tumbuh kembangnya. Setiap era memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Bukan untuk menghujat kekurangan beda era, melainkan mengambil hal positif yang masih bisa dipelajari baik di era sekarang maupun era sebelumnya.
Bahasa daerah merupakan perwujudan dari peradaban bangsa, bahasa daerah menyimpan banyak pesan moral, nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai ketuhanan. Indonesia memiliki keramahtamahan dalam kehidupan sosial dan kedalaman spiritualnya. Jadi masih pentingkah bahasa daerah di era sekarang dan selanjutnya. Jawaban masih penting dan perlu dilestarikan.
*Bisa dihubungi melalui alamat surel ini Ymery027@gmail.com
Merawat Tradisi Menebar Inspirasi
“masih” berarti suatu saat akan berubah? 🙂