
Oleh: MOEHAMMAD SINWAN*
Terakota.id–Sebagai puncak acara dari peringatan Hari Teater Dunia (Hatedu), sebuah pentas teater dengan judul “Musuh Masyarakat” karya Henrik Ibsen, telah di gelar di Gedung Kesenian Cak Durasim. Rangkaian acara Hatedu 2018 dihelat di Taman Budaya Jawa Timur, 26-27 Maret 2018, atas kerjasama beberapa pihak. Antara lain: UPT Taman Budaya Jatim, SMK 12, DKJT, dan didukung oleh beberapa pihak sebagai sponsorship/donator.
Pementasan yang berdurasi lebih dari 1 jam ini disutradarai oleh Harwi Mardiyanto dan dibantu oleh seorang astrada Agung Kasas. Sedangkan naskah yang diterjemahkan oleh Asrul Sani ini, diadaptasi bebas oleh R. Giryadi, salah seorang tokoh teater di Jawa Timur, yang juga dikenal sebagai seorang penulis.
Peringatan Hatedu 2018 ini juga diwarnai dengan kegiatan Workshop Seni Peran, yang dihadiri, diantaranya oleh Rita Matumona, seorang aktor kawakan teater Koma (dan sekarang sedang menjadi Pengurus Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta), serta Meimura, salah seorang tokoh teater Jawa Timur yang juga sebagai salah satu pengurus Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT).
Selain itu, sejumlah komunitas teater dari beberapa kota di Jawa Timur, ikut memeriahkan pesta peringatan “hari” yang dianggap penting bagi kehidupan perteateran, dengan menyuguhkan penampilan-penampilan mereka di pendopo dan halaman Taman Budaya Cak Durasim Surabaya.
Pentas Teater “Musuh Masyarakat”
Pementasan ini diawali dengan sebuah alunan musik yang sederhana, namun cukup mampu membawa penonton pada suasana tertentu. Tak lama kemudian, sebuah tirai panggung mulai terbuka. Terpampanglah sebuah setting yang diterangi oleh beberapa cahaya lampu berwarna biru, membuat tatanan properti setting yang tampak menjadi teatrikal. Segera setelah itu, adegan pembuka yang penuh ritmik, dengan tarian dan nyanyian oleh pemeran para masyarakat mengisi panggung yang semula tak bertuan itu.
Adegan demi adegan pun mengalir dengan cukup lancar dan menarik. Dengan suasana cair, dan gaya yang bernuansa ‘dramaturgi’ teater rakyat Jawa Timur (ludruk). Hal ini memang bisa dikatakan telah berhasil hadir sebagai sebuah pertunjukan yang membuat para penonton merasakan puas dan terhibur.
Naskah Henrik Ibsen, seorang tokoh teater dunia, kelahiran Norwegia, yang ditulisnya pada tahun 1882, dengan judul asli En Folkefiende ini, telah diadaptasi secara bebas oleh R. Giryadi. R. Giryadi melakukan beberapa penyesuaian. Baik secara dimensi sosial, maupun secara bentuk atau konteks seni pertunjukan ludruk. Dan upaya adaptasi ini nampaknya cukup aman, baik dari segi esensi isi naskah, alur, maupun dari penokohan (penamaan tokoh) yang sangat ‘Jawa’ banget.
Musik, yang digarap oleh Nasar Batati dan kawan-kawan, memang cukup sederhana dan berangkat dari konsep minimalis. Namun kehadirannya cukup mampu mendukung dengan aman dan mengena pada jalannya pementasan dari awal hingga akhir. Meskipun pada beberapa bagian yang kadang terasa kurang efektif dan terkadang sedikit menggangu adegan yang sedang berjalan.
Secara keseluruhan, sekali lagi “Musuh Masyarakat” yang dibesut oleh seorang Harwi, telah berhasil hadir sebagai sebuah pementasan yang cukup ‘menawan’ para penontonnya. Banyak ‘banyolan-banyolan’ bergaya ‘ludrukan’ yang menghibur. Alur pementasan juga meluncur dengan lancar dan komunikatif. Intensi pementasan cukup bisa ditangkap dan dimaknai. Serta keutuhan statemen yang ingin disampaikan lewat pementasan ini bisa terjaga dan terpahami oleh yang menontonnya.
Namun, sebagaimana ungkapan bahwa “tak ada gading yang tak retak”, beberapa catatan pun perlu kita cermati dari pentas teater tersebut. Di balik keberhasilannya sebagai pementasan yang cukup menghibur dan menarik, pada aspek penggarapan aktor dan karakter pemeranan, pementasan ini masih ‘belum tuntas’. Terutama justru pada aktor-aktor yang menduduki posisi peran-peran penting, seperti tokoh Walikota, dan Dokter Waskito.
Kehadiran tokoh adaptasi, sang Dalang dan kedua cantriknya, yang dihadirkan untuk penyambung benang merah alur drama yang dicoba pula untuk diadaptasi dari aslinya, justru lebih mendapat porsi yang lebih memegang peran bagi keberhasilan pertunjukan ini.
Naskah drama yang aslinya bertitik tolak pada kekuatan konflik antara Sang Walikota dan Dokter Waskito (pada naskah asli bernama Thomas Stockman), yang sebetulnya mereka adalah dua orang kakak-beradik. Dalam pertunjukkan yang dimainkan oleh (atas nama) Gabungan Seniman Teater Jawa Timur ini, menjadi bergeser pada kekuatan adegan-adegan protes dan konflik dari para pemain masyarakat dengan Sang Dalang dan beberapa tokoh lain (di luar tokoh sang Walikota dan Dokter).
Meskipun hal ini bukanlah hal yang ‘tidak boleh’, dan wajar saja, akan tetapi, pergeseran kekuatan permainan tersebut menyebabkan pertunjukan ini menjadi kurang ‘perfect’ dan menjadi terasa kurang menggigit. Apalagi, beberapa aktor (yang justru merupakan pelaku kawakan pada dunia teater) terlihat dan sangat terasa bermain kurang “all out”, kurang bernergi, dan terlihat bermain dalam akting yang sedikit klise (ini terutama terlihat pada pemeran Dokter Waskito, Walikota, dan Istri Dokter Waskito).
Masih pada aspek pemain (aktor), kaitannya dengan atas nama “Gabungan Seniman Teater Jawa Timur”, ternyata beberapa orang pemain yang di-“import” dari luar kota Surabaya (antara lain Bojonegoro, Nganjuk, dan Sidoarjo), hanya bermain pada porsi peran tambahan yang jelas kurang memiliki akses yang berarti bagi “esensi” pertunjukan tersebut.
Dengan kata lain, bahwa pertunjukan tersebut lebih pas disebut sebagai sebuah pementasan “The9atre” (teater dari SMK 12) yang didukung oleh beberapa seniman teater yang ada di Jawa Timur.
Sebab, statemen bahwa karya pentas ini merupakan karya dari Gabungan Seniman Teater Jawa Timur, nampaknya merupakan ‘pengakuan’ yang bisa jadi menimbulkan ‘polemik’. Tak berlebihan memang jika pada kenyataannya beberapa pihak mempertanyakan perihal tersebut (baik yang hanya “klesak-klesik”, yang dengan terang-terangan atau yang dengan sindiran-sindiran).

Sebagai sebuah upaya untuk mencoba memulai terbangunnya tradisi kolaborasi dari berbagai kelompok (apalagi lintas daerah/kota); atau sebagai sebuah upaya untuk menjebol sekat-sekat primordial yang (disadari atau tidak disadari) sudah muncul di tengah-tengah perteateran kita; upaya proses berkarya pada pentas “Musuh Masyarakat” ini perlu mendapat apresiasi yang positif. Namun, upaya-upaya semacamnya, untuk saat-saat berikutnya sangatlah perlu didasari oleh pemikiran, kondisi dan kenyataan yang tak menyimpan “problematika” di kemudian harinya.
Teater memang sebuah “kerja kolektif” yang perlu kebersamaan; teater adalah sebuah dunia yang sangat mengakomodasi “keberanekaragaman”. Tapi membangun kebersamaan pada dasarnya perlu juga dipertimbangkan efek dan implikasi yang mesti ditimbulkannya.
Namun demikian, sekali lagi, apa pun yang sudah dilakukan oleh teman-teman ini, perlu disambut dengan sebuah apresiasi yang memadai.
Selebihnya, sebagai Sang Sutradara, seorang Harwi memang terasa sangat mumpuni dan akrab dengan sebagian besar pemain yang berasal dari siswa-siswa SMK jurusan teater. Namun, ia kelihatan kurang bisa ‘masuk’ dalam wilayah penggarapan para pemain yang berposisi sebagai ‘penanda,’ bahwa pentas teaternya adalah hasil kolaborasi dari “Gabungan Seniman Teater Jawa Timur”.
Satu hal lagi, sebuah catatan penting untuk pementasan ini. Pentas “Musuh Masyarakat” kali ini, kurang berhasil mengetengahkan konflik sosial antara kakak-beradik, dan antara masyarakat dengan pejabat, sebab nampaknya, pentas dengan nuansa cair dengan bumbu-bumbu “guyonan”, lebih menjadi pilihan. Dari pada sebuah pementasan yang mengajak penonton untuk mencermati persoalan, yang meskipun naskahnya telah ditulis pada tahun 1882, namun masih aktual pada saat ini.
Peringatan HATEDU 2018, Taman Budaya Surabaya
Suatu hal yang menggembirakan adalah berkumpulnya berbagai komunitas teater, dan berbagai kalangan seniman teater di Taman Budaya Jawa Timur kemarin. Momentum itu memang semestinya bisa dijadikan salah satu harapan bagi terbangunnya iklim perteateran yang lebih baik dan lebih kondusif di Jawa Timur khususnya.
Tampilnya berbagai komunitas teater di pendopo dan di halaman Taman Budaya Jawa Timur, serta pementasan teater oleh Gabungan Seniman Teater Jawa Timur, dalam judul “Musuh Masyarakat” sebagai puncak perayaan Hatedu 2018 ini, menunjukkan bahwa teater Jawa Timur masih ada. Dan iklim perteater di Jawa Timur juga masih tumbuh dan (harus) berkembang.
Akan tetapi, dibalik “kemeriahan” dan keberlangsungan helatan penting tersebut, ada beberapa catatan-catatan yang cukup penting untuk kita respon dan ditindaklanjuti.
Apakah hanya karena mereka (para kelompok penampil) itu adalah para pemula, yang semangatnya lebih besar pada “keinginan untuk tampil”, maka pementasan-pementasan mereka ditampilkan dan disuguhkan dengan cara yang ‘massal’, di tempat keramaian yang jelas kurang kondusif untuk menikmati dan mengapresiasi pementasan teater.
Pementasan-pementasan yang dikemas dan di-entertain dengan asal tampil, asal meriah, dan dengan penyajian yang ‘hiruk-pikuk’, adalah sebuah pandangan yang sesungguhnya kurang efektif bagi upaya yang diatasnamakan sebagai pengembangan perteateran kita.
Kesan lain yang tertangkap adalah apakah kita para penyelenggara teater sudah kehilangan cita rasa, bagaimana seharusnya kita mengemas dan menyuguhkan penampilan teater? Atau, apakah memang hal demikian itu sudah menjadi trend baru bagi penyelenggaraan pesta karya teater?
Kalau kedua hal ini terjadi, maka tak mungkin bisa kita berharap bahwa pertumbuhan dan perkembangan teater kita bakal lebih baik dan menggembirakan. Teater adalah kerja kolektif yang membutuhkan kesungguhan dalam berproses, tapi kenapa sering terjadi para penyelenggara peristiwa teater kurang menghargai proses kerja itu. Penampilan-penampilan yang sesungguhnya lebih banyak digarap sebagai pertunjukan panggung (sesuai bentuk dan pilihan yang telah dilakukan oleh pelakunya), pada helatan tersebut dipaksa untuk bermain pada tempat seadanya, dan dalam suasana yang ‘riuh’ di mana-mana.
Teater itu sebuah proses komunikasi, janganlah ia disajikan tanpa memperhitungkan suasana yang kondusif untuk terjadinya apresiasi yang komunikatif. Teater itu juga sebuah prosesi. Maka, janganlah ia dipaksa-paksa hanya ditampilkan sebagai persitiwa ‘keramaian’ atau ‘kesemarakan’ belaka. Hal yang sangat mengenaskan ketika sebuah peringatan hari penting bagi kehidupan berteater, memperlakukan pentas teater hanya sebagai projek ‘keramaian’.

Jadi, sebuah pertanyaan besar yang mesti kita pikirkan kembali adalah: kenapa, pada peringatan Hatedu tersebut, berbagai komunitas teater harus tampil dalam tempat, kondisi dan keadaan yang ‘kurang’ kondusif untuk mewadahi proses berkarya mereka? Sedangkan untuk pementasan teater yang dianggap sebagai puncaknya, bisa dikemas dan disajikan dalam sebuah gedung dengan fasilitas yang ‘cukup’ memadai, dan dengan persiapan penyajian yang representaif dan efektif untuk berlangsungnya sebuah gelaran pementasan?
Kenapa?
Kenapa itu yang terjadi? Apakah itu berjalan atas nama keterbatasan kondisi? Atau memang sudah menjadi pilihan dan konsep penyelenggaraan yang dikehendaki? Kenapa sih, kita selalu punya hobi ‘mengeluhkan’ kondisi buruk perteateran (kesenian) kita yang sudah terjadi, tapi kita kurang bersungguh-sungguh ‘berbuat’ untuk benar-benar memperbaiki keadaan dan kenyataan yang kita miliki.
Apakah kita akan terus berharap dan bermimpi bahwa pertumbuhan dan perkembangan teater kita suatu saat nanti akan hebat? Sementara perilaku kita, masih sangat jauh panggang dari api? Bisakah?
Salam Hatedu! Selamat membangun semangat untuk maju!■
Tegalgondo, 29 Maret 2018
*Pendiri, Pemimpin Umum & Sutradara Teater IDEōT. Email: sinwanmoehammad@gmail.com
*Sanggar Teater IDEōT: PERUM IKIP Tegalgondo Asri Blok 2F No.07 Tegalgondo, Malang
Email : ideotteater@gmail.com / teaterideot@gmail.com
Twiter : @teaterideot
Blog : teaterideotmlg.blogspot.com / ideotpress.blogspot.com
FB : Ideot Teater

Merawat Tradisi Menebar Inspirasi