
Terakota.id—Membaca novel Lemah Tanjung ada tokoh bernama Gita, tokoh rekaan yang diciptakan Ratna Idraswari Ibrahim. Dimulai dengan kisah kunang-kunang yang membuat putrinya, Bonet, merengek. Bonet sangat ingin melihat kunang-kunang, serangga malam yang berkedip dan menyala.
Gita kelabakan, kondisi Kota Malang saat masa kecilnya berbeda jauh dengan masa kecil anaknya. Kunang-kunang tak mudah dijumpai. Hewan kelap kelip yang terbang ini biasa hidup di lingkungan yang alami. Kini seolah punah seiring dengan kondisi kota yang dipenuhi gemerlap lampu listrik.
Dari kunang-kunang kisah itu dimulai. Gita menulis surat pembaca di sebuah koran lokal. Berbalas. Seorang perempuan bernama Indri menghubung dan mengabarkan jika jika malam kunang-kunang ditemukan di sekitar rumahnya, Lemah Tanjung. Gita merencanakan perjalanan bareng Bonet. “Keduanya berbahagia berharap bisa melihat kunang-kunang,” tulis Ratna Ibrahim.
Sayang, lokasi kunang-kunang berada dalam lahan sengketa antara penghuni kawasan Akademi Penyuluhan Pertanian (APP) dengan koordinator Ibu Indri melawan pengusaha yang bakal melakukam ruislag atau tukar guling lahan beserta bangunan. Hutan kota bekas kampus APP seluas 28 hektare, berfungsi sebagai kawasan ruang terbuka hijau menyerap air, habitat aneka jenis burung. Total 28 spesies dari berbagai jenis tanaman langka ada di situ.(Ratna Indraswari Ibrahim, 2003: 2-4).
Penanda Lingkungan Bersih dan Sumber Air Melimpah
Kunang-kunang merupakan serangga yang menjadi penanda sebuah kawasan memiliki air jernih dan memiliki lingkungan yang bagus. Ilham, seorang pemuda yang membantu Ibu Indri menuturkan jika Lemah Tanjung memiliki sumber mata air. Perubahan hutan kota menjadi perumahan elit bakal menutup areal itu dengan beton. Sehingga bakal mengakibatkan dampak lingkungan, Kota Malang bakal banjir. Sehingga dari sisi lingkungan, Lemah Tanjung amat berharga.
Kampus APP merupakan tempat anak muda disiapkan menjadi penyuluh pertanian. Pembangunan tidak akan memperhatikan data ekologis sebagaimana dikutip dalam novel ini. Ada relasi kuasa antara pemerintah, masyarakat, dan pasar di dalam setiap pembangunan kota. Termasuk perubahan tata ruang dan alih fungsi lahan.
Sehingga, pembangunan kota tak pernah netral. Di sana ada kontestasi, konflik, dan negoisasi. Henry Levebre sebagaimana dikutip Siti Aminah dalam Konflik dan Kontestasi Penataan Ruang Kota Surabaya (2012: 61) mengatakan bahwa praktik penataan ruang meliputi kegiatan produksi dan reproduksi ruang yang di dalamnya terdapat perjuangan dari kelas-kelas untuk mendapatkan dan menguasai ruang itu.

Relasi konfliktual dalam penataan ruang itu memungkinkan siapa yang kuat dia bakal menang. Dalam banyak kasus, pasar yang ditopang kebijakan pemerintah menjadi pemenang dengan menyisihkan rakyat sebagai yang kalah. Dengan begitu, seakan absah bagi rakyat untuk digusur, dipindahkan, atau dibatasi dari ruang hidupnya sendiri. Seperti Ibu Indri, Bapak Rahmat, Bapak Simin, dan warga yang tinggal di kawasan kampus APP lain yang disebut di dalam novel Lemah Tanjung.
Perubahan tata ruang, sebagaimana disampaikan Ratna dalam novel. Lemah Tanjung bakal disulap menjadi kota setelit. Dicky Dwi Ananta menyitir pendapat David Harvey jika perkembangan kota merupakan fenomena kelas. Keuntungan diambil dari suatu tempat atau orang, sedangkan kontrol biasanya terkonsentrasi pada segelintir orang.
Dalam novel, mobilitas produksi dilakukan mengubah Lemah Tanjung yakni bekas kampus APP, hutan kota, sumber mata air menjadi properti berupa hunian elit dan hotel. Lemah Tanjung dijadikan komoditas yang memungkinkan terjadinya mengalirkan keuntungan kepada segelintir pemodal.
Mereka yang Terusir
Ratna mengisahkan konflik agraria Lemah Tanjung berlangsung sejak 1994. Mereka mengadu ke DPR dan Menteri Lingkungan Hidup agar ruislag dibatalkan. Hasilnya, nihil. Justru pada 1995, seluruh penghuni APP dipaksa pindah oleh petugas berseragam dan bersenjata ke Randu Agung, Lawang
Tidak mengherankan karena dalam penciptaan ruang kapitalistik, Negara menurut David Harvey memiliki peran penting menjaga teritorial dan logika kapitalistik selalu jalin-menjalin.“Negara dengan monopolinya atas kekerasan dan penetapan hukum, memainkan suatu peran yang krusial baik dalam mendukung maupun memajukan proses-proses ini (maksudnya pembangunan kapitalistik, pen),” tulis Harvey (2010:162).
David Harvey menyebut hal ini dengan accumulation by dispossession, akumulasi lewat penjarahan. Akumulasi lewat penjarahan menjelaskan lebih jauh tentang konsep akumulasi primitif yang dijelaskan Marx. Prosesnya antara lain komidifikasi dan privatisasi tanah serta pengusiran penduduk secara paksa dari tanahnya, mengubah hak milik Negara atau hak milik kolektif, dsb) menjadi hak milik pribadi.
Rumah penghuni Lemah Tanjung dibongkar. Namun Ibu Indri dan kawannya, Pak Rahmat, tetap bertahan(Ratna Indraswari Ibrahim, 2003: 2-4). Lemah Tanjung yang sebelumnya merupakan aset publik, diubah menjadi hak milik pemodal melalui skema ruislag.
Ruislag Lemah Tanjung dimenangkan PT. Bangun Kerta (Ratna Indraswari Ibrahim, 2003: 24). Mereka akan mengganti Lemah Tanjung dengan lahan di Randu Agung, Lawang. Ibu Indri, Bapak Rahmat, Bapak Samin dan beberapa kawan yang membantu, menolak tawaran itu. Mereka pun terseret dalam kasus yang ruwet: pemerintah yang abai, developer yang hanya berfikir ekonomi, dan hukum yang tak pasti.
Pada 1996, Ibu Indri merasa perjuangannya telah tamat. Areal Lemah Tanjung dipagar papan oleh developer (Ratna Indraswari Ibrahim, 2003: 33). Padahal Ibu Indri, Bapak Rahmat dan Bapak Samin masih tinggal di dalamnya. Namun, pada 21 Mei 1998, harapan Ibu Indri kembali membuncah. Ia berharap ada angin perubahan bersama lengsernya Soeharto. Beberapa teman menasehatinya untuk tidak larut dalam harapan.
Kekuasaan Soeharto telah terjalin 32 tahun, dan “apakah mungkin sistem itu bisa cepat diganti?” (Ratna Indraswari Ibrahim, 2003: 35). Indri tetap kukuh. Tapi, nasehat teman-temannya ada benarnya.
Reformasi tidak memberi angin perubahan atas kasus yang sedang dihadapinya. Developer merasa telah memiliki lahan Lemah Tanjung. Mereka menganggap urusan telah selesai sebatas: ganti rugi dan kemungkinan lowongan kerja sebagai tukang kebun dan satpam bagi penduduk sekitar (Ratna Indraswari Ibrahim, 2003: 40).

Kalaupun dianggap perubahan, reformasi hanya memungkinkan Bu Indri bersama gerakan penyelamatan Lemah Tanjung untuk bebas menyuarakan pendapat. Sampai melakukan aksi di kantor Departemen Pertanian Surabaya.
Kebebasan juga memungkinkan Ibu Indri untuk membentuk sebuah LSM: Konservarium Hutan Kota (Konstata) (Ratna Indraswari Ibrahim, 2003: 358). Meski begitu mereka tetaplah semut di hadapan gajah. Developer adalah gajah yang disokong birokrasi dan apparatus hukum. Reformasi tak menyentuh sendi-sendi gajah.
Lemah Tanjung pun sengaja dibakar (Ratna Indraswari Ibrahim, 2003: 385). Pelakunya tak diketahui. Pohon-pohon terbakar berikut beberapa bangunan yang tersisa di dalamnya. Semangat perjuangan masih ada. Ibu Indri beserta komunitasnya, menanaminya kembali.
Apakah kelak bibit-bibit tanaman itu akan sempat tumbuh, ruislag dibatalkan, dan rencana developer digagalkan? Entahlah. Anda dapat menyimak sendiri kelanjutannya hingga lembar terakhir.

Asisten Redaktur. Pegiat literasi dan coffee addict