
Terakota.id–Tekun, Ali Fauzi Manzi menyimak penjelasan seorang dosen saat orientasi mahasiswa baru Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Mengenakan jas almamater merah, ia duduk bersama ratusan mahasiswa pasca sarjana lainnya. Ia tengah menempuh pendidikan doktoral Pendidikan Agama Islam.
“Menambah ilmu dan teman,” kata Direktur Lingkar Perdamaian Ali Fauzi Manzi. Ali Fauzi merupakan bekas kombatan Mindanao (Filipina). Rekam jejak Ali Fauzi terlibat dalam gerakan radikalisme dan terorisme karena ketiga kakaknya. Mereka merupakan bagian dari jaringan Jamaah Islamiyah dan Al Qaedah.
Pikiran Ali Fauzi terbuka, setelah melanjutkan pendidikan pasca sarjana di Universitas Muhammadiyah Surabaya. Bangku kuliah mengubah cara pandang seorang Ali Fauzi, ia berharap semakin banyak bekas narapidana terorisme dan bekas kombatan mengeyam pendidikan tinggi. Agar semakin terbuka dan tak kembali ke jaringan pelaku teror.
Ali Fauzi melalui Lingkar Perdamaian, sebuah lembaga yang didirikannya mendekati para bekas napi terorisme dan kombatan agar tak kembali ke jaringan semula. Direktur Lingkar Perdamaian Ali Fauzi Manzi ini mengaku sulit membangun kepercayaan bekas para kombatan dan bekas narapidana terorisme. Dia harus mendekati satu persatu untuk mendapat kepercayaan. Sejauh ini, sebanyak 40-an bekas kombatan dan narapidana terorisme berikrar cinta NKRI.

“Indonesia rumah kita. Harus dijaga,” katanya. Dia juga menghilangkan ego, sebagai bekas pimpinan militer yang berpengaruh di jaringan Al Qaedah yang memiliki banyak pengikut. Setelah melanjutkan pasca sarjana, Ali Fauzi banyak belajar, menghargai pendapat dan perbedaan. “Jika tak kuliah tak bisa. Membuka cakrawala,tak terkungkung pemikiran tertentu,” ujarnya.
Dia melihat sistem yang dibangun dalam pendidikan perguruan tinggi di Muhammadiyah bagus untuk program deradikalisasi. Ali Fauzi tengah mengusahakan sebanyak 10 bekas narapidana terorisme dan kombatan yang berkeinginan melanjutkan kuliah jenjang S-1 maupun S-2.
Bahkan seorang diantaranya telah menyelesaikan program doktoral. Tapi gara-gara kesulitan keuangan sebagian tak bisa melanjutkan kuliah. “Dulu mengharamkan kuliah, sekarang bondong-bondong kuliah,” ujarnya.
Ali Fauzi mengakui jika belajar dan menulis merupakan sesuatu yang sulit dan harus dipelajari secara serius. Belajar menembak, katanya, jauh lebih mudah dibandingkan menulis. “Menembak ada sempurnanya. Menulis tak ada. Menulis jauh lebih sulit,” ujar Ali Fauzi.
Kini, di Jawa Timur terdapat sebanyak 37 mantan narapidana terorisme dan kombatan. Dari total sekitar 1.300 narapidana terorisme. Tugas Ali Fauzi juga berat untuk menjaga para bekas kombatan dan narapidana terorisme ini tak kembali ke dunia lamanya. Sebab bisa saja, sewaktu-waktu mereka kambuh dan bergabung dengan jaringan yang dulu. “Saya merawat singa-singa. Bisa saja saya dicakar,” ujarnya berkelakar.
Pendidikan Membuka Cakrawala
Faqih Luqman, 35 tahun, selama sepekan terakhir tengah galau. Ia kebingungan mencari uang untuk biaya pendidikan pasca sarjana di Universitas Muhammadiyah Surabaya. Dibutuhkan biaya sebesar Rp 20 juta untuk biaya pendidikan selama satu semester dan biaya ujian tesis.
Selama dua bulan, dia tak bisa mengumpulkan uang untuk kuliah. Sehingga Faqih memilih terminal selama satu semester sembari mencari dana kuliah. Selama ini, dia mengumpulkan uang dari jerih payah mengajar di Pondok Pesantren Al Islam, Tenggulun, Selokuro, Lamongan. Pesantren yang diasuh kakak tertua trio bom Bali, Mohamad Chozin.
“Saya kuliah jurusan tarbiyah. Niat kuliah untuk bekal mengajar,” katanya. Faqih mengajar sejak menempuh pendidikan Strata Satu di Sekolah Tinggi Agama Islam Muhammadiyah Paciran, Lamongan. Dia kemudian melanjutkan kuliah pasca sarjana karena dorongan teman-teman. Selain itu, juga dia berusaha mewujudkan cita-citanya menjadi seorang dosen.
“Saya ingin mengamalkan ilmu dan membantu pondok pesantren,” katanya. Tak sendirian, Faqih juga memiliki teman yang tak bisa melanjutkan kuliah karena tak memiliki dana cukup. Faqih merupakan salah satu pengurus Lingkar Perdamaian yang dimpimpin Ali Fauzi Manzi, adik dari trio bom Bali (Ali Gufron alias Muklas, Ali Imron dan Amrozi).

Lingkar Perdamaian merangkul bekas kombatan dan bekas narapidana terorisme dan melakukan usaha deradikalisasi. Selain itu, juga ada dua lagi mahasiswa pasca sarjana anggota Lingkar Perdamaian yang tak bisa melanjutkan kuliah. Serta sebanyak enam orang diantaranya tengah beruaha melanjutkan kuliah Strata Satu.
Sejumlah bekas kombatan dan napi terorisme memilih tak melanjutkan kuliah. Seperti Agus Marthin alias Hasan, 36 tahun yang berharap agar kedua anaknya bisa meraih jenjang pendidikan tinggi. Sementara lelaki asal Bekasi ini memilih bekerja untuk membiayai pendidikan ketiga anaknya. “Lebih baik anak saya yang kuliah dan berpendidikan tinggi,” katanya.
Hasan terlibat dalam penembakan di Pondok Aren Jakarta pada 2013. Dia merupakan pemasok senjata untuk aksi penembakan itu. Hasan divonis bersalah dan menjalani hukuman empat tahun, dengan remisi selama setahun. Kini, dia tengah menatap masa depan untuk mendapat pendidikan yang layak bagi anak hasil pernikahan dengan seorang istri asal Lamongan.
Pendekatan Aktor
Pembantu Rektor II Universitas Muhammadiyah Malang, Profesor Syamsul Arifin yang juga peneliti gerakan radikalisme dan terorisme menilai pendekatan aktor efektif untuk proses deradikalisasi. Seperti yang dilakukan terhadap Umar Patek yang tengah menjalani hukuman di Lembaga Pemsayarakatan Porong, Sidoarjo.
“Ideologi itu keyakinan. Butuh proses panjang untuk indoktrinisasi, sudah mendarah daging,” katanya. Pendekatan aktor pula yang diterapkan kepada Ali Fauzi. Meski membutuhkan proses panjang untuk menimbulkan kesadaran. Ali Fauzi kuliah pasca sarjana, kata Syamsul, bukan satu-satunya variabel yang menentukan.
“Tapi punya potensi untuk deradikalisasi,” katanya. Syamsul yang juga menjadi dosen pembimbing tesis Ali Fauzi menjelaskan jika dibutuhkan dialog panjang. Namun, kuliah juga semakin memantapkan Ali Fauzi jika pilihannya selama ini tak benar. Dialog, katanya, merupakan tradisi intelektual, mengedepankan pandangan dan argumentasi.
“Dia melihat ada pra kondisi. Sebelumnya ada titik balik yang dialami Ali Fauzi sehingga terbuka dan mengakui jalannya selama ini salah,” ujarnya. Titik balik seorang Ali Fauzi, katanya, berlanjut setelah menempuh pendidikan psaca sarjana.
Cara deradikalisasi, sesuai buku karangan mendiang Sarlito Wirawan seorang psikolog terorisme sulit dilakukan deradikalisasi dengan cara kontra ideologi. Namun, sebaliknya akan terbuka jika didatangkan korban untuk menimbulkan kesadaran.“Akan keras jika didatangkan ulama untuk pengajian. Tapi sebaliknya jika ditemukan dengan korban,” ujarnya.
Cara seperti ini yang diterapkan oleh Syamsul. Tak konfrontatif, tetapi dibutuhkan komunikasi. Sampai kapan pun, kata Syamsul, gerakan radikal tetap ada. Terjadi pasang surut, patah tumbuh hilang berganti. Ideologi redakalisme dan terorisme tumbuh subur, karena kegelisahan tak puas dengan pemerintah. Gerakan perlawanan muncul, menjadi hukum alam. Ada kelompok yang tak puas.
Syamsul Arifin berjanji tengah menyiapkan skema pembiayaan untuk proses deradikalisasi dan beasiswa bagi bekas narapidana terorisme dan kombatan. Dana akan dicarikan dari jaringan lembaga donor. Tahun lalu dia menyediakan sebanyak 10 beasiswa untuk mahasiswa pasca sarjana jurusan Hak Asasi Manusia. “Kita fasilitasi diberi beasiswa,” ujarnya

Jalan, baca dan makan