Penderitaan dan Paradoks Sejarah

massa-aksi-dan-corona
Sukarno berpidato di depan ribuan massa. (Foto : Natgeo Indonesia).
Iklan terakota

Oleh : Profesor Hariyono*

Terakota.id–Membaca ulang buku lama, Haluan Politik dan Pembangunan, yang diterbitkan Departemen Penerangan (1961) saya tertarik dengan Amanat  Kepala Negara, Bung Karno (BK),  di depan Sidang MPRS pada  10 November 1960. Salah satu pernyataan yang menarik tersebut adalah tentang paradoks sejarah, historical paradox.

BK menyatakan, “M.P.R. lembaga yang mutlak, dituntut oleh Undang-undang Dasar 1945, maka tidak boleh tidak kita harus mengenangkan akan penderitaan rakyat itu. Dan sebagai tiap-tiap rakjat jang menderita, maka rakjat Indonesia ingin melepaskan diri daripada penderitaan itu. Dan dalam usaha untuk melepaskan diri daripada penderitaan itu, sekali lagi rakjat Indonesia mendjalankan penderitaan-penderitaan, korbanan-korbanan jang amat pedih. Untuk mengachiri penderitaan, rakjat Indonesia mendjalankan penderitaan”.

Makna pernyataan BK di atas sangat bagus untuk refleksi kehidupan, baik dalam tataran  pribadi maupun kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk keluar dari penderitaan kita diminta untuk secara sadar (bewust) melakukan penderitaan yang lebih guna menggapai keberhasilan dan kesuksesan. Rela bekerja lebih keras, berusaha dan berjuang  lebih rajin dan giat, serta menjalani hidup lebih sederhana atau lebih menderita lagi agar kita dapat melakukan “investasi perjuangan” yang mampu mengeluarkan kita dari penderitaan yang selama ini dialami.

Dalam tataran pribadi seseorang yang menderita dari kemiskinan dapat keluar dari jebakan kemiskinan setelah yang bersangkutan menyadari dirinya hidup dalam lingkungan yang serba terbatas dan penuh penderitaan.  Dirinya rela lebih menderita lagi dengan tidak mengeluh. Dirinya memilih untuk lebih menderita dengan berpeluh. Penderitaan yang disadari tersebut dijadikan energi positif membangun keyakinan, membangun cita cita masa depan bangsa, agar kelak di masa depan tidak lebih menderita lagi.

Dia bekerja,  berjuang, dan belajar lebih keras lagi. Dia hidup lebih hati hati dan hemat.  Hasil akumulasi dari proses perjuangan yang penuh  penderitaan dan melebihi kebiasaannya membuat dirinya lebih berkualitas, membuat dirinya bisa investasi yang pada akhirnya dapat menggapai kesuksesan.  Kristalisasi penderitaan yang disadari membuat dirinya ulet dan tidak mudah menyerah pada keterbatasan dan kesulitan hidup yang dihadapi. Jadilah orang orang yang dulunya perlu penuh penderitaan, setelah dirinya menggembleng dirinya lebih menderita, menjadi pribadi yang lebih sukses.

Dalam tataran kehidupan berbangsa dan bernegara juga demikian. Suatu negara yang miliki etos kerja tinggi dan kepemimpinan yang visioner biasanya dilalui dengan proses belajar dan kerja keras yang tinggi. Pejabatnya  rela menerima fasilitas kerja apa adanya, tidak korup, bekerja lebih giat untuk memajukan bangsa dan negaranya. Mereka tidak suka hidup konsumtif dan berfoya-foya.

Semangat kebangsaan yang ada mampu mengajak semua elemen masyarakat dan negara untuk siap lebih menderita demi kemajuan bangsa dan negara nya. Demi investasi di masa depan, baik dalam peningkatan kualitas kehidupan warganya maupun investasi infrastruktur, rela menerima keterbatasan fasilitas hidup. Akumulasi dari derita yang disadari dan dipilih tersebut menjadikan negara dan bangsa yang bersangkutan dapat menjadi negara yang lebih maju.

Dalam konteks keindonesiaan, sudah waktunya kita yang menderita rela untuk melakukan “penderitaan lebih” dengan rela hidup lebih sederhana, rela belajar lebih giat,  rela bekerja lebih keras dan rela berjuang lebih bersemangat lagi agar masyarakat yang adil dan makmur,  masyarakat dan negara Pancasilais yang diidamkan idamkan dan diperjuangkan pendiri bangsa dapat segera terwujud.

Perjuangan yang lebih bersemangat, perjuangan yang lebih keras merupakan wujud dari paradok sejarah. Kita rela untuk lebih menderita demi masa depan yang lebih baik. Penderitaan tidak dimaknai sebagai suatu takdir. Penderitaan dimaknai sebagai suatu tantangan yang harus diatasi dengan lebih menderita dengan melakukan perjuangan.

Jiwa, geest, perjuangan yang siap dengan penderitaan lebih hanya dapat  terjadi pada mereka yang memiliki semangat yang luhur dan besar. Tanpa roh dan semangat yang luhur penderitaan hanya menjadi keluh kesah. Sebaliknya setiap individu, setiap bangsa yang memiliki jiwa dan semangat yang luhur dan besar rela melakukan “penderitaan lebih” dengan menjalani kehidupan dengan cara yang mulia, jalan yang lebih bermartabat.

Kita bangsa Indonesia sudah memiliki warisan dasar negara dan pandangan hidup bangsa yang penuh keluhuran dan kemuliaan. Sudah waktunya Pancasila harus kita gelorakan menjadi roh dan semangat kehidupan berbangsa dan bernegara secara konsisten. Pejabatnya bekerja keras, cerdas  dan rela hidup sederhana sehingga tidak mudah tergoda melakukan tindak korupsi. Rakyatnya senang  bekerja keras tanpa mudah mengeluh.

Hedonisme dan konsumerisme dihindari. Kepentingan pribadi tidak boleh mengalahkan kepentingan umum.  Dengan demikian rasa percaya diri dan saling mempercayai antar elemen bangsa makin diperkuat. Kita semua “Rela lebih menderita” untuk cita cita masa depan bangsa agar dapat keluar dari penderitaan. Kita secara sadar memilih penderitaan yang lebih agar dapat keluar dari penderitaan.

Masyarakat Pancasilais hanya dapat direalisasikan dengan perjuangan, perjuangan dan perjuangan. Dan dalam perjuangan ada penderitaan sekaligus  harapan. Harapan yang besar dan mulia hanya dapat diperjuangkan oleh orang orang yang yang berjiwa besar dan mulia. Dan saya yakin saudara saudara yang membaca ini adalah orang orang yang berjiwa besar dan mulia.

Kemanggisan Ilir Raya, 31 Januari 2019.

*Pelaksana Tugas Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila

Pembaca Terakota.id bisa mengirim tulisan reportase, artikel, foto atau video tentang seni, budaya, sejarah dan perjalanan ke email : redaksi@terakota.id. Tulisan yang menarik akan diterbitkan di kanal terasiana.