Videografer : Sitti Nur Khadhijah*
Terakota.id—Penyakit pes menghantui penduduk Malang 1911-1916, ribuan nyawa melayang. Bahkan dalam satu desa sekitar 300 orang meninggal. “Banyak desa yang habis. Penduduk meninggal dan sebagian mengungsi,” kata sejarawan Syefri Luwis saat diskusi Cikal bakal Malang yang diselenggarakan Terakota.
Penulis buku Epidemi Penyakit Pes di Malang : 1911-1916 menjelaskan jika pemerintah Hindia Belanda abai banyak warga meninggal karena penyakit pes. Tak melakukan antisipasi dan mencegah penularan. Direktur Burgerlijke Geneeskundige Dienst (BGD) atau Dinas Kesehatan Publik De Vogel terpaksa turun tangan.
Kemudian pemerintah kolonial Belanda memerintahkan calon dokter pribumi yang tengah menempuh pendidikan di STOVIA Batavia untuk turun langsung merawat dan menangani pasien pes. Terutama mahasiswa tingkat akhir, setelah menjadi relawan mereka lulus dan diangkat sebagai dokter. “Mereka telah membantu memberantas penyakit pes,” katanya.
Bahkan, Dokter Tjipto Mangunkusumo turun tangan tanpa diminta BGD dan tak meminta bayaran. Ia bahkan turun langsung tak menggunakan alat pelindung diri. Dokter Tjipto menolong banyak orang, dan menemukan bayi di rumah yang kedua orang tuanya meninggal karena penyakit pes.
“Bayi itu diangkat sebagai anak diberi nama Pesyati (Pesjati),” ujar Syafril. Sementara dokter asal Eropa takut, dan tak mau turun. Mereka tak siap dan teringat dengan black dead yang menyerang Eropa pada 1347. Selama empat tahun telah menewaskan 200 juta jiwa. “Apalagi alat pelindung diri, tak sama seperti sekarang,” ujarnya.
Karena ketidak tahuan masyarakat tentang penyakit pes, mereka menganggap epidemi pes merupakan gangguan makhluk gaib. Masyarakat menggambar dinding rumah dengan buto atau raksasa, untuk mengusir dari rumah atau desa mereka. “Padahal ini penyakit zoonosis. Menular dari hewan ke manusia,” ujarnya.
Sementara pemerintah Hindia Belanda membatasi orang keluar masuk Malang. Tentara menjaga daerah perbatasan. Setiap orang tak boleh keluar dan masuk tanpa memiliki surat jalan.
“Mirip sekarang kan? Saat pandemi Covid-19,” ujarnya. Kalau ada yang memaksa masuk akan dihukum tentara dengan ditembak mati.
*Reporter magang, telah menyelesaikan pendidikan Ilmu Komunikasi di UMM

Merawat Tradisi Menebar Inspirasi