Pemerintah  ≠ Negara

Iklan terakota

Terakota.id–Aparatur Sipil Negara (ASN) itu harus loyal pada negara atau pemerintah? Terus Pegawai Negeri Sipil (PNS) itu perlu loyal pada negara atau pemerintah juga? Memang apa beda antara negara dengan pemerintah? Apakah yang menggaji ASN dan PNS itu negara? Memang negara itu siapa? Mengapa harus ada penekanan bahwa ASN itu harus netral dalam politik? Apa beda PNS dengan ASN?

Di atas beberapa pertanyaan yang menghangat akhir-akhir ini. Bukan soal menggugat peran ASN atau PNS. Kita berusaha meluruskan tugas dan wewenang yang harus diemban mereka. Bukan soal suka dan tidak suka. Ini persoalan aturan negara yang wajib dilaksanakan oleh pemerintah.

Awalnya kita perlu tahu terlebih dahulu apa beda ASN dengan PNS. Ini perlu dikemukakan sebelum membahas keduanya dan pernik-pernik yang mengikutinya lebih jauh.  Tentu biar tidak bias arti. Sebab, ada yang mencampuradukkan satu sama lain antara ASN dengan PNS.

Kita tengok aturan dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Dalam aturan itu disebutkan bahwa ASN itu dibagi menjadi dua kelompok; (1) PNS atau Pegawai Negeri Sipil dan (2) PPPK atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja.

PNS itu ASN yang diangkat sebagai pegawai tetap dan memiliki Nomor Induk Pegawai (NIP). Sedangkan PPPK itu pegawai ASN yang diangkat dengan perjanjian kerja sesuai kebutuhan dan ketentuan. PNS mendapat pensiun sementara ASN tidak.  Penghasilannya pun tentu berbeda.

Kalau sudah begitu, ASN itu harus loyal pada siapa? Pada negara atau pada pemerintah? Pada negara dalam arti Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) beserta bagian-bagiannya secara keseluruhan atau kepada setiap pemerintah sebagai bagian dari NKRI yang bisa ganti setiap saat?

Soal Loyalitas

Saya punya cerita menarik soal loyalitas pegawai. Kaitannya dengan tulisan ini, saya cerita tentang PNS. Karena waktu itu belum ada istilah ASN dan semacamnya.

Bapak saya seorang PNS. Dia guru Agama Islam di sekolah desa di daerah Bantul, Yogyakarta. Di desa saya hanya beberapa orang yang bisa mengenyam sebagai PNS. Jadi PNS waktu itu sangat mentereng. Tak semua  masyarakat berkesempatan menjadi PNS.

Semua masyarakat hampir mengharapkan anaknya menjadi PNS. Kenapa? Karena PNS punya gaji tetap, dapat pensiun dan kerja bisa santai. Ia tinggal menuruti keinginan atasan saja. Ia akan selamat. Dijamin pangkat dan pendapatannya bisa meningkat

Lebih keren lagi saat PNS mempunyai baju Korpri, lencana kuning emas  dan topi biru kebanggaan PNS warna biru. Saat mau upacaya setiap hari Senin, bapak saya kelihatan mentereng dengan seragam tersebut.  Meskipun harus mengayuh sepeda sejauh 9 kilometer ke sekolah.

Satu yang saya perhatikan diantara atribut-atribut bapak saya di atas, yakni topinya. Dalam topi itu tertulis “Abdi Negara”. Betapa menterengnya tulisan tersebut. Mengabdi itu ukuran ideal seseorang dengan ikhlas bekerja tanpa pamrih serta rela berkorban. Tapi saat itu saya tidak pernah membayangkan karena belum paham arti kata tersebut. Tahunya bapak saya membayar saya SPP 100 rupiah saat sekolah di SDN Bakulan 1, Bantul.

Namun pada tahun 1982 bapak saya berususan dengan “atasan”. Gara-garanya sangat sepele. Tahun itu sedang ada Pemilu di Indonesia dengan asas Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia (Luber). Bapak saya PNS. Sebagaimana PNS waktu itu diwajibkan untuk loyal kepada kepentingan kekuasaan. Tidak ada alasan yang lain.

Bagaimana tidak? Bapak saya mendapat gaji dari negara. Ketika negara dikuasai penguasa yang disokong oleh Golongan Karya (Golkar), maka ia wajib patuh dan mendukung Golkar. Di Era Orde Baru (Orba) hanya ada 3 partai yang diakui yakni; Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya  (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Tidak ada partai selain itu.

Bahkan PPP dan PDI itu sebenarnya juga partainya Golkar karena ketua terpilihnya harus mendapat “restu” pemerintah yang “disponsori” Golkar. Ada seloroh yang mengatakan, “Loyal selain Golkar berarti juga loyal pada Golkar”. Tetapi ungkapan it tentu hanya untuk bercanda saja. Ini hanya soal logika berpikir dalam politik.

Bapak saya juga punya baju kebanggaan Golkar warna kuning. Topi Golkar. Kaset lagu-lagu tentang Golkar dan bapak pembangunan (Soeharto). Sampai ibu saya sebagai anggota Dharma Wanita juga mempunyai seragam Golkar tersebut. Semua serba Golkar. Tapi loyalitas bapak saya dalam bekerja kepada negara sesuai tulisan dalam topinya.

Masalah mulai muncul saat bapak saya secara tiba-tiba dianggap tidak loyal pada pemerintah. Ceritanya, dalam Pemilu ia ketahuan mencoblos PPP. Bapak saya juga tidak tahu dari mana pilihannya itu bocor. Padahal asasnya Luber. Tapi orang-orang yang pernah hidup di era Orba dan serba mengetahui seluk beluk birokrasi tak akan heran dengan itu semua. Bahkan hasil Pemilu itu sudah diketahui sebelum pencoblosan.

Bapak saya tentu menjadi bungung. Apa yang salah? Saya waktu itu juga tidak tahu menahu. Sebagai anak kecil saya pahamnya belajar dan mengaji saja. Saya beberapa kali hanya mendengar keluhan bapak saya. Bahwa mencoblos selain Golkar bagi PNS itu tidak boleh. PNS harus mencoblos Golkar.

Saat kuliah saya baru  mencoba merenungi. Ternyata memang pemerintahan Orba itu menganut demokrasi terpimpin konstitusional. Mengapa demokrasi terpimpin? Karena presiden didudukkan sebagai penguasa tertinggi. MPR, DPR, organisasi kemasyarakatan lain dibuat sedemikian rupa agar tunduk pada kepentingan pemerintah.

Jika Anda tidak pernah hidup di era Orba sekali-kali tanya pada orang tua bagaimana situasi kepemimpinan Orba. Semua akan terbuka dengan gamblang. Tentu jika hal demikian  diceritakan waktu itu secara jujur, tak banyak yang berani. Bisa ditangkap aparat keamanan.

Pak Harto itu berkuasa selama 32 tahun sebenarnya juga tidak salah. Mengapa? Karena konstitusi memang  membenarkan hal itu. Sementara pak Harto mau. Orang-orang di sekitarnya juga ambisi untuk tetapi punya akses kekuasaan. Karena kekuasaan itu mengenakkan dan mengenyangkan – meskipun memabukkan.

Kembali ke soal cerita bapak saya di atas.  Apakah PNS itu harus loyal pada pemerintah? Bukankah dalam motto Korpri ia abdi negara? Itu beberapa pertanyaan saya waktu zaman sekolah.

Nah cerita itu berlanjut sebagaimana yang ditanyakan pada awal tulisan ini. Apakah ASN itu harus loyal pada negara atau pada pemerintah? Bagaimana dengan himbauan pemerintah bahwa ASN dalam politik itu harus netral? Perdebatan ini menjadi terus aktual saat menjelang dan pasca Pemilihan Presiden 2019.

Pemerintah Bukan Negara

Sekarang kita mengaca pada istilah terlebih dahulu. Negara itu siapa? Pemerintah itu juga siapa? Negara secara sederhana bisa diartikan seperangkat benda, individu, aturan, kegiatan yang berkaitan satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama. Tujuan negara apa? Tentu sesuai kesepakatan umum yang tertuang dalam konstitusi negara.

Jika ditinjau secara definitif negara itu kumpulan orang yang menempati wilayah terentu dan diorganisasi oleh pemerintah negara yang sah. Ia umumnya mempunyai keadulatan. Sedangkan pemerintah itu organisasi yang memiliki kewenangan untuk membuat dan menerapkan hukum serta undang-undang di wilayah tertentu.

Jadi, bumi, air dan kekayaan alam itu bagian dari negara. Negara pun tidak akan terbentuk manakala tidak ada mereka.  Sementara itu untuk mencapai tujuannya, negara butuh orang-orang yang mengelolanya. Orang-orang yang mengelola ini disebut dengan elite politik terpilih yang dipercaya rakyatnya untuk mencapai tujuan bernegara. Elite politik ini diantaranya adalah  yang disebut dengan pemerintah.  Jadi, pemerintah dalam hal ini hanya pelaksana  tujuan negara. Ini tentu aturan tertulis dalam bernegara.

Apakah yang dilakukan bapak saya sebagaimana cerita di atas salah? Bagi saya tidak. Bapak saya tetap loyal pada negara. Meskipun dia memilih partai selain Golkar. Loyalitas pada negara tidak harus diwujudkan loyal pada pemerintah. Ini idealnya. Ini sesuai aturannya. Meskipun dalam kenyataannya loyalitas pada negara itu diartikan sepihak sebagai loyalitas pada pemerintah.

Jika pemerintah waktu itu menganggap loyalitas selain pada Golkar (juga pemerintah) dan dianggap salah berarti pemerintah menyalahi aturan sendiri. Namun, waktu itu negara dalam kendali pemerintah yang menginginkan kekuasaan berada di tangannya. Tafsir loyalitas juga berada di tangannya. Pemerintah merasa mewakili negara.

Kembali ke Aturan

Bagaimana dengan saat ini? Jika kita merujuk pada aturan, ASN itu singkatan dari Aparatur Sipil Negara. Ia bukan Aparatur Sipil Pemerintah.  Smentara pemerintah itu bagian dari negara yang diwakili elite politik tertentu. Hanya kebetulan saja mereka menjadi pejabat pemerintah. Tentu ini harus dibedakan.

Tapi bagaimana dengan realitasnya? Realitasnya, ASN itu “wajib” loyal pada pemerintah. Sementara pemerintah itu setiap 5-10 tahun berganti “pengelolanya”. Jika ASN itu loyaklpada negara, maka berapapun berganti rezim ia akan tetap loyal pada negara.

Dengan kata lain, jika kenyataannya ASN itu harus loyal pada pemerintah maka berapapun berganti elite politik ia hanya akan loyal pada “selera” elite tersebut. Jika ASN yang harus loyal pada negara sementara kenyataannya loyal pada pemerintah berarti pemerintah melanggar aturan.

Tapi negara ini dalam kurun waktu lama dikelola untuk menuruti “selera” pemerintahnya. Makanya, masyarakat dilatih untuk plin-plan loyal pada rezim bukan loyal pada negara. Istilah kerennya, loyal bukan pada aturan tetapi loyal pada pembuat aturan. Tentu saja pembuat aturan ini akan menyesuaikan dengan kepentingannya.

Jika demikian kenyataannya, seorang ASN yang membela masyarakat, memberdayakan masyarakat itu aplikasi sedang loyal pada negara. Jika “perahu” pemerintah berada dalam  keadaan oleng dan bahaya, sementara ASN mengkritiknya berarti ia sedang loyal pada negara juga.

Saat negara ini banyak utang dan ketergantungan pada asing naik tajam, sementara ada ASN mengkritiknya, ia loyal pada negara. Mengkritik pemerintah itu juga bentuk loyalitas pada negara, bukan? Ini jika kita kembali ke aturan dan definisinya. Memang tak mudah mengaplikasikan antara senyatanya dan seharusnya. Selalu terjadi tumpang tindih.

Maka, tanpa menjadi ASN warga masyarakat yang mencoba memberikan solusi dan mengkritik pemerintah itu sedang melaksanakan jiwa ASN juga, yakni loyal pada negara. Masalah menjadi semakin rumit tatkala tafsir loyalitas ASN berada sepihak di tangan pemerintah.

Saat pemerintah mengumumkan bahwa ASN harus netral pada Pemilu 2019 itu bukan berarti netral sebenar-benarnya. Pemerintah sedang mencurigai ada beberapa ASN yang tidak mendukung kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa. Jika tidak ada indikasi ini saya kira tak akan keluar kebijakan netralitas ASN. Jika ASN itu mendukung sepenuhnya pemerintah yang berkuasa, himbauan ini tentu tidak akan mudah dikeluarkan pemerintah. Ini logika politik.  Yang benar tentu ada penyataan bahwa loyalitas ASN ada pada negara.

Tapi memang tidak mudah melaksanakan aturan negara. Siapapun yang menjadi pemerintah, elite politik akan tetap berusaha gara masyarakatnya patuh. Pemerintah merasa mewakili negara yang sudah “menggaji” ASN. Maka pemerintah merasa layak sebagai “pemilik” yang menuntut ASN loyal pada dirinya.

Inilah cerita tentang bapak saya yang mencoba melaksanakan loyalitas sebagai PNS pada negara. Sebagai seorang PNS golongan I, ia terus berada dalam posisi dilematis. Antara loyal pada negara sebagai bagian dari sumpah jabatannya atau loyal pada pemerintah yang merasa “menggajinya”. Repotnya, jika pemerintah waktu itu merasa punya hak dan sah mewakili negara. Padahal pemerintah itu hanya pengelola dan pelaksana kebijakan negara.