Pelajar Pancasilais bukan Sosok yang Ahistoris

pelajar-pancasilais-bukan-sosok-yang-ahistoris
Ilustrasi : Candra Dwiyanto
Iklan terakota

Terakota.id“Tempo hari saya membaca tulisannya seorang bangsa asing yang mengatakan bahwa ‘mempelajari sejarah adalah tiada guna’. “History is bunk”, demikian katanya. Tetapi saya berkata: justru dari mentelaah sejarah itulah kita dapat menemukan hukum hukum pasti yang menguasai kehidupannya bangsa bangsa. Salah satu daripada hukum itu adalah, bahwa tidak ada kebesaran dan kemakmuran yang jatuh begitu saja dari langit. Hanya bangsa yang mau bekerjalah menjadi bangsa yang makmur. Hukum ini berlaku buat segala zaman, buat segala tempat, buat segala warna kulit, buat segala agama atau ideologi. Ideologi yang menyatakan bahwa bisa datang kemakmuran zonder kerja adalah ideologi yang bohong!”.

Kutipan diatas adalah salah satu pernyataan Presiden Soekarno dalam pidato peringatan kemerdekaan Republik Indonesia yang keenam (1956). Artinya sejarah menurut proklamator bung Karno menjadi suatu keniscayaan untuk dipelajari bagi orang atau bangsa yang ingin maju dan berhasil.

Rata rata para pendiri bangsa memiliki pengetahuan sejarah Indonesia yang luas dan mendalam. Suwardi Suryaningrat yang lebih dikenal dengan Ki Hajar Dewantara berhasil melakukan “indegenisasi” pemikiran pendidikan yang progresif dan humanis sesuai dengan konteks keindonesiaan berkat pemahaman sejarah yang luar biasa. Pendidikan sejarah menjadi keharusan untuk dapat mentransformasikan pendidikan kolonial menjadi pendidikan nasional.

Demikian pula Tan Malaka seorang pejuang revolusioner yang banyak menguraikan sejarah dunia dan sejarah masyarakat Indonesia sehingga mampu menawarkan cara berpikir yang progresif revolusioner melalui bukunya yang fenomenal MADILOG. Tan Malaka sebelumnya juga berhasil merumuskan suatu kekuasaan yang harus dimiliki oleh rakyat, yaitu REPUBLIK dengan bukunya Naar de Republik Indonesia (Menuju Republik Indonesia).

Sehingga Mohammad Yamin menyebut Tan Malaka sebagai bapak Republik Indonesia. Demikian pula Kyai Haji Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah berhasil membumikan Islam yang progresif dan humanis secara berkemajuan berkat penguasaan sejarah Islam dan kondisi bangsa Indonesia yang miskin dan bodoh akibat belenggu kolonialisme Belanda.

Sosok kyai kharismatik Hadratus Syech KH Hasyim Asyari bersama K.H. Hasan Hasbullah dan K.H. Bisri Syansuri berhasil mendirikan organisasi keagamaan dan kebangsaan “Nahdlatul Ulama” sehingga berani berbeda dengan arus gerakan Pan Islamisme di akhir dekade ketiga abad XX karena wawasan keagamaan dan kesejarahan yang sangat luas dan mendalam.

Tradisi bagi pendiri NU tidak disikapi secara tradisional, melainkan dirawat untuk menjadi landasan membangun keberagaman yang ramah secara kultural. Dalam pemikiran pendiri Muhammadiyah dan NU dimensi keagamaan, kebudayaan, kemanusiaan dan kebangsaan sudah terajut dalam gerakan organisasi yang membumi dengan disinari aspek keilahian.

Demikian pula kalau kita telisik pemikiran bung Hatta, Sutan Syahrir, Mohammad Yamin, Agus Salim dll semuanya sarat dengan pemahaman sekaligus tanggungjawab sejarah. Berkat pemahaman sejarah yang luas dan mendalam itulah para pendiri bangsa berhasil merumuskan Pancasila sebagai dasar negara dan cita cita bangsa.

Bagi para pendiri bangsa bukan hanya sejarah bangsa Indonesia saja (lokal dan nasional) yang perlu dipelajari. Sejarah dunia juga perlu dipelajari karena Indonesia sebagai bagian dari sejarah dunia tidak steril dari pengaruh sejarah dunia. Kita tidak bisa memahami momentum proklamasi 17 Agustus 1945 tanpa mengkaitkan dengan dinamika perang dunia kedua.

Bahkan kita sulit memahami konsensus pendiri bangsa mengapa menetapkan Indonesia bukan “negara agama” kalau tidak mempelajari sejarah abad pertengahan yang didominasi oleh agama secara berlebihan, termasuk sejarah kekhalifaan yang bersifat kedinastian yang sering diwarnai kekerasan.

Kita kesulitan memahami corak perjuangan kemerdekaan USA atau revolusi Amerika kalau tidak mempelajari sejarah bangsa Amerika dalam melawan Inggris. Kita sulit mengerti revolusi Perancis yang didominasi kelompok borjuis dalam menentang kekaisaran Perancis.

Demikian pula sulit memahami revolusi Uni Soviet kalau tidak mempelajari sejarah Uni Soviet. Dan dengan pengetahuan sejarah tersebut para pendiri bangsa tidak sekedar duplikasi melakukan revolusi nasional. Dari pemahaman pelbagai sejarah revolusi itulah para pendiri bangsa dapat menggelorakan revolusi nasional Indonesia yang berbeda coraknya dengan revolusi revolusi di negara negara lain.

Salah satu kesulitan bangsa Indonesia membangun peradaban bangsa yang lebih baik menurut Soedjatmoko adalah masih lemahnya kesadaran sejarah. Masih banyak elit dan warga Indonesia yang pola pikirnya ahistoris. Dan lebih runyam lagi, pembelajaran sejarah di lembaga pendidikan masih sering dikaji dengan metode yang kurang menarik dan inspiratif. Konsekuensinya kesadaran sejarah yang menempatkan manusia sebagai subyek sekaligus obyek sejarah belum menjadi arus utama.

Demikian pula pemahaman Pancasila dalam aspek sejarah masih banyak mengalami distorsi akibat pemaparan sejarah Pancasila yang belum tuntas dan didasarkan pada dokumen sidang BPUPK dan PPKI secara jujur.

Semoga “Sosok atau profil pelajar Pancasila(is)” yang mulai dikenalkan dan dikembangkan oleh jajaran Kemendikbud tidak dipisahkan dari dimensi historisitas bangsa Indonesia.

Pancasila sebagai dasar negara, pandangan hidup dan ideologi bangsa tidak bisa dipahami tanpa mempelajari dinamika sejarah kehidupan masyarakat di Nusantara yang bhineka dalam aspek ras, etnis, tradisi dan budaya serta keyakinan dan atau agama.

Demikian pula sosok pelajar Pancasilais tidak bisa bergairah mengembangkan diri dan bangsanya kalau tidak memahami cita cita luhur yang diwariskan pendiri bangsa untuk membangun bangsa yang “merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. Dari mempelajari sejarah sosok pelajar Pancasilais diharapkan memiliki kesadaran dan tanggung jawab membangun peradaban bangsa Indonesia yang lebih baik. SEMOGA.