Patuhi Pilot atau Pesawat Jatuh Terjungkal

patuhi-pilot-atau-pesawat-jatuh-terjungkal
Ilustrasi : IANS
Iklan terakota

Oleh : Jalil Hakim*

Terakota.id–Dua kali saya berada dalam.pesawat terbang yang mengalami masalah teknis. Satu di antaranya, salah satu rodanya tidak bisa keluar saat akan mendarat di bandara tujuan. Kapten Pilot memutuskan kembali ke bandara tempat kami berangkat. Itu pun tidak langsung mendarat. Berputar-putar di udara. Cukup lama. Bahkan yang saya rasakan, pesawat tiba-tiba diturunkan ketinggian penerbangannya. Dan itu dilakukan lebih dari satu kali. Saat itu, saya bersama istri dan dua anak saya –masih kecil-kecil. Masih SD.

Saya, dan tentu para penumpang lainnya, sempat bertanya-tanya. Ada apa? Yang saya saksikan, pramugari memindahkan sejumlah barang ke bagian bagasi depan. Pesawat kecil itu memang ada dua tempat barang. Di bagian belakang dan depan (di belakang ruang pilot). Saat memindahkan barang, tidak dengan sikap tergesa-gesa. Seperti tidak ada masalah.

Kapten pilot pun, setelah cukup lama pesawat berputar-putar, baru mengumumkan bahwa pesawat harus melakukan pendaratan di bandara pemberangkatan “karena masalah teknis.” Tidak disebutkan secara rinci. Juga tidak dikatakan akibat salah satu roda pesawat tidak bisa keluar dari tempatnya. Para penumpang diminta mengikuti arahan pramugari.

Pramugari tetap tampak tenang. Bagaimana penumpang harus bersikap dituntunnya dengan kalimat yang tertata. Tak tampak mimik panik. Mulai dari menegakkan sandaran tempat duduk. Mengencangkan seat-bealt. Memperlihatkan cara atau posisi duduk membungkuk saat pesawat akan mendarat.

Tegang? Cemas? Tentu saja. Tapi pramugari menenangkan kami dengan meminta kami sama-sama berdoa agar pendaratan bisa dilakukan dengan selamat.

Dari jendela pesawat, saya melihat bandara pemberangkatan, tempat pesawat akan mendarat. Dari ketinggian pesawat terlihat beberapa mobil pemadam kebakaran. Juga mobil ambulans.

patuhi-pilot-atau-pesawat-jatuh-terjungkal
Ilustrasi : Deseret News

Setelah berputar-putar di udara cukup lama, saya merasakan pesawat perlahan-lahan terbang lebih rendah. Semakin rendah. Semakin rendah. Pramugari mengambil posisi duduk.

Roda pesawat terasa menyentuh landasan. Alhamdulillahirabbalalamiin. Spontan ucapan syukurku, meski suasana hati masih risau. Saya menoleh ke istriku. Juga kedua anakku. Mereka diam terpaku.

Tiba-tiba pesawat berhenti. Pintu dibuka. Pramugari menuntun para penumpang agar tidak panik. Turun satu persatu. Jangan berebutan.

Saat menapaki tangga pesawat, saya melihat posisi pesawat berhenti di landasan pacu (Run Way). Seluruh penumpang dibawa ke ruang tunggu bandara dengan sebuah bus.

Kami diterbangkan keesokan harinya ke bandara tujuan oleh maskapai penerbangan yang sama. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa sehari sebelumnya, pilot, pramugari dan seluruh crew pesawat menjalankan tugasnya seperti biasa. Kami mendarat dengan selamat di tempat tujuan.

Kejadian kedua, saya alami bersama anak bungsu saya –dua tahun lalu. Pesawat sudah take-off. Mengudara sekitar setengah jam. Setengah mengantuk, samar-samar saya mendengar suara, yang mengatakan pesawat harus kembali ke bandara pemberangkaran karena ada masalah navigasi. Juga tidak dirinci penjelasannya. Saya tanyakan kepada anak saya. Untuk meyakinkan diri saya. Apakah kata-kata yang saya dengarkan, benar? Anak saya hanya menganggukkan kepala.

Saya langsung teringat pada peristiwa sebelumnya.

Pramugari tetap tenang. Lampu dalam kabin pesawat diredupkan. Saya berdoa agar pendaratan bisa berlangsung mulus. Memang ada beberapa penumpang yang mengomel. Pramugari, pramugara, dan seluruh crew pesawat tidak terpancing. Dan, Alhamdulillah. Pendaratan berlangsung mulus –meski pesawat berhenti agak jauh dari gedung terminal. Seluruh penumpang diinapkan di sebuah hotel. Keesokan harinya, pagi sekali, kami diterbangkan ke tempat tujuan dengan maskapai yang sama. Kami tiba dengan selamat.

Ini bukan cerita fiktif. Saya sengaja tidak menyebutkan bandara keberangkatan maupun bandara tujuan dari dua peristiwa itu. Juga nama maskapai penerbangan.

Sering terjadi pesawat terbang delay. Jadwal terbang ditunda. Memang membuat kesal. Tapi jangan buru-buru mengomel dan menuduh maskapainya “nakal”. Bisa jadi, ada masalah di Bandara tujuan. Kondisi cuaca yang buruk. Jarak pandang yang tidak fisibel.

Atau bahkan ada yang tak kalah serius. Tapi petugas di Bandara keberangkatan terikat pada SOP, tidak boleh mengumumkannya secara terbuka. Jika karena masalah maskapai, di antaranya masalah teknis pada pesawat, petugas mengumumkan penundaan.

Pesawat yang akan terbang, saat terbang, juga bandara, tak luput dari berbagai masalah. Itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor: PM 140 Tahun 2015 tentang penanggulangan keadaan darurat keamanan penerbangan nasional.

Banyak tindakan melawan hukum (Acts of Unlawful Intervence). Antara lain sabotase, pembajakan pesawat, ancaman bom, secara paksa masuk ke dalam pesawat, kawasan bandara atau tempat-tempat aeronutika, dan beberapa tindakan berbahaya lainnya. Sesuai peraturan menteri tersebut, tahapan-tahapan penanganannya –yang melibatkan banyak pihak, dilakukan secara senyap.

Yang ingin saya katakan, Kapten Pilot, Co-pilot beserta seluruh crew pesawat terikat pada SOP bagaimana mengatasi keadaan darurat agar tidak mengakibatkan kepanikan seluruh penumpang. Mereka berupaya keras, semaksimal mungkin, masalah bisa diatasi, meski dalam hitungan waktu yang amat singkat. Keselamatan penumpang menjadi tanggung jawabnya.

Tak terbayangkan jika Kapten Pilot, Co-Pilot, gugup dan gagap. Begitu juga para crew. Setiap saat mengumumkan kondisi pesawat. Betapa paniknya seluruh penumpang. Mungkin yang terjadi, gangguan teknis pada pesawat tak teratasi. Pesawat mengalami kecelakaan. Dan, seluruh penumpang menjadi korban.

Dari pengalaman terbang, diakui atau tidak, sikap sejumlah penumpang kerap menjengkelkan. Barang yang dibawa ke kabin, dari sisi ukuran maupun beratnya, seharusnya dimasukkan bagasi. Akibatnya, laci kabin penuh sesak. Pramugari dan pramugara kerap harus menata ulang agar pintu laci kabin bisa ditutup. Dan ini memakan waktu.

Belum lagi urusan penggunaan HP. Berkali pramugari mengumumkan agar akat komunikasi (HP) dimatikan, tetap saja ada penumpang yang bandel. Padahal pesawat sudah bergerak menuju landasan pacu untuk take-off. Pramugari, dengan sikap sabar disertai senyum, meminta Sang Penumpang mematikan HP-nya.

Perilaku itu kembali terlihat saat pesawat mendarat. Masih melaju di run-way menuju appron, HP sudah dihidupkan. Padahal pramugari sudah secara jelas mengatakan agar alat komunikasi digunakan saat setelah berada di dalam terminal kedatangan.

Crew pesawat juga harus bersabar menyaksikan penumpang yang berebutan mengambil barangnya dari laci kabin. Tak peduli penumpang lain yang hendak turun.

Saya tak menampik adanya tragedi kecelakaan penerbangan yang diakibatkan perilaku buruk oknum Kapten Pilot atau Co-pilot. Juga crew. Berdasarkan referensi yang saya baca, setidaknya 13 tragedi kecelakaan pesawat terbang terjadi di sejumlah negara karena ulah Pilot maupun Co-Pilot, juga crew.

Dari kisah keselamatan penerbangan ini, jika dirujukkan pada penanganan wabah Covid-19, maka Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden KH. Ma’ruf Amin, ibarat Kapten Pilot dan Co-Pilot. Para pejabat negara, termasuk para menteri, pejabat di Gugus Tugas Penanganan Covid, adalah crew pesawat. Tak terkecuali para kepala daerah beserta seluruh aparatnya.

“Pesawat Terbang” bernama Indonesia sedang diguncang turbulensi. Berbagai upaya dilakukan agar Indonesia tidak jatuh terjungkal. Tidak saja menyelamatkan rakyat dari virus Covid-19. Tapi juga mengatasi dampak sosial dan ekonomi. Tidak mudah. Maka diharapkan kita semua menjadi “penumpang pesawat yang tertib”. Mematuhi semua petunjuk “keselamatan penerbangan”.

Tidak ada presiden di negara-negara yang dilanda wabah yang berdiam diri dan membiarkan seluruh rakyatnya meregang nyawa terjangkit Covid-19.

Kecuali presidennya bermasalah –seperti oknum pilot maupun co-pilot 13 pesawat terbang yang mengalami kecelakaan fatal, yang merenggut sangat banyak korban.

Bahwa ada pernyataan sejumlah pejabat pada awal-awal terjadi wabah di Wuhan, yang terkesan meremehkan, bolehlah dikritik. Tapi sejatinya, itu juga harus dipandang sebagai cara “crew pesawat menenangkan penumpang agar tidak panik. Menyemangati penumpang agar siap menghadapi segala sesuatu yang bakal menimpa pesawat”.

Jika masih saja ada yang mengkritik Kapten Pilot, maka bertanyalah pada dirimu: apakah sudah dan bisa menjadi penumpang yang tertib?

*Pensiunan Jurnalis Tempo