
Terakota.id-Kaswangga, sebuah nama tempat kuno yang kini dikenal sebagai Desa Ngawonggo. Secara administratif desa ini masuk di wilayah Kecamatan Tajinan, Kabupaten Malang, Jawa timur. Di dunia pewayangan, Kaswangga dikenal sebagai negerinya Karno. Nama Kaswangga juga disebut-sebut di dalam Prasasti Wurandungan yang bertarikh 944 Masehi atau medio abad 10 di masa Mpu Sindok.
Menilik asal nama desa Ngawonggo yang diduga berasal dari kata Kaswangga, yang juga tertulis di dalam Prasasti Wurandungan, membuat penemuan situs patirtan di desa ini sangat istimewa. Selain itu, ini merupakan satu-satunya situs di tebing sungai yang ada di Malang raya, bahkan Jawa Timur.
Arkeolog Universitas Negeri Malang, M. Dwi Cahyono langsung menyurvei lokasi penemuan situs dan mengamati detail bangunan situs ini. Ke pala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur bersama timnya juga langsung turun ke lokasi penemuan untuk mendata sebelum dilakukan ekskavasi.
“Ini adalah temuan yang istimewa untuk Malang Raya dan Jawa Timur,” kata Dwi Cahyono, Rabu (26/4/2017).

Dalam prasasti itu disebut tentang adanya Panca Kahyangan atau lima kahyangan yang salah satunya beranama Kaswangga. Panca Kahyangan di paling barat Malang berada di Desa Ngabab, Kecamatan Pujon, Malang. Dan Kaswangga ini berada di sisi Timur dan berada di lereng barat Gunung Suci Semeru.
Keistimewaan lainnya situs patirtan di Desa Ngawonggo adalah adanya keterkaitan dengan temuan berupa benda-benda seperti gentong, susunan bata yang tidak jauh dari situs patirtan. Ini menunjukkan adanya bekas pemukiman, bukan pemukiman biasa tapi pemukiman Mandala Kadewaguruan atau pusat pembelajaran keagamaan pada masa itu. Pemukiman komunitas keagamaan di Kaswangga ini diduga sudah ada sejak medio abad 10 Masehi dan terus berkembang melintasi waktu hingga masa Majapahit.
“Untuk mengetahui berasal dari masa mana situs patirtan ini masih butuh penelitian lebih lanjut,” kata Dwi Cahyono.
Detail bangunan patritan yang masih belum semuanya terlihat ini saja sudah menarik perhatian. Ada tiga bangunan patirtan dan satu bangunan lagi berupa tebing yang tertulis huruf jawa kuno, dan di sekitarnya belum diektahui karena berupa timbunan tanah. Dari tiga bangunan patirtan, di sisi barat yang cukup jelas bentuknya yang terdapat 12 pancuran yang disangga oleh Ghana atau pasukan yang pemimpinnya adalah Ganesya.
Di patirtan tengah terdapad dua kolam yang dipisah batu dan tidak ada patungnya tapi terdapat reliefnya berupa aksara jawa kuno. Di patirtan sebelah timur terliaht jelas lima pancuran yang disangga Ganesya dan beberapa patung lainnya yang bentuknya belum terlihat jelas. Struktur bangunannya juga menggunakan batu padas yang menyatu dengan alam dan dilapisi batuan beku vulkanik.
Bangunan-bangunan ini, kata Dwi Cahyono, tidak hanya berfungsi sebagai penyucian tirta tapi juga sudah memperhatikan unsur artistiknya dengan banyak ragam relief dan hiasan-hiasannya. “Ini merupakan situs relief tebing satu-satunya di Malang,” kata Dwi Cahyono.
Banyak patirtan yang tersebar di Malang, tapi di Ngawonggo ini termasuk langka karena bentuk bangunannya berada di tebing dan mengikuti alur tebing sehingga polanya tidak simetris karena mengikuti kontur tebing Sungai Manten.

Bangunan patirtan yang berada di tebing Sungai Manten ini juga berfungsi sebagai penolak bahaya gaib karena berada di tebing sungai yang curam dan berbahaya. Nama Sungai Manten, kata Dwi Cahyono juga berasal dari kata ‘Ma Antian’ atau ‘Manganti’ yang berarti menunggu. Sehingga, posisi Ganesya dan pasukannya Gana di tebing ini berfungsi sebagai penjaga atau menunggu kawasan Mandala dari marabahaya.
Bangunan patirtan suci ini tidak hanya berfungsi untuk kebutuhan air bersih, tapi juga air suci bagi warga mandala untuk keperluan religi. Simbol-simbol kesakralan patirtan ini juga menunjukkan bahwa patirtan di kawasan Ngawonggo ini adalah bangunan suci.
Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur Andik Muhammad Said menilai kawasan temuan situs patirtan di Desa Ngawonggo ini sangat layak untuk ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya. Namun, kewenangan itu ada di Pemerintah Daerah Kabupaten Malang. “Kami hanya melakukan kajian akademiknya dan akan menyerahkan ke Pemda jika dibutuhkan,” kata Andik.
Untuk melakukan ekskavasi, kata Andik, masih butuh hasil analisa dari pendataan awal dan juga meliaht anggaran yang ada. Sebab, anggaran BPCB sudah diplot ke yang lainnya. Jika ada anggarand ari Pemerintah Daerah bisa segara dilakukan ekskavasi secepatnya.
“Butuh waktu untuk perencanaan ekskavasi. Yang paling penting adalah memberikan pemahaman kepada warga desa terkait pentingnya bangunan ini dan bisa saling menjaga,” kata dia.