Petugas mengambil sampel cairan hidung dan tenggorokan dalam uji usap atau swab test di Labkesda Kota Malang. (Terakota/ Zainul Arifin).
Iklan terakota

Terakota.idAnto bukan nama sebenarnya, selama sebulan penuh menjalani isolasi mandiri di rumah setelah dinyatakan positif COVID-19. Selama itu pula, pria 43 tahun ini seorang diri berjuang melawan virus corona baru. Mulai asupan makanan, meminum obat, dan suplemen multivitamin untuk kesembuhannya. Istri dan anaknya tinggal di luar kota.

Pekerja profesional ini tercatat sebagai warga Kota Malang, dinyatakan terinfeksi pada 3 Desember 2020. Tepat dua hari usai tes usap atau swab test di Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) Dinas Kesehatan Kota Malang.

Sepekan sebelumnya Anto mengalami demam disertai batuk. Menyangka radang tenggorokan biasa, ia memeriksakan diri ke dokter spesialis telinga, hidung dan tenggorokan (THT). Ia berinisiatif ikut tes usap yang difasilitasi organisasi perangkat daerah setempat. “Petugas Labkesda menghubungi melalui telepon dan dinyatakan terkonfirmasi positif Covid-19,” kata Anto.

Petugas hanya menyampaikan hasil tes secara lisan, tak mendapat obat maupun suplemen. Praktis sejak itu pula ia berjuang sendiri di rumah untuk memulihkan kesehatannya. “Saya memilih karantina mandiri di rumah karena kabarnya rumah isolasi Pemkot Malang penuh,” tutur Anto.

Beruntung teman kerja dan kerabat memberi dukungan. Mereka mengirim obat, jamu herbal, multivitamin dan makanan. Sesekali ia menghubungi ibunya lewat sambungan telepon, meminta dikirim makanan atau kue kesukaannya.

Selebihnya, Anto harus merogoh tabungan pribadi untuk membeli makan maupun obat melalui layanan daring. Tidak pernah ada petugas layanan kesehatan yang datang untuk sekadar menghubungi atau mengecek kondisi kesehatannya. “Entah bagaimana nasib pasien lain yang sedang isolasi mandiri. Saya beruntung masih ada sisa tabungan,” ujarnya.

Meski mengantongi kartu identitas warga Kota Malang, sehari-hari Anto tinggal di kawasan perbatasan Kabupaten Malang. Anto menanyakan bagaimana pola koordinasi antar pemerintah daerah. “Sekarang kan semua teknologi sudah canggih, apa susahnya saling berbagi informasi. Misalnya memberi kabar ke puskesmas terdekat untuk pengawasan pasien,” tuturnya.

Anto enggan melapor kondisi kesehatannya ke Ketua Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) di tempat tinggalnya. Sebab masih banyak warga yang berpandangan negatif terhadap pasien COVID-19. Stigma masyarakat justru berpotensi jadi masalah baru. “Daripada malah rumit dengan tetangga, lebih baik diam saja. Toh, saya tetap di rumah, tak kemana – mana,” ujarnya.

Nasib Cornellia Selvyana, warga Bunulrejo, Kota Malang, juga serupa dengan Anto. Perempuan yang biasa disapa Selvi ini menjalani isolasi mandiri selama 10 hari setelah terkonfirmasi positif COVID-19. Ia seorang aparatur sipil negara (ASN) di Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Malang mengetahui situasi penanganan tim medis.

Cornellia merupakan Koordinator Gugus Tugas Pemakaman COVID-19 BPBD Kota Malang. Saban hari mengurus pemakaman jenasah pasien COVID-19. Awalnya, ia merasakan gejala seperti kekurangan darah. Sering pusing begitu bangkit dari aktivitas di tanah pemakaman atau saat tersengat terik matahari. Hasil pemeriksaan sebuah laboratorium kesehatan menunjukkan organ paru dan jantung sehat.

Tak puas, ia meminta pimpinan BPBD Kota Malang memfasilitasi tes usap di Labkesda Kota Malang. Hasilnya, ia dinyatakan positif COVID-19 pada 24 November 2020. Ia hanya diminta istirahat total selama 10 hari. “Hasil tes menyebut antibodi saya cukup, virus sudah tak berpotensi menular. Sehingga hanya diminta isolasi mandiri saja untuk istirahat,” ujar Selvi.

Seorang warga Malang menunjukkan sampel cairan hidung dan tenggorokan saat tes usap atau swab test di Labkesda Kota Malang. (Terakota/ Eko Widianto).

Kabar dirinya positif COVID-19 disampaikan ke rekan kerja, agar menjalani tes usap. Selvi juga melaporkan ke Camat setempat agar diteruskan ke Puskesmas Kendalkerep, fasilitas kesehatan terdekat rumahnya. Agar dibantu pengawasan pemulihan.

Petugas yang ditunggu tak kunjung datang, ia meminta bantuan kolega di Public Safety Center (PSC) 119 Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Malang kembali menghubungi puskesmas. Petugas medis memberi formulir isian rekam jejak, obat dan suplemen begitu tiba di rumah Selvi. “Ya, sekali itu saja petugas puskesmas ke rumah, itu pun dihubungi dulu oleh teman saya,” ujarnya.

Seharusnya ia kembali menjalani swab test di Labkesda setelah masa isolasi mandiri selesai. Namun antrean panjang, sehingga ia memilih tes mandiri di RS Lavallete dengan membayar sebesar Rp 900 ribu pada 3 Desember 2020.

“Alhamdulillah hasilnya negatif, saya dapat kembali beraktivitas seperti biasa. Setelah itu komunikasi lagi dengan puskesmas, meminta surat keterangan bebas COVID-19,” tuturnya.

Standar Penanganan Wali Kota

Penelusuran Terakota.id, tidak hanya Anto dan Selvi. Banyak pasien isolasi mandiri di Kota Malang turut merasakan hal serupa. Dari ASN Pemkot Malang sampai warga biasa. Padahal penyakit ini berpotensi menyebabkan kematian bila pasien tak penanganan yang tepat.

Wali Kota Malang, Sutiaji mengakui betapa berbahayanya penyakit ini. Ia beserta keluarganya pernah dinyatakan positif COVID-19 pada 3 Desember 2020 silam. Kini sudah sehat dan kembali beraktivitas seperti sedia kala.

Orang nomor satu di Pemerintahan Kota Malang ini ingat betul pengalaman selama menjalani isolasi. Lengan jas sedikit disingsingkan, menunjukkan pulse oximeter melingkar di tangan. Alat sensor saturasi oksigen berbentuk mirip jam tangan kini membantunya memantau kondisi diri. “Saya tidak paranoid, tapi sekarang harus bisa mengukur saturasi sendiri. Mengatur istirahat, harus semakin menjaga diri agar tak terpapar lagi,” kata Sutiaji.

Meski tak punya riwayat penyakit berat, kondisi fisiknya sempat anjlok lantaran kaget begitu dinyatakan teronfeksi COVID-19. Terlebih ia tak merasakan gejala apapun. Membuatnya tahu betapa kesehatan fisik sangat terancam bila tanpa melalui pemulihan yang tepat.“Rasanya saya mau nangis saja, karena memang tanpa ada gejala,” kata Sutiaji mengingat.

Ia sempat menjalani rapid test antigen dan general ceck up hasilnya negatif. Tak puas, ia memutuskan tes usap, hingga diketahui virus telah bersarang di tubuhnya. Karena tak ada gejala berarti, keluarga besarnya memilih menjalani isolasi mandiri.

Pada tiga hari pertama, ia masih sempat bekerja secara daring. Lalu memutuskan dirawat di rumah sakit sesuai anjuran dokter yang memintanya istirahat total. Tak banyak bergerak agar aliran oksigen di paru-paru kembali pulih.

Selama perawatan di rumah sakit, setidaknya ada 15 jenis obat sekali konsumsi. Itu belum termasuk berbagai suplemen tambahan dan nutrisi demi meningkatkan kekebalan tubuh. Penanganan di rumah sakit pun disebutnya sudah cukup. “Saturasi oksigen selalu diukur, sampai akhirnya di atas 95-97 dan jantung mulai terasa normal lagi,” ucapnya.

Ia dan keluarga menjalani swab test kedua pada 10 Desember 2020, hasilnya negatif. Dari pengalaman itu, ia mengimbau masyarakat tak segan periksa ke layanan kesehatan, bila merasakan gejala, “bahaya bila minim pengawasan tim medis.”

Namun ia mengaku sulit untuk mengukur bagaimana sesungguhnya layanan kesehatan di Kota Malang dalam penanganan pasien. Ia menyadari, posisinya sebagai Wali Kota memungkinkan mendapat perlakuan istimewa dari tim medis rumah sakit. “Karena yang merawat tahu saya wali kota, tentu ada perlakuan berbeda. Semoga semua yang dilayani bisa seperti saya,” urainya.

Ia menyadari kondisi pasien isolasi mandiri bisa lebih gawat. Karena itu, ia meminta puskesmas bekerja keras mengawasi pasien isolasi mandiri. Serta memenuhi seluruh kebutuhan pengobatan pasien. Serta membatasi pasien agar tak banyak yang isolasi mandiri. “Petugas puskesmas harus memantau. Tapi saya juga mohon pengertian pasien, tenaga medis bekerja keras dengan risiko tinggi,” urai Sutiaji.

Ia mengklaim, hingga pengujung 2020 telah berkoordinasi dengan semua kepala puskesmas dan rumah sakit di Kota Malang. Dalam koordinasi itu disampaikan, rata- rata tingkat kematian pasien tinggi lantaran terlambat penanganan. Dilarikan ke rumah sakit saat kondisi kritis. “Padahal ketersediaan ventilator di fasilitas kesehatan kita sangat terbatas, maka lebih baik antisipasi sejak awal. Datang periksakan diri sedini mungkin,” ucap Sutiaji.

Anggaran Kesehatan

Penanganan Covid-19 di sektor kesehatan pada APBD 2020 Kota Malang dianggarkan lebih dari Rp 19,5 miliar dalam rencana kerja anggaran (RKA). Serta lebih dari Rp 5,9 miliar sebagai belanja tidak terduga (BTT) hasil refocusing. Seluruhnya lewat Dinas Kesehatan. Serapan anggaran sampai 18 Desember 2020 hanya sekitar 60 persen.

“Penyusunan anggaran itu sesuai kebutuhan. Dalam realisasinya, berapa yang terserap ya itu sudah sesuai kebutuhan dan semua bisa dipertanggungjawabkan,” kata Pelaksana tugas Kepala Dinas Kesehatan Kota Malang, Sri Winarni

Dalam RAK APBD Dinas Kesehatan mengalokasikan anggaran penanggulangan Covid-19 sebesar Rp 5,7 miliar. Anggaran tersebut dialokasikan dalam program penyediaan, pemeliharaan sarana, prasarana fasilitas kesehatan bekerjasama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan melalui pengadaan alat kesehatan. Salah satunya digunakan untuk pengadaan obat, dan multivitamin untuk pasien isolasi mandiri.

“Juga untuk masker sampai cairan disinfektan. Dibagikan pada petugas keamanan, tenaga kesehatan dan puskesmas,” urai Sri.

Wali Kota Malang Sutiaji membantu pedagang Bunulrejo mengenakan masker saat meninjau penerapan protokol kesehatan di pasar tradisional pada 31 Januari 2021. (Foto : Humas Pemkot Malang).

Ada pula kegiatan operasional laboratorium kesehatan untuk penanggulangan Covid-19 sebesar Rp 12 miliar. Berupa pengadaan rapid test, rapid antigen dan swab test metode PCR di Labkesda Kota Malang.

Belanja pengadaan rapid test sekali lagi dimasukkan dalam belanja tidak terduga atau BTT dengan alokasi anggaran sebesar Rp 2,5 miliar. Lewat BTT pula kembali dialokasikan sebesar Rp 1,03 miliar untuk obat, multivitamin dan obat kumur pasien isolasi mandiri.

“Semua logistik itu dipusatkan di Labkesda. Bila ada yang membutuhkan bisa diambil kapan saja, termasuk didistribusikan ke puskesmas,” ucap Sri.

Menurutnya, anggaran yang tak terserap ada yang menjadi sisa lebih penggunaan anggaran dan kembali ke kas daerah. Anggaran tak terserap karena dalam perencanaan awal harga barang mahal, tapi dalam perkembangannya harga turun. Atau ada kebijakan khusus dari pemerintah pusat, misal pemberian potongan harga untuk pemerintah daerah. “Ada barang yang kita butuhkan di awal pandemi harganya mahal, lalu semakin murah. Akhirnya ada anggaran tersisa,” ujar Sri.

Setiap kasus baru pasien COVID-19 di Kota Malang terdeteksi melalui hasil tes usap dengan beragam latar belakang. Ada juga dari pelacakan kontak erat pasien, ada yang menjalani tes setelah mengalami gejala mengarah terinfeksi saat memeriksa diri di puskesmas. Ada juga pasien swab test mandiri di rumah sakit.

Pasien gejala sedang dan berat dirujuk ke rumah sakit atau bisa di safe house. Namun cukup isolasi mandiri bila bergejala ringan, sesuai protokol revisi kelima. Baru dirujuk ke safe house maupun rumah sakit lapangan bila tak memungkinkan isolasi mandiri. “Jadi, upaya tracing, testing dan treatment kami sudah cukup masif,” kata Sri Winarni.

Sri menjelaskan sistem pelaporan hasil pemeriksaan sampel pasien. Dari laboratorium ke Kementerian Kesehatan, lalu ke Dinas Kesehatan Provinsi, dilanjut ke Dinas Kesehatan kota sesuai domisili pasien. Kemudian diteruskan ke puskesmas terdekat untuk pengawasan pasien.

Karena itu, ia menampik anggapan tracing, testing dan treatment (3T) di Kota Malang tidak maksimal. Semua pasien mendapat perawatan dengan baik. Dengan catatan pasien dan puskesmas harus sama-sama proaktif. Khususnya yang menjalani isolasi mandiri.

Ia mencontohkan pasien positif hasil tes mandiri yang direkomendasikan isolasi mandiri. Pasien harus aktif, tak segan inisiatif menghubungi atau lapor Ketua RT/RW, kelurahan dan puskesmas, petugas bisa jadi tidak tahu. “Kalau ada yang tak mendapat obat dan suplemen selama isolasi mandiri, mungkin pasien itu tak melaporkan kondisi dirinya,” ujarnya.

Naik Turun Kasus Harian                                                      

Kasus Covid-19 di Kota Malang pertama kali diumumkan pada 11 Maret 2020. Lalu perlahan rata – rata kasus harian terus naik. Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala  Besar (PSBB) 14-30 Mei 2020 diterapkan untuk mencegah penyebaran kasus, meski terbukti tak efektif.

Sejak awal pandemi sampai 17 September 2020 ada belasan sampai puluhan kasus tiap hari. Kasus harian tertinggi pada 24 Juli 2020 lalu, menembus 48 kasus. Setelah itu, sepanjang 18 September – 7 Desember 2020 cenderung turun, selalu dikisaran 4 – 9 kasus per hari.

Rendahnya temuan kasus baru selama tiga bulan itu mengubah status Kota Malang dari zona merah turun ke zona orange. Namun sepekan setelah Wali Kota Malang Sutiaji dan sejumlah pejabat dinyatakan positif Covid-19 pada 3 Desember 2020 silam, warna itu kembali merah.

Lonjakan kasus harian terjadi mulai 8 Desember dengan 24 kasus positif Covid-19. Terus berangsur naik, dengan kasus tertinggi ada pada 13 Desember 2020 sebanyak 123 kasus baru. Setelah itu, sampai awal Januari 2021 selalu dikisaran 40 – 90 kasus per hari.

Total kasus terkonfirmasi positif COVID-19 di Kota Malang sampai dengan 31 Januari 2021, ada 5.449 pasien. Dari jumlah itu, 4.504 pasien dinyatakan sembuh, 476 pasien meninggal     dunia dan 469 pasien masih dirawat. Untuk kasus suspek  mencapai 5.207 kasus dengan 462 pasien masih dirawat, 186 pasien isolasi mandiri, 109 pasien meninggal dunia dan 4.450 dinyatakan discarded.

Bilik COVID-19 menyemprot cairan desinfektan bagi setiap tamu di Balai Kota Malang. Beberapa bulan terakhir, tak difungsikan. (Terakota/ Zainul Arifin).

Pelaksana tugas Kepala Dinas Kesehatan Kota Malang, Sri Winarni menyebut kenaikan kasus harian COVID-19 Kota Malang sejak akhir tahun itu harus dilihat dari hulu ke hilir. Tugas Dinkes ada di hilir yakni 3T (testing, tracing, dan treatment).

“Hulunya ada di masyarakat, kepatuhan terhadap protokol kesehatan. Aparat keamanan sudah maksimal, sekarang kembali ke masyarakat sendiri agar penyakit tidak menyebar,” kata Sri.

Menurutnya, data kasus harian sudah sesuai dengan alur pelaporan hasil tes di laboratorium. data resmi dan dideclare dan diverifikasi oleh Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi dan kota.

Wali Kota Malang Sutiaji menyebut justru semakin baik bila angka kasus harian semakin naik. Sebab membuat masyarakat tahu betapa berbahayanya penyakit ini. Bisa pula itu disebabkan kebijakan tes mandiri sebagai syarat seseorang bepergian. “Kemarin kan ada syarat tes PCR mandiri atau rapid antigen untuk bepergian, dari situ mungkin banyak yang ketahuan positif,” katanya.