
Oleh : Putri Aisyiyah Rachma Dewi*
Terakota.id–Ratih Pusporini, military observer berpangkat Letkol dalam Kontingen Garuda yang ditugaskan ke daerah konflik Kongo pada tahun 2008. Ia menjadi perempuan pertama Indonesia yang terlibat sebagai pasukan penjaaga perdamaian. Dalam ceritanya yang dimuat laman kemenlu.go.id ia menyampaikan bahwa ada banyak praktik kekerasan seksual dalam konflik Kongo.
Namun, kejahatan tersebut tidak berhasil diungkap oleh tim-tim sebelumnya yang diturunkan. Ketika Ratih hadir disana, para perempuan yang menjadi korban baru menceritakan apa yang telah dialami. Mereka mempercayai Ratih sebagai sesama perempuan yang mampu memahami situasi dan trauma mereka.
Erna, seorang istri dari narapidana teroris, bercerita bagaimana ia sekuat tenaga membujuk suaminya, membuka ruang dialog dalam keluarga, untuk mencegah sang suami berangkat ke Palu dan bergabung dengan kelompok ekstrimis di sana. Erna juga yang berhasil meminta suaminya untuk menyerahkan diri kepada Polisi dan menceritakan tentang senjata-senjata yang ia simpan.
Setelah suami dipenjara, tugas Erna belum selesai. Ia juga yang harus mendampingi anak-anaknya agar mampu berdamai dengan situasi yang sulit yang terjadi di keluarga mereka. Tentu, ditangkapnya sang suami membuat kehadiran mereka ditolak oleh masyarakat. Ia tidak ingin anak-anaknya memahami situasi ini dengan salah dan menyimpan dendam pada lingkungan sosialnya. Ia tidak ingin anak-anaknya menjadi ekstrimis karena pengucilan dan perlakuan orang terhadap keluarga mereka.
Dhania, ia remaja putri berusia 15 tahun ketika berhasil membujuk 26 anggota keluarganya untuk bergabung dengan kelompok ekstrimis Suriah pada 2015 lalu. Ia terpesona oleh propaganda ISIS yang menawarkan fasilitas kehidupan lebih baik dan penyelesaian utang keluarga. Ia berhasil membujuk orang tua, nenek, saudara-saudaranya, bahkan paman dan bibinya untuk ikut bersama ke Suriah. Mereka menjual harta yang mereka punya untuk membiayai perjalanan ke Suriah.
Ketika tiba di sana, dan melihat kondisi yang tidak sesuai dengan ekspektasi, maka keluarga mereka berjuang keras kembali ke Indonesia. Dari 26 orang, tersisa 17 orang yang selamat kembali ke Tanah Air. Pemerintah Indonesia menahan para pria keluarga Dhania guna memberikan program deradikalisasi. Kini, untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga mereka, mereka bergantung dari para perempuan di dalam keluarga tersebut. Mereka memulai kehidupan dari nol di tempat baru, bukan lagi dari daerah mereka sebelum berangkat. Mereka khawatir ditolak oleh lingkungan lamanya.
Keberadaan Letkol Ratih, Erna, dan Dhania adalah bukti bahwa dalam isu ekstrimisme dan terorisme perempuan memiliki kedudukan strategis, baik pada kelompok ekstrimis maupun pada kelompok penjaga perdamaian. Bahkan, mengingat betapa krusialnya posisi perempuan, Dewan Keamanan PBB memandang perlu untuk membuat maklumat yang berisi tentang peningkatan peran perempuan dalam usaha-usaha perdamaian dan keamanan global (Women, Peace, and Security). Maklumat tersebut dituangkan dalam Resolusi 1325 pada 13 Oktober 2015 yang meliputi empat pilar penyokong: conflict prevention, peace-keeping, conflict resolution,dan peace building.
Pada kelompok ekstrimis, posisi perempuan sangatlah beragam. Mereka bisa menjadi propagandis yang bertugas menyebarkan nilai-nilai ekstrimisme. Kadang mereka juga menjadi perekrut, seperti cerita Dhania. Mereka juga bisa menjadi penyandang dana atau bahkan aktor di garda depan tindakan terorisme. Tentu kita masih mengingat Dian, perempuan muda yang berencana meledakkan Istana Presiden dengan bom panci, atau Ibu yang membawa anak-anaknya melakukan bom bunuh diri di Surabaya.
Ruhaini Dzuhayatin, staf khusus Presiden bidang keagamaan internasional, menyebut para perempuan ini sebagai pseudo-agent. Keberadaan mereka dalam kelompok ekstrimis sebenarnya tak pernah benar-benar dianggap penting dan memiliki kekuasaan sebesar para pria. Mereka hanya seolah-olah memiliki (sedikit) kekuasaan dan kewenangan yang membuat mereka memiliki pride tersendiri. Akan tetapi, yang sebenarnya terjadi, mereka hanyalah boneka. Kekuasaan sesungguhnya tetap ada di tangan para ekstrimis laki-laki. Secara psikologis, pseudo-agent akan lebih militan dan radikal daripada mereka pemegang kekuasaan sesungguhnya.
Semua sengkarut problem perempuan dan ekstrimisme tersebut dibahas dalam Konferensi Nasional “Working Group of Women Countering / Preventing Violent Extrimism” (WGWC) yang berlangsung di Jakarta pada 9-10 Maret 2020 lalu. Forum ini mempertemukan para perempuan yang memiliki perhatian pada isu penanggulangan ekstrimisme, baik mereka yang pernah menjadi bagian dari kelompok esktrim, yang pernah menjadi korban aksi terorisme, para peneliti, pendamping anak-anak tersangka teror, dan juga berbagai pemimpin organisasi sosial masyarakat. Dalam pertemuan yang dihadiri oleh lebih dari seratus orang dari berbagai organisasi di seluruh Indonesia itu, mereka juga meluncurkan kampanye “stand with women peacebuilders”.
Seperti Malala Yousafzai, Nadia Murad, atau Tsuraiyya Kamaruzzaman, mereka ini lah para “perempuan penyemai damai”. Keberadaan mereka diharapkan mampu menjadi focal point gerakan intoleransi dan radikalisasi. Seperti yang diungkapkan oleh Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Brigjen Pol. Ir. Hamli, ME, bahwa kelompok teroris lebih “sederhana” ditangani karena ada indikator dan proses hukum yang jelas. Namun, situasi menjadi kompleks dan pelik ketika menghadapi kelompok yang menjadi cikal bakal tindak terorisme terjadi, yaitu kelompok yang eksklusif, intoleran, dan radikal.
Para perempuan penyemai damai ini memiliki cara yang khas dalam upaya mereka mencegah dan menanggulangi kekerasan dan ekstrimisme (preventing & countering violent Extrimism). Mereka mengupayakan jalan damai melalui sikap inklusif, mengayomi, mengupayakan jalur edukasi, memberi afeksi dan perlindungan, serta strategi khas lain. Mereka adalah pemberi warna lembut dan sejuk pada hati yang mulai mengeras sebelum berubah menjadi tindakan teror yang mengancam dunia.
*Peneliti pada LPPA Pimpinan Wilayah Aisyiyah Jawa Timur

Merawat Tradisi Menebar Inspirasi