Para Bandit Baik dan Romantika Islam Jawa

para-bandit-baik-dan-romantika-islam-jawa
Iklan terakota

Terakota.id – Buku ini seperti novel. Goerge Quinn mengarang Bandit Saints of Java: How Java’s Eccentric Saints are Challenging Fundamentalist Islam in Modern Indonesia (Leichestershire UK, Monsoon Books). Penulisnya berkisah pengalamannya menjelajah tradisi ziarah dan mistik di Jawa.

Dia mengulas “orang-orang suci” unik, yang bahkan pernah menjalani fase kebanditannya. Tak hanya menyentuh kisah wali legendaris paling populer di Jawa, Sunan Kalijaga, “bandit Saints of Java” juga menyentuh ragam tokoh yang pernah menyembul dalam dinamika sosial politik Jawa masa lalu.

Bagi orang Jawa, pun yang rajin menyimak sejarah perkembangan Islam di Indonesia, kisah Kalijaga tak asing lagi. Populerisasi tokoh ini gencar, lazim muncul di media-media populer dari komik, buku hingga film. Ia juga muncul dalam tradisi cerita, tak hanya untuk anak-anak, tetapi bahkan sering menghiasi pengajian-pengajian di kampung-kampung di Jawa. Ketika Emha Ainun Nadjib mempopulerkan kembali tembang Ilir-ilir, ingatan kolektif mengarah ke para wali, khususnya Kalijaga.

Goerge Quinn, sang penulis yang pernah kuliah di Universitas Gadjah Mada dan University of Sidney ini, kaya informasi. Penceritaannya lentur. Sebagai “orang Jawa”, saya betul-betul menikmati, seolah baru sadar betapa pernik-pernik kisah orang-orang unik tanah Jawa, bisa dieksplorasi secara memikat. Pilihan judulnya mengingatkan nasihat yang sering muncul di pengajian-pengajian, lebih baik menjadi kiai yang mantan bandit, ketimbang bandit yang mantan kiai.

Dari buku ini, pembaca diingatkan kembali sosok-sosok baik transformatif, yang tidak semata-mata dari bandit ke wali, tetapi juga, How Java’s Eccentric Saints are Challenging Fundamentalist Islam in Modern Indonesia. Kalijaga dan para tokoh “sejenis”, telah berkontribusi dalam pembentukan sikap Keberislaman Indonesia modern yang lebih akulturatif dan inklusif.

Buku ini tak langsung menukik ke kisah Sunan Kalijaga, anak pejabat lokal Tuban yang namanya Raden Mas Said, mernjadi bandit Brandhal Lokajaya yang lantas tobat dan menjadi murid Sunan Bonang semata-mata. Quinn memulai mengajak pembaca, yang tampaknya sengaja diasumsikan mereka belum begitu kenal kultur Jawa, masuk ke aura tradisi ziarah ke orang-orang suci di Jawa.

Quinn menggambarkan bagaimana kepercayaan Islam berjumpa dengan sejarah lokal di pedalaman Jawa, dari kesannya ketika berziarah ke Gunung Lawu, Jawa Tengah (hal. 1). Lantas dia juga berkisah mistifikasi Nyi Ageng Bagelen (hal. 26). Pintu masuk ke dunia Kalijaga, bagi Quinn, Masjid Agung Demak (hal. 35). Kalijaga berkontribusi unik dalam pembangunan masjid legendaris itu, dengan membuat saka tatal, sebagai salah satu pilar sebagai simbol solidaritas dan otoritas kolektif. Quinn dengan bagus merefleksikannya ke konteks nasionalisme Indonesia modern, ketika keberagaman diikat dalam motto Bhinneka Tunggal Ika (hal. 39).

Lewat Kalijaga, Quinn masuk ke dunia Walisanga, sembilan wali tanah Jawa. Tradisi lisan menyebutkan bahwa walisanga merujuk pada suatu dewan wali, Majelis Dakwah Wali Sanga yang dari waktu ke waktu mendiskusikan strategi dan pemecahan isu-isu keagamaan dan kemasyarakatan (hal. 42).

Masjid Agung Demak merupakan tempat di mana para Wali sering bertemu, kendati tidak di situ saja. Di Pamijahan, selatan Tasikmalaya, misalnya terdapat makam Sheik Abdul Muhyi, di dalam gua Safarwadi. Di gua itu ada empat kamar alami, yang terluas sebagai Masjid Agung, tempat walisanga bersembahyang. Quinn di sisi lain, mendapat cerita dari Pak Afwan, penjaga makam Sheikh Jumadil Kubro di Semarang, bagaimana Dewan Wali pertama kali terbentuk.

Sheikh Jumadil Kubro datang dari Turki ke Jawa pada 1400-an. Setelah melihat keadaan dan perkembangan, dia balik lagi ke negeri asalnya, melapor penguasa Turki Usmani, Sultan Mehmed I, ikhwa betapa “mengerikannya” kondisi tanah Jawa. Dia meminta Sultan agar mengirim para ulama yang ampuh dan kharismatik dari kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara ke Jawa. Sultan sepakat. Dia mengirim sembilan ulama, dengan kelebihan masing-masing untuk berdakwah di Jawa (hal. 43).

Quinn protes, bukankah setiap wali dalam Walisanga hidup dalam waktu yang berbeda dalam periode waktu sekitar duaratus tahun. Pak Afwan menjelaskan bahwa, sebagaimana ditetapkan oleh Sultan Turki, keanggotaan dewan wali berjumlah sembilan, dan tentu ada pergantian reguler melalui penunjukan. Yang cukup dikenal ialah Maulana Malik Ibrahim sebagai penopang generasi berikutnya (hal. 43).
Yang dikisahkan Pak Afwan, sepertinya versi lain dari kisah tentang walisanga, yang hendak menegaskan bahwa Walisanga generasi paling awal ialah by design oleh Sultan Turki. Versi demikian sering dianggap kontroversial, kalau bukan mengada-ada oleh para akademisi dan sejarawan modern. Bahkan, dewasa ini, versi demikian dianggap sensitif, yang mendukung cepat dicurigai sebagai kelompok pro-khilafah. Padahal, barangkali sekadar hendak merekonstruksi narasi baru yang tidak muncul di teks-teks sejarawan kolonial.

Bagi Quinn, tampaknya ketika legenda Kalijaga diulas, tanpa menyelidiki Sunan Bonang, tidaklah lengkap. Tetapi, menariknya, dia juga mengisahkan tokoh pra-Islam yang berpengaruh penting dalam transformasi ke arah domestifikasi Islam Jawa. Misalnya, bagaimana ketika Raja Jayabaya diulas (hal. 96). Dia juga menyembulkan tokoh Ki Ageng Balak dan Ki Boncolono sebagai sosok-sosok “bandit Jawa” dalam konteks masing-masing.

Dalam khasanah para wali, dia juga mengingatkan sosok-sosok kontroversi penentang otoritas Dewan Wali. Tak saja yang dimaksud Siti Jenar, tetapi juga muridnya, Pangeran Panggung sosok sakti pemelihara anjing penggubah Suluk Malang Sumirang. Tokoh-tokoh lain yang ikut muncul, karena tak kalah eksentriknya ialah Mbah Priok di Jakarta dan Mbah Maridjan di gunung Merapi, Jawa Tengah. Mendarat ke Madura, Quinn juga mengulas sosok Pangeran Jimat yang tak kalah kontroversial. Muncul juga kisah Eyang Jugo dan Erucakra. Dalam epilog, muncullah Sunan Bayat, dan refleksi tentang masjid dan makam suci.

Jawa dan mistikisme, atau apa yang lazim disebut berbau klenik, kelihatannya sudah menjadi bagian yang menyatu dalam sejarahnya, berikut dampak antropologis yang ditinggalkannya. Islam berkembang pesat di pulau ini, misalnya terkonfirmasi dari studi sejarawan Ricklefs, Islamisation and Its Opponents in Java: A Political, Social, Cultural and Religious History, c. 1930 to Present (2012). Studi Quinn memperkaya khasanah, bagaimana wajah Islam Jawa masa kini, tak lepas dari romantika dan dinamikanya yang khas lewat tokoh-tokoh unik, kalau bukan ganjil, yang dipotretnya, dari Kalijaga hingga Mbah Maridjan.***