
Terakota.id–Kuliah yang harus dilakukan secara daring (online) selama pandemi Covid-19 dipandang dengan dua penerimaan berbeda di kalangan mahasiswa. Kelompok mahasiswa pertama, menikmati kuliah daring. Sedangkan kelompok mahasiswa kedua justru bersikap sebaliknya. Kelompok kedua ini merasa bahwa kuliah daring adalah aktivitas perkuliahan yang membosankan.
Bagi kelompok mahasiswa yang menikmati kuliah daring, beragam alasan disampaikan. Alasan yang menonjol diantaranya adalah bisa menikmati kuliah sambil rebahan, tugas kuliah yang durasinya pengumpulannya lebih panjang daripada saat kuliah luring, dan platform perkuliahan yang layak.
Di sisi berseberangan, kelompok mahasiswa yang merasa bosan dengan kuliah daring menyebutkan beragam argumen, mulai dari tugas kuliah yang menumpuk, tidak bisa mengikuti kuliah sambil rebahan karena dosen mewajibkan mahasiswa menyalakan kamera video, dan ketiadaan platform kuliah daring yang layak. Ketiadaan platform kuliah daring yang layak menyebabkan proses perkuliahan terjebak pada pola kasih – kumpul tugas. Dosen hanya memberi materi dalam bentuk power point, lalu memberi tugas kepada mahasiswa, dan mahasiswa diwajibkan kumpul tugas.
Alasan bisa atau tidak bisa rebahan adalah alasan yang sifatnya personal, beda dengan alasan tentang tugas kuliah dan platform kuliah daring yang layak. Kedua alasan ini seharusnya teratasi oleh kebijakan kampus, sehingga semua mahasiswa merasa nyaman dengan kuliah daring. Kebijakan akademik yang adaptif terhadap situasi pembelajaran yang mengharuskan daring, seharusnya menjadi kunci.
Adalah fakta bahwa saat badai pandemi menerjang, tidak banyak kampus di Indonesia yang siap dengan pembelajaran jarak jauh. Mungkin hanya Universitas Terbuka yang telah siap secara sistem dan kultur untuk menggelar kuliah daring, karena telah lama menyelenggarakan pembelajaran jarak jauh.
Bagi kampus yang sama sekali belum menerapkan pembelajaran daring, kepanikan pasti sangat terasa. Sistem yang belum siap, serempak pula kultur akademik yang belum menyebabkan kepanikan semakin akut. Efek domino terjadi dengan massif, dengan kuliah yang tidak terkelola dengan baik. Ujungnya, para mahasiswa memprotes kebijakan kampus di media sosial, terutama Twitter.
Kondisi moderat terjadi di kampus yang telah menggabungkan kuliah daring dan luring melalui kuliah campuran (blended learning) sebelum pandemi datang. Bagi kampus seperti ini, mereka tinggal menambah porsi kuliah daring untuk mengganti luring. Umumnya kampus yang menerapkan metode kuliah campuran ini secara infrastruktur dan kultur telah siap daring. Mahasiswa pun bisa menikmati kuliah dengan platform yang layak, dan konten yang bervariasi. Aktivitas kuliah pun tidak lagi garing (kering).
Saya termasuk beruntung berada dalam kondisi yang disebut terakhir ini. Sejak tahun 2015, saya telah menggunakan aplikasi pembelajaran berbasis moodle yang menjadi platform Learning Management System (LMS) di kampus saya mengajar, yang dipadukan dengan kuliah luring. Perbandingannya enam puluh persen luring, empat puluh persen daring. Lazim disebut MyKlass, LMS berbasis moodle ini menjadi ekosistem yang menyenangkan, terutama karena ramah pada pengguna awam (user friendly).
Menggunakan perspektif pedagokikal, platform ini menyediakan lingkungan pembelajaran yang fleksibel dan mendorong dosen dan mahasiswa untuk saling berkontribusi. Meskipun telah lima tahun menggunakan aplikasi ini, saya pun sempat panik ketika kuliah mendadak menjadi seratus persen daring di awal pandemi. Kepanikan yang tentu lebih terasa dalam situasi perkuliahan yang seratus persen luring.
Untungnya kepanikan justru membuat saya segera beradaptasi. Platform yang ada memungkinkan untuk berkolaborasi dengan mahasiswa. Konten perkuliahan pun tidak hanya power point, namun juga video pembelajaran, podcast, modul, jurnal dan buku digital. Sejurus dengan keragaman konten, aktivitas kuliah juga tidak terbatas pada bagi materi dan kumpul tugas saja. Selain kedua aktivitas ini, aktivitas kuliah juga berupa kuis, workshop, forum diskusi, Wiki dan aktivitas lain yang membuat mahasiswa menjadi tidak bosan.
Panikgogi
Shivangi Dhawan dalam artikelnya yang berjudul Online Learning: A Panacea in the Time of Covid-19 Crisis yang dimuat dalam Journal of Educational Technology Systems, Vol. 49 No. 1 (2020) menyebutkan bahwa pembelajaran daring umumnya memiliki banyak peluang yang memungkinkan untuk dikembangkan. Datangnya krisis memungkinkan pembelajaran daring berkembang pesat, terutama karena kebanyakan institusi akademik beralih ke model ini.
Pembelajaran daring, kerja jarak jauh seperti kerja dari rumah (work from home), dan kolaborasi daring meledak selama wabah Covid-19. Seharusnya, institusi pendidikan tinggi dapat mengambil kesempatan ini dengan membuat para dosen mereka mengajar dan mahasiswa belajar melalui kuliah daring.
Sayangnya selama ini, kita selalu berpuas diri dan tidak pernah mencoba beberapa cara belajar baru. Kemalasan para pejabat dari berbagai kampus untuk mencoba menerapkan pembelajaran daring saat pandemi belum datang adalah bukti nyata. Krisis ini akan menjadi fase baru untuk pembelajaran daring dan akan memungkinkan orang untuk melihat hasilnya sisi teknologi e-learning.
Pandemi ini adalah waktu ketika ada banyak ruang lingkup menghadirkan inovasi dan perkembangan digital yang mengejutkan. Dosen seharusnya mampu mempraktikkan teknologi dan bisa mendesain berbagai program fleksibel untuk pemahaman siswa yang lebih baik.
Penggunaan pembelajaran daring akan menguji kemampuan adaptasi pedagogi dosen sebagai pendidik, dan mahasiswa sebagai peserta didik. Kuliah daring seharusnya mampu meningkatkan keterampilan pemecahan masalah, kemampuan berpikir kritis, dan kemampuan beradaptasi di antara mahasiswa. Tentu dengan dosen memberi contoh kemampuan adaptasi
Dalam situasi krisis ini, dosen dan mahasiswa dihadapkan pada kesamaan kondisi, keharusan menggunakan teknologi digital yang terkoneksi internet. Kita seharusnya menuai manfaat dari fleksibilitas waktu dan lokasi yang terkait dengan kuliah daring. Dosen dapat mengembangkan pendekatan pedagogis inovatif dalam situasi panik ini, yang oleh Shivangi Dhawan disebut sebagai Panicgogy (Panikgogi).
Masa pandemi telah menjadikan konten perkuliahan daring yang saya lakukan semakin beragam. Demikian pula aktivitas perkuliahan daring yang variatif. Berhadapan dengan situasi yang membuat panik, Panikgogi bisa menjadi jawaban.
