“Panembahan Reso” 2020 (Drama Intrik Politik yang Sublimatif)

panembahan-reso-2020
Proses kematian sang Raja Tua oleh racun dari tangan Ratu Dara. Foto : GenPI.co).
Iklan terakota

Oleh: Moehammad Sinwan*

Terasiana.id–Dimana terjadi upaya-upaya intrik politik, di situlah bisa dipastikan sedang terjadi perebutan kekuasaan. Bila syahwat kekuasaan sedang bersemayam pada berbagai pihak (orang), maka tak akan bisa terelakkan sebuah tragedi pertarungan demi kepentingan untuk berkuasa, bakal terjadi dengan akibat yang tak sederhana.

Demi nafsu untuk berkuasa, permainan curang, permainan kotor, intrik politik yang lebih cenderung sadis, serta sikap dan perilaku khianat, baik yang tersembunyi maupun yang terang-terang, menjadi cara yang tak mungkin bisa dielakkan. Meskipun kadang (atau bahkan selalu) akibatnya adalah kehancuran bagi semua pihak yang terseret dalam pertikaian dramatis dan sadis itu.

Begitulah kiranya yang ingin diungkap oleh seorang WS rendra lewat ‘mahakarya’ dramanya yang berjudul “Panembahan Reso.  Naskah ini ditulisnya dan dipentaskan untuk pertama kalinya pada tahun 1986, selama 7 jam di Istora Senayan Jakarta, dengan penonton sekitar 7000 orang.

panembahan-reso-2020
Adegan intrik politik dalam dalam pentas teater “Panembahan Reso” (Foto : GenPI.co).

Naskah drama yang penuh adegan-adegan intrik politik ini ditulisnya berdasarkan pengamatan terhadap realitas yang terjadi selama 11 tahun, sebagai kritik terhadap kondisi pemerintahan saat itu (Orde Baru). Di tangan sang penyair besar yang dijuluki ‘Si Burung Merak’ ini, naskah panjang yang menarasikan begitu peliknya permasalahan perebutan kekuasaan yang kemudian dinyatakan dengan dialog idiomatik “tahta di telaga darah” ini, begitu penuh dengan filosofi-filosofi kehidupan, dan begitu satir dalam menggambarkan kesepian manusia di tengah hiruk-pikuk pertarungan kepentingan, serta begitu tajam dalam melukiskan perasaan seseorang yang ‘teralienasi’ dari lingkungan hidupnya dan dari segala hal yang dimilikinya.

Karya besar yang monumental tersebut, telah dipentaskan ulang –setelah 34 tahun yang lalu–, di Ciputra Artpreneur Theatre Jakarta, pada Sabtu, 25 Januari 2020. Puluhan pemain terdiri dari beberapa aktor-aktor “kawakan” yang berkolaborasi dengan penuh chemistry dengan pemain-pemian muda, dan didukung oleh puluhan pemusik dan tim pekerja teater itu, dikomandani oleh Hanindawan (sebagai sutradara), dan dibantu Sosiawan Leak (sebagai Asisten Sutradara).

Helatan karya besar itu merupakan sebuah ‘projek gila’ yang digarap secara kolaboratif antara GenPI.co, JPNN.COM, BWCF Society, Ken zuraida Project dan Ciputra Artpreneur sebagai Veneu Partner.

Bagaimana tidak? Projek produksi dan helatan pementasan tersebut berbudjet satu koma sekian “M” (dengar-dengar kalau tidak salah sekitar 1,3 M). Bagi sebuah projek produksi dan pergelaran teater, angka itu merupakan angka fantastis yang pernah terjadi selama ini.

Sekali lagi, itu memang “projek gila”. Namun, kegilaan itu terasa impas dan bahkan sangat memuaskan secara impact yang dihasilkan.

Sebuah pementasan yang dipadatkan dari 7 jam menjadi 3 jam itu telah berhasil membawa seluruh penotnon yang memenuhi gedung Artpreneur Theater Ciputra malam itu, menikmati dengan sangat puas. Sebuah pementasan yang terasa sangat penuh energi, dengan alur adegan-adegan yang cukup padat dan mengikat, serta dengan stamina vokal dan dialog yang prima dan sangat komunikatif secara detail, membuat pentas “Panembahan Reso” malam itu begitu bagus, apik, dan sangat menarik.

Terlepas dari adanya beberapa bagian-bagian kecil (saat beberapa adegan koreografis sebagai penjedaan antara adegan satu dengan adegan berikutnya) yang kadang terasa agak lemah dan kurang matching secara ‘bits’ atau progres ritmiknya, pentas “Panembahan Reso” yang diproduseri oleh Seno Joko Suyono (BWCF) dan Imran Hasibuan (Jurnalis), yang diperkuat oleh Produser Eksekutif Auri Jaya (GenPI.co) secara keseluruhan tetap terasa utuh dan memukau.

Lebih jauh, kalau dicermati dari berbagai sisi, yakni digandengnya beberapa pemain andal seperti Whani Darmawan (sebagai Panji reso); Sha Ine Febrianti (sebagai Ratu Dara); Gigok Anurogo, tokoh ketoprak di Solo (Sebagai Raja Tua); serta sederet nama-nama lain yang juga bukan orang baru di panggung teater seperti: Jamaluddin Latif, Maryam Supraba, Sruti Respati, Rudolf Puspa, Kodok Sukodok, dan masih banyak deretan nama lain, jelas sekali bahwa projek pentas karya sang maestro ini didasari oleh dorongan besar untuk membuat gebrakan baru yang berupa pentas teater dengan kualitas yang tak perlu diragukan lagi.

Dari begitu besarnya budget yang dibutuhkan, dipilihnya Solo sebagai basis tempat penggarapan, bergabungnya orang-orang dan pihak-pihak yang “tak sembarangan” dalam proses kerja produksi ini, serta dukungan dari pihak sponsor yang diantaranya dari Bakti Budaya Djarum Foundation, PLN, Sariayu Martha Tilaar, Direktorat Jendral Kebudayaan Kementrian Pendidikan  dan Kebudayaan, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta, Etcetera lighting, Indigo Sound dan Grand Mercure Kemayoran.

Juga terima kasih Rumah Sakit Pondok Indah Group dan Ciputra sebagai partner, makin menunjukkan pada kita bahwa mimpi dari seorang “pencetus gagasan” projek ini bukan sekedar menghadirkan sebuah pentas seni teater, akan tetapi jauh dari itu ada komitmen besar untuk pertumbuhan dan perkembangan teater di Indonesia, agar bisa terus berlangsung meskipun perubahan-perubahan zaman telah memunculkan berbagai implikasi-implikasi yang makin tak sederhana.

“Masihkah pertunjukan Teater diminati milenial? Ungkapan itu, bukan sekedar pertanyaan melainkan juga pernyataan. Setidaknya itu yang saya dapatkan. Ketika saya mencoba menyampaikan rencana pertunjukan  Teater Panembahan Reso, kepada teman atau relasi.

Mungkin, karena mereka tahu, saya bukan pekerja seni. Apalagi berteater. Juga tidak pernah bersinggungan dengan komunitas ini. Mereka terkejut. Setan apa yang merasukimu? Sehingga kamu tiba-tiba berteater. Semua meragukan!” itulah sebuah pernyataan Auri Jaya (Produser Eksekutif) dalam sebuah tulisannya dalam Buklet Pementasan.

***

Proses tak pernah mengkhianati hasil” begitulah pepatah yag dewasa ini makin diyakini oleh banyak orang. Dan begitu pulalah realitas yang telah terjadi pada proses produksi pementasan “Panembahan Reso” karya besar WS Rendra.

Dengan proses yang cukup keras dan panjang, oleh orang-orang yang (masih) sangat memiliki dedkasi dan komitmen yang tinggi, serta tergabungnya pihak-pihak yang memiliki berbagai kapabiltas yang besar, dan tak tanggung-tanggung juga, turun tangannya Ken Zuraida sebagai konsultan khusus, telah melahirkan sebuah pentas yang berkualitas, menarik, inspiratif, dan sublimatif.

Menonton pementasan yang 3 jam itu, seperti cuma melewati waktu yang singkat dan padat. Aktor-aktor yang main dengan prima dan dengan detail akting yang sangat komunikatif, pemampatan/pemadatan naskah yang panjang menjadi 3 jam, penggarapan artistik yang cukup kontekstual dengan citarasa kekinian, serta tajamnya “dialog-dialog” filosofis tentang berbagai persoalan kehidupan (terutama persoalan kekuasaan), benar-benar telah memberikan kesan dan rasa begitu dalam bahwa pementasan ini adalah sebuah “sublimasi” dari berbagai hal.

Bisa jadi merupakan sublimasi dari kerinduan dan impian akan pentas teater yang berkualitas. Bisa jadi merupakan sublimasi dari endapan-endapan kualitas akting para aktornya. Bisa jadi merupakan sublimasi potensi kreatifitas dari segenap pelaku teater yang terlibat dalam pementasan ini, yang mungkin telah lama tidak mendapatkan “cannal” untuk dimuntahkannya. Dan bisa jadi… bisa jadi… lainnya, yang merupakan daya dorong kenapa pentas “Panembahan Reso” versi baru ini menjadi begitu memikat dan memukau seluruh penontonnya.

panembahan-reso-2020
Adegan intrik politik dalam dalam pentas teater “Panembahan Reso” (Foto : GenPI.co).

Oleh karena itu, seorang Seno Joko Suyono, sebagai salah seorang produser, sangat menginginkan pentas “Panembahan Reso” ini bisa hadir ke daerah-daerah. Dan itu adalah sebuah keinginan yang ‘tepat’. Sebab, dalam kondisi perteateran Indonesia yang ‘cukup mengalamai proses menuju stagnanisasi’ seperti ini, perlulah pentas ini bisa menjadi “suntikan nutrisi” bagi iklim berteater, terutama iklim teater di daerah! (Ayo! Bagaimana Jawa Timur? Siap menghelat “Panembahan Reso”?).

*Pimpinan Teater Ideot