Terakota.id–Sudah lebih dari satu tahun pandemi COVID-19 mendera kita dan dunia. Hampir semua sendi kehidupan secara negatif dipengaruhi olehnya. Sementara para peneliti digegas untuk mencari vaksin yang dapat ‘menyembuhkan’ dunia, jutaan orang di seluruh dunia tidak sempat menanti hasil kerja mereka dan mesti kehilangan pasangan, anak, orang tua, saudara, teman, hidup mereka sendiri dan juga penghidupan mereka. Tiba-tiba, optimisme kemanusiaan yang beberapa tahun sebelumnya membombong hati kita lewat dipublikasikannya trilogi karya Yuval Noah Harari (Sapiens, Homo Deus, dan 21 Lessons for 21st Century) melayu dengan cepat.
Benarkah kita, sebagai keseluruhan, sudah berhasil mengalahkan sakit-penyakit, mampu meniadakan alasan untuk berperang, dan berhasil menyudahi kelaparan? Juga, betulkah kita siap menjadi Deus atau Tuhan atas nasib, kebahagiaan, serta pilihan kita sendiri? Ataukah kita sedang dihempaskan kembali dari ketinggian, mirip dengan yang kisah mitos runtuhnya Menara Babel? Atau dihukum dengan siklus tanpa henti untuk mendorong batu berat ke puncak bukit untuk digelincirkan kembali seperti dalam mitos Sisipus?
Benarkah kita sedang menulis sejarah sebagaimana digaungkan banyak pemimpin dan dikutip oleh media massa? Apakah sejarah yang sedang kita tulis bersama itu tragis, menyedihkan, tetapi juga mengandung pembelajaran?
Banyak sekali pertanyaan yang dapat kita ajukan terkait apa yang sedang kita alami. Dan barangkali, belum akan ada jawaban yang tegas untuk kesemuanya. Baru di masa yang akan datang, in retrospect, kita atau generasi setelah kita dapat menjelaskannya dengan perspektif yang lebih baik.
Tragedi: Melihat tetapi Tidak Mengerti
Dalam Oedipus Rex (429 SM), sebuah drama tragedi klasik karya Sophocles, dikisahkan bahwa tokoh utamanya, Raja Oedipus, sedang mencari biang keladi dari pageblug yang melanda negeri yang dipimpinnya, Thebes. Dia bersumpah akan membunuh si penista dan membersihkan negeri dari dosa yang ditanggungnya. Pada masa lalu, ada keyakinan kuat bahwa suatu pandemi yang melanda negeri disebabkan oleh adanya ‘kenajisan’ dalam masyarakat yang perlu segera ditahirkan. Sampai sekarang pun, keyakinan akan hal semacam itu masih terasa dan dipraktikkan.
Hal yang Oedipus tidak sadari, terlepas dari matanya yang bisa melihat dengan jelas serta fakta bahwa dirinya adalah seorang yang cerdas luar biasa—terbukti bahwa dia bisa memecahkan teka-teki yang dilontarkan Sphinx, yang tidak seorang pun yang lain bisa menjawabnya—adalah bahwa dirinya sendirilah si penajis tersebut. Oedipus telah melakukan pelanggaran paling berat dan paling nista yang menjadikan namanya kelak diabadikan sebagai sebuah kompleks kejiwaan, Kompleks Oedipus. Oedipus telah membunuh ayahnya sendiri dan kemudian mengawini ibu kandungnya tanpa sepengetahuannya sampai semuanya terlambat dan seluruh negeri turut menderita.
Dalam tragedi karangan William Shakespeare yang berjudul Othello (c.1603), Jenderal Othello yang adalah orang Mor tidak bisa melihat adanya persekongkolan persis di depan matanya. Kejahatan sedang dirancang dan dijalankan dengan licinnya oleh Iago, seorang anak buahnya yang mendambakan menjadi letnan tetapi tergeser oleh seorang matematikawan yang dianggapnya tak berpengalaman di medan perang bernama Cassio. Karena ‘kebutaan’-nya itu, Othello tega mencekik sampai mati istrinya yang cantik dan setia, yang telah meninggalkan bapak dan negerinya untuk hidup bersamanya di Siprus. Othello dibutakan oleh rancangan yang membakar api kecemburuan dan megalomanianya sendiri.
Raja Lear, dalam drama King Lear (1606) yang juga dikarang oleh Shakespeare, gagal untuk melihat dan menyadari ketulusan hati putri bungsunya, Cordelia, karena dia tidak seperti kedua kakaknya, Goneril dan Regan, yang pandai menjilat ayahnya untuk mendapatkan bagian dari kerajaan. Raja Lear, yang sudah renta dan semestinya memiliki kebijaksanaan justru picek dalam melihat kenyataan tersebut. Ketika akhirnya ia menyadari “kebutaannya”, semua sudah terlambat. Cordelia terlanjur mati, dan Lear pun menyusulnya karena patah hati.
Begitulah kurang-lebih inti dari tragedi klasik. Memiliki mata tidak serta-merta berarti sang tokoh bisa melihat dengan benar, atau menyadari kebenaran. Berkedudukan tinggi saja tidak menjamin mengerti kebenaran. Berusia tua saja tidak berarti bijaksana. Mata manusia adalah mata yang selektif; melihat apa yang menyenangkan hatinya saja. Tragedi menjadi tragedi karena mata mencelik, tetapi tidak melihat dan memahami kebenaran atau kenyataan. Maka, tidak heran Raja Oedipus berkata, “Mataku ini membutakanku, lebih baik aku mencungkilnya.” Dan paradoksnya, dengan membutakan mata fisiknya, justru Oedipus bisa melihat dan mengerti kebenaran. Meski kebenaran itu sangat pahit.
Komedi: Sama Menderitanya tetapi Tanpa Pembelajaran
Bila tokoh utama dalam tragedi selalu dikisahkan menderita, dan menderita dalam ekstremitasnya bahkan sampai mati atau bunuh diri, atau, kalau memutuskan untuk tetap hidup, menanggungkannya dalam kesesakannya yang amat-sangat seperti Oedipus yang kemudian berkelana sebagai pengemis buta yang dituntun seorang putrinya, namun toh sebelum mati atau dengan rela menganggung penderitaannya menyadari kesalahannya sendiri yang nggegirisi, bagaimana dengan tokoh utama dalam komedi?
Sebagai genre, komedi sering dianggap sebagai kebalikan dari tragedi. Itu berarti jika tragedi dipenuhi kesedihan dan penderitaan, komedi mestinya dipenuhi tawa dan hiburan, walaupun hanya di permukaan. Kesan ini tidak salah, minimal kalau komedi yang kita nikmati sekelas OVJ di televisi, yang penuh slapstick dan farce.
Akan tetapi, kalau kita melihat contoh dari komedi yang lebih serius, semacam film-film bisu Charlie Chaplin dari abad lalu, kita akan melihat komedi yang berbeda. Tokoh Charlie Chaplin memang terlihat komikal dan norak dalam penampilan dan gerak-geriknya. Lihat saja kumisnya atau gaya berjalannya. Namun, di sepanjang filmnya, Charlie Chaplin pun bercerita tentang pengalamannya yang tidak luput dari penderitaan seperti dikejar-kejar polisi, terjepit elevator, kejatuhan sampah, hidup sebagai orang miskin, dan seterusnya. Selain menderita secara fisik, dia juga menderita secara psikis. Chaplin kehilangan anak pungutnya atau kekasihnya, misalnya. Pendeknya, penderitaan ternyata juga akrab bagi tokoh utama komedi, sama dengan tokoh dalam tragedi.
Tetapi, sempurna kita membaca atau menonton komedi, mengapa kita tidak mengalami katarsis seperti setelah kita menikmati tragedi? Saat menonton komedi, bisa jadi kita tertawa sampai mengeluarkan air mata, tetapi tangis itu berbeda dari tangis yang kita teteskan saat kita melihat tokoh utama tragedi yang nasib buruknya membuat kita berpikir tentang hidup kita sendiri, yang boleh jadi tragis juga. Mungkin, itu dikarenakan kita tidak merasa telah belajar sesuatu tentang hidup dari komedi.
Memahami Pandemi Ini sebagai Tragedi
Kembali ke pertanyaan awal, yang sekarang kita derita dalam wujud pandemi bisa dilihat dan dimengerti sebagai tragedikah?
Meskipun para tokoh utama dalam tragedi maupun komedi mengalami penderitaan, baik yang sifatnya fisik maupun psikis, yang membedakan adalah pada bagaimana mereka menyikapi dan belajar dari penderitaan tersebut. Tokoh utama tragedi selalu belajar dan, meskipun pahit dan kadang terlambat, mereka menyadari kesalahan mereka. Dari sana, mereka beroleh wawasan yang kemudian membantu mereka untuk melihat realitas dengan setepat mungkin. Beberapa memang tidak sempat melihat bagaimana wawasan tersebut mewujud dan memberikan dampak, seperti dalam kasus Raja Lear atau Othello, tetapi kita sebagai ‘generasi’ setelah mereka yang menikmati kisah mereka belajar dari kesalahan atau ‘kebutaan’ mereka.
Tokoh-tokoh utama dalam komedi, sebaliknya, seakan membal terhadap pelajaran dari penderitaan mereka. Kesakitan atau penderitaan mereka tidak membuat kita merenung, tetapi justru menerbitkan tawa. Bukan wawasan mendalam tentang kehidupan yang kita peroleh dari komedi, tetapi hiburan sesaat dari penatnya kehidupan kita sendiri. Komedi, karenanya, mengalihkan kita dari realitas, alih-alih mencelikkan mata kita pada realitas.
Tetapi sebagai manusia merdeka, apakah pandemi yang masih mendera akan kita sikapi sebagai tragedi atau komedi terserah pada kita. Apakah kita akan mulai dengan menyadari bahwa ada masalah di sini, lantas berusaha menguraikannya satu per satu dan menjadikan diri kita bagian dari solusi? Ataukah kita akan berpura-pura meyakini bahwa masalah itu tidak ada pada kita, bahwa pandemi ini konspirasi, misalnya? Bahwa masalah ada di luar sana, bukan pada diri kita?
Bagaimanapun, sikap yang setepatnya adalah melihat pandemi ini sebagai tragedi. Kita mestinya mulai menyadari bahwa ini adalah masalah dan kita perlu menyelesaikannya. Caranya adalah dengan kita menerapkan gaya hidup yang sehat, menjalankan dengan baik 3M (atau 5M), mengikuti program vaksinasi, dan tidak mudik dulu. Pandemi ini adalah komedi atau lelucon, jika kita memilih yang sebaliknya: abai pada prokes, semau-maunya sendiri, enggan vaksin, mudik dengan secara tikus-tikusan.
Dari pemahaman dan kesadaran bahwa pandemi ini adalah tragedi, kita dan generasi setelah kita belajar wawasan dan pengetahuan baru. Maka, mari kita lakukan yang demikian.
Dosen prodi Sastra Inggris Universitas Ma Chung, penerjemah buku, dan pembaca yang giat.