
Oleh: Sugeng Winarno *
Terakota.id—Ini bukan sekedar palu. Ini bukan hammer yang biasa digunakan untuk memukul paku agar tertancap di kayu atau tembok. Ini juga bukan palu besi besar yang digunakan untuk memecah batu. Palu yang satu ini tak biasa ketemu paku atau batu. Palu yang tak biasa dipakai tukang kayu atau kuli batu.
Palu yang satu ini berada di tempat terhormat, di tempat yang mulia. Palu ini biasa dipegang oleh hakim dalam sebuah persidangan. Palu ini digunakan untuk mengendalikan persidangan di pengadilan. Palu ini ukurannya tak perlu besar, walau punya peran yang tak kecil dalam sebuah persidangan. Inilah palu sidang.
Beberapa pekan terakhir, masyarakat Indonesia disuguhi ajang pendidikan politik yang luar biasa. Melalui siaran langsung di beberapa televisi nasional, masyarakat Indonesia menyaksikan persidangan gugatan perselisihan pilpres 2019 dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK). Persidangan yang menjadi harapan akhir penyelesaian sengketa pilpres itu ditunggu hasilnya oleh semua rakyat.
Masyarakat menyaksikan proses peradilan secara langsung (live) lewat layar televisi mereka. Orang awam yang tak paham hukum jadi bisa menyaksikan bagaimana hakim memimpin dan mengendalikan sidang, bagaimana pemohon, penuntut, pembela, bagaimana saksi, dan sejumlah aktivitas dalam sebuah proses persidangan. Termasuk bagaimana palu sidang itu digunakan hakim untuk mengatur persidangan.
Sidang dalam Liputan Media
Sidang MK sengketa hasil pilpres disiarkan secara “telanjang” oleh beberapa televisi nasional. Selama beberapa hari, siaran persidangan ditayangkan penuh oleh sejumlah stasiun televisi swasta. Bahkan saat tahapan mendengarkan keterangan beberapa saksi, persidangan berlansung dari pagi hingga ketemu pagi lagi.
Tak hanya media massa tanah air yang meliput sidang MK, sejumlah media asing juga menurunkan jurnalisnya guna meliput peristiwa ini. Tak hanya televisi yang menyiarkan langsung. Sejumlah portal media online juga menyajikan siaran live streaming pelaksanaan sidang ini. Di sejumlah platform media sosial (medsos) juga ramai memperbincangkan pelaksanaan sidang dengan beragam komentar dan ulasan.
Melalui laman Youtube juga bisa kita temui tayangan persidangan itu secara utuh. Lewat Youtube pula orang bisa membaca berbagai komentar para viewers tayangan itu lewat kotak komentar yang tersedia di bawah video yang tersaji. Orang bisa membubuhkan tanda jempol menghadap ke atas yang artinya suka, atau juga mengklik jempol menghadap ke bawah yang artinya tak suka.
Tak hanya itu, beberapa orang usil juga memungkinkan membuat video dalam versi hasil potongan. Sengaja video diedit, dibubuhi pesan-pesan lain terkait pelaksanaan sidang yang sedang berlangsung. Itulah salah satu kreativitas para pengguna medsos. Persidangn MK di media tersaji secara terbuka, semua bisa menilai, berkomentar, dan mencipta opini. Bahkan ada pula yang berusaha memanipulasi informasi.
Dalam logika media massa, tayangan persidangan MK pasti banyak pihak yang ingin tahu. Karena memang peristiwa ini publik layak tahu (public right to know). Guna menjawab rasa keingintahuan masyarakat itulah sejumlah media menyajikan tayangan persidangan MK ke hadapan pemirsa, pendengar, pembaca, atau viewers-nya.
Sidang MK tentu bisa menaikkan rating bagi acara televisi, menambah jumlah pendengar media radio, menambah oplah dan jumlah pembaca media cetak, meningkatkan jumlah hits dan viewers media online. Media massa memang punya tanggungjawab mengabarkan peristiwa kepada khalayaknya di samping media juga punya orientasi bisnis dari praktik peliputannya itu.
Ketika Peradilan Disiarkan Live
Ada implikasi positif dan negatif ketika peradilan ditampilkan secara live oleh media. Seorang filosuf Inggris, Jeremy Bentham pernah mengungkapkan bahwa “keterbukaan peradilan membuat hakim diadili saat mengadili”. Pernyataan ini mengandung kebenaran dan menyiratkan makna bahwa publik bisa terlibat mengontrol proses peradilan dan menilai kredibilitas hakim. Intinya, masyarakat bisa turut menegakkan supremasi hukum melalui keterbukaan yang disajikan media.
Merujuk beberapa negara lain, siaran persidangan live ada yang diperbolehkan ada juga yang dilarang. Pemerintah Armenia misalnya, sejak tahun 2003 telah membangun kanal televisi khusus peradilan (Courts TV). Enam bulan setelah beroperasi, Court TV Armenia yang bernama “My Rights” menduduki rating teratas stasiun televisi pilihan warga Armenia.

Sementara itu di Amerika, Inggris dan Australia melarang keras kamera foto dan televisi masuk ke ruang persidangan. Jangankan siaran langsung, dalam pemberitaan persidangan pun, televisi hanya diperkenankan membuat gambar sketsa situasi persidangan sebagai visualisasi berita audionya. Alasan pelarangan liputan langsung persidangan di ketiga negara tersebut adalah dikhawatirkan berkurangnya wibawa proses peradilan, mengganggu atau mempengaruhi saksi-saksi dalam memberi kesaksian, dan melanggar privasi pihak-pihak yang berperkara.
Liputan siaran langsung (on the spot) di satu sisi memang baik, namun tentu tidak semua persidangan terbuka untuk umum yang bisa ditampilkan live. Persidangan perkara asusila, pornografi, dan anak-anak tentu publik tidak perlu mengetahuinya secara detail. Merujuk pada pasal 153 ayat (3) Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) “Untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.”
Praktik liputan persidangan di Indonesia sangatlah terbuka. Siaran persidangan yang disajikan secara “telanjang” bisa membuat masyarakat dapat menyimak persidangan layaknya datang langsung ke ruang sidang MK. Masyarakat bisa melihat kapan hakim mengetok palu untuk mengawali persidangan, saat break, saat terjadi interupsi, saat situasi gaduh, dan beragam kondisi saat persidangan berlangsung.
Seluruh masyarakat menunggu palu hakim itu diketok dengan keputusan yang benar-benar adil. Semua rakyat Indonesia berharap semua hakim MK bekerja sangat profesional dalam memutus perselisihan sengketa pilpres 2019 ini. Dan kalau palu hakim sudah diketok dengan keputusan finalnya, maka semua pihak harus menghormati apapun hasil dari keputusan yang terjadi.
Semoga semua pihak bisa legawa menerima keputusan akhir yang dibacakan hakim dan palu hakim diketok untuk menandai persidangan di tutup. Dok!

*) Penulis adalah Pegiat Literasi Media, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang.

Penulis adalah Pegiat Literasi Media, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang