Iklan terakota

Terakota.id--Sebagai anak yang hidup di desa sejak kecil, saya biasa main di kebun, sawah, atau sungai. Mainannya pun khas anak-anak desa. Waktu itu juga jauh dari permainan yang “berbau” modern. Nyaris habis sekolah siang hari saya gunakan main sampai sore bersama teman-teman.

Malamnya ke surau untuk belajar mengaji. Minggu digunakan untuk main lagi, bahkan sampai di tetangga desa. Seringnya membawa ketapel. Semua dilakukan dengan senang hati. Entah sebab keterpaksaan karena lingkungan seperti itu atau memang hobi. Yang jelas kami menikmatinya.

Tentu ada pengalaman menarik. Salah satunya saat kami main di kebun. Tentu kami berjuang dengan nyamuk yang selalu mengganggu dan menggingit kulit. Kadang kami mengambil buah-buahan yang ada di kebun untuk dimakan bersama. Suatu saat, kami melihat ada beberapa tawon yang beterbangan di sekitar kami bermain. Setelah kami melihat sekitar, memang ada sarang tawon. Tak heran jika tawon-tawon itu beterbangan di sekitar tempat kami bermain.

Melihat terbangnya beberapa tawon itu, terjadilah berbagai pendapat diantara kami. Ada yang menyarankan untuk pindah bermain karena tawonnya ganas. Namanya tawon endas (kepala). Kenapa disebut endas? Karena jika menyengat manusia yang diserang biasanya bagian kepala. Sengatannya cukup membuat kepala sakit. Tiba-tiba ada teman kami yang iseng.

Iseng untuk melempar sarang tawon tersebut. Tentu banyak diantara kami yang memperingatkan agar jangan mengganggu sarang tawon itu. Kita cukup menghindar. Lagian kita juga datang ke situ hanya untuk bermain-main saja. Bermain juga tidak setiap saat. Tentu kami menganggap diri sebagai pendatang. Sementara tawon sudah mempunyai sarangnya situ sebelum kami datang.

Malang tak dapat ditolak. Teman saya itu mengambil batu lalu melempar ke sarang tawon tersebut. Lemparannya jitu, mengenai sarang tawon yang sudah agar besar tersebut. Jadilah tawon semburat ke mana-mana. Tentu tawon akan mencari sasaran siapa yang merusak sarangnya. Termasuk diantara kami yang menjadi sasaran.

Puluhan tawon kemudian mengejar kami. Ada yang cepat dan ada yang lambat. Satu diantara mereka mengenai kepala teman. Jadilah teman kami itu kesakitan karena disengat tawon. Tentu saja, teman yang tersengat tawon itu menangis keras. Sambil lari kami menuju rumah salah satu teman. Kebetulan orang tuanya ada di rumah. Lalu kami cerita apa yang sudah kami lakukan sehingga salah satu teman tersengat tawon.

Sambil berkata-kata menyalahkan, orang tua teman saya itu mengambil kunyit. Kemudian memarutnya. Parutan kunyit itu kemudian dioleskan pada kepala teman kami yang tersengat lebah. Saya waktu itu tidak tahu kenapa harus dengan kunyit. Kami hanya mengikuti saja kemauan orang tua tersebut.

Teman saya masih memangis. Katanya bekas sengatan tawon itu terasa panas. Namanya juga anak kecil. Itu juga pertama kali dia tersengat tawon. Sakit dibarengi dengan takut. Takut juga jika nanti dimarahi orang tuanya.

Biasanya orang tua di desa akan menyalahkan anaknya jika sesuatu menimpa anak-anak. Mereka terbiasa menyalahkan diri dan anaknya, bukan menyalahkan orang lain. Misal nya, jika anaknya berkelahi lalu pulang memangis. Yang dimarahi ya anaknya. Kenapa dia nakal atau berkelahi sampai luka. Orang tua desa tidak biasa menyalahkan anak orang lain. Inilah yang mungkin membuat orang desa lebih menerima pada keadaan dan punya empati dengan orang lain lebih tinggi.

Kemudian setelah diolesi kunyit rasa sakit teman saya itu mulai hilang. Dia sudah bisa tersenyum, meskipun belum berani pulang ke rumah. Takut dimarai bapaknya.
“Gimana, sudah baikan? “tanya bapaknya teman. “Sudah pak, “jawab teman saya yang terkena sengatan tawon itu.
“Besok lagi main ke sana. Kalau perlu habiskan rumah tawon itu ya, “orang tua teman saya itu terkesan meledek. “Enggak berani pak”.

“Kenapa? Kan kalian ini anak-anak yang pemberani? Berani menanggu sarang tawon? Kami semua hanya bisa menunduk. Bapak teman saya melanjutkan, “Sudah jelas tawon itu tidak bersalah. Kenapa kalian ganggu?” “Tapi yang salah kan tawonnya pak. Kenapa mereka mengejar kami? Coba kalau tidak mengejar kami tak akan disengat?”

“Saya tahu cah bagus. Tapi awalnya kamu-kamu ini kan yang mengganggu sarang tawon itu? Kalau tidak menggangu tentu tidak akan membuat tawon-tawon itu brutal, bukan?” Lanjut dia, “Jadi jangan salahkan tawonnya. Salahkan kalian mengapa menganggu sarang tawon itu? Kalian juga tidak bisa cerita ke orang tua kalian dengan menyalahkan tawon. Lalu orang tua kalian menghabisi sarang tawon itu.

Sarang tawon itu sudah ada sejak kalian belum bermain di sana, bukan? Mulai sekarang introspeksi diri apa yang sudah kalian lakukan pada tawon-tawon itu. Bukan dengan mudahnya menyalahkan tawon yang mengejar kalian itu. Itu namanya tidak mau melihat akar persoalan. Akibat pasti ada sebab”.

Mungkin bapaknya teman saya itu telanjur menemukan pelampiasan untuk terus berbicara. Menyalahkan anak-anak yang main sembarangan di kebun. Bahkan ditakut-takuti jika nanti ada ular weling, welang, dak gromo dan semacamnya. Ular-ular itu tentu akan bereaksi karena diancam keselamatannya.

Renungan

Beberapa waktu lalu (April 2021), serangan Israel ke Palestina menimbulkan kecaman dan dukungan dunia internasional. Awalnya, Israel menyerang Palestina akibat bibit konflik setelah Israel menyabotase speaker masjid Al Aqsa. Konflik yang sudah lama dan kian meruncing itu pun kembali memuncak.

Kali ini dukungan pada Palestina sedemikian besar di dunia internasional. Sementara itu tetap ada negara atau pihak-pihak tertentu yang mendukung Israel. Amerika diantara yang mendukung tersebut. Bahkan menyerukan Hamas menghentikan serangan pada tentara Israel. Bahkan ada tuduhan Hamas sebagai teroris.

Tulisan ini tidak akan menganalisis siapa yang bersalah atau bagaimana konflik terjadi. Sebuah konflik tidak akan terpecahkan dengan baik manakala tidak dilihat akar masalahnya. Himbauan agar Hamas untuk menghentikan serangan ke Israel memang bagus, tetapi apakah penghimbau itu melihat sisi akar persoalannya? Atau sudah sedemikian tidak mau membuka mata melihat akarnya?

Jika begitu, maka hamas akan berada di pihak yang akan disalahkan karena menyerang Israel? Namun bagaimana dengan tanah Palestina yang kian tahun kian menyempit dan warga Palestina semakin sedikit karena terbunuh? Tentu tak mudah melihat sisi akar persoalan konflik jika kepentingan sepihak berada di atas segalanya.

Dalam hal ini saya jadi ingat saat teman disengat tawon. Mareka yang menyalahkan tawon bisa dianalogikan dengan mereka yang menyalahkan kebrutalan warga Palestina yang menyerang tentara Israel. Dan itu tidak sedikit. Mereka ini tidak berupaya melihat sejarah dan akar konflik tetapi lebih hanya melihat sesuatu yang terjadi saat ini.

Sementara itu, bapak teman saya, melihat bahwa sumber utama kenapa teman saya itu disengat tawon karena tawon itu sengaja diganggu. Karena diganggu sudah wajar tawon-tawon itu “mengamuk” mencari sumber yang merusak sarangnya. Inilah logika sederhana dari permainan kami waktu kecil yang penting untuk direnungkan.

Saat ini di sekitar kita tak sedikit yang mirip analogi menyalahkan tawon saat menyengat. Mereka lupa, sengaja melupakan diri, atau dibuat lupa pada akar persoalan utamanya.