
Terakota.id–Setelah menghatamkan novel ini, saya mengutuki keawaman saya akan semesta sastra. Keawaman yang membuat saya terlambat menggumuli novel setipis roti tawar dengan selai kacang di tengahnya ini. Padahal, Saya telah mengetahui novel setebal 133 halaman ini cukup lama. Setidaknya, Saya selalu melihat buku ini setiap kali seorang kawan dari Griya Buku Pelangi, unit usaha dari komunitas Pelangi Sastra Malang, melapak.
Bahkan, Saya pernah menimang-nimangnya dalam kondisi tersegel plastik. Membaca sekilas judulnya dan meletakkannya kembali.”Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta,” dari judul ini saya membayangkan sebuah jalinan cerita picisan. Saya membayangkan lelaki tua yang tengah menunggu ajal, sedang membaca kisah cinta di teras rumah dengan secangkir kopi dan sepiring biskuit tersaji di atas meja. Lalu, dari cerita itu Ia mengutuki takdir cintanya. Ternyata, isi novel ini berbeda jauh dari bayangan saya.
Novel ini diterjemahkan oleh Ronny Agustinus dari terbitan pertama dalam bahasa Spanyol berjudul “Un viejo que leia de amor.” Pengarangnya Luis Sepúlveda, seorang penulis sekaligus aktivis di Cile. Ia pernah dipenjara oleh rezim militer Pinochet yang mengkudeta dan membunuh Salvador Allende. Dinggap bagian dari Allende, Sepúlveda dijatuhi hukuman seumur hidup, berkurang jadi 28 tahun, dan diubah hukuman pengasingan 8 tahun. Di tengah perjalanan ke tempat pengasingan, Sepúlveda berhasil kabur dan menjadi penulis yang berkelana.

Sialnya, Saya tak mengenal sosok ini sebelumnya. Itulah kenapa Saya selalu menaruh hormat dan berterima kasih kepada penerbit yang gigih menghadirkan bacaan sastra bermutu dari penulis-penulis jempolan kepada khalayak pembaca. Tak peduli seterjal apapun jalan penjualan buku-buku sastra yang kalah jauh tingkat penjualannya dibandingkan buku-buku semacam: Tips Berpoligami, Yuk Berhijrah Lahir Batin, Teknik Budidaya Tomat, dan Berhasil Kaya dalam 24 Jam. Dengan banyaknya buku bagus, kita akan terbebas dari zona nyaman keawaman.
Hutan Amazon dalam Ancaman
Pak Tua itu bernama Antonio José Bolívar Proaño. Selanjutnya cukup dipanggil Pak Tua. Dialah tokoh sentral dalam novel ini. Ia hadir dalam setiap adegan. Darinya, Kita seperti digandeng berkelana ke dalam hutan Amazon lengkap dengan kegetiran cinta, kegandrungan akan bacaan, kearifan orang-orang Indian Shuar, perampasan ruang hidup, dan kepongahan manusia “beradab” terhadap alam.
Cerita yang bagus akan selalu mampu menyandra pembaca sejak paragraf pertama. Pembaca akan hanyut mengikuti lajur-lajur cerita sampai titik yang terakhir. Dan tanpa mampu mengelak, cerita itu akan bersemayam dan berdengung dalam kepala. Tanpa melebih-lebihkan, itulah yang Saya rasakan setelah merampungkan novel ini. Tak mengherankan, mengingat novel ini telah diterjemahkan ke lebih dari 30 bahasa dan difilmkan ke layar lebar pada 2001 dengan judul “The Old Man Who Read Love Stories.”
Pak Tua menikah di usia yang cukup muda dengan perempuan bernama Dolores Encarnación del Santísimo Sacramento Estupiñán Otávalo. Mula-mula semua berjalan semestinya. Kaduanya hidup sebagai sepasang suami istri yang memenuhi kebutuhan pokok dengan menggarap tanah keluarga dan orang lain. Hingga kemudian, desas-desus keji itu muncul. Istrinya yang tak kunjung hamil menjadi bahan pergunjingan. Perempuan yang tak bisa hamil dianggap perempuan yang tak berguna. Tuduhan semacam itu bisa jadi lestari hingga hari ini di sekitar kita.
Kesinisan masyarakatnya membuat Pak Tua tertarik dengan adanya rencana kolonisasi sebagian Amazon. Ada mimpi dan harapan di sana. Ia bersama istrinya pergi meninggalkan desa dan menuju tempat yang dijanjikan. Di sana ia diberi dua hektare lahan hutan, sepasang parang, beberapa sekop, sekian kantong bibit yang hampir rusak, serta janji bantuan teknis yang tak pernah ditepati.
Pemukiman baru pun berdiri dan segera saja ganasnya hutan menelan mereka dalam kesengsaraan dan bencana yang bertubi-tubi. Mereka bukan orang yang terbiasa memenuhi kebutuhan hidup dari hutan. Lantas banyak yang berguguran: akibat makan buah beracun, ditelan hidup-hidup oleh ular boa, dan terserang malaria. Termasuk istri Pak Tua. Melewati tahun kedua, perempuan terkasihnya tumbang disergap malaria.
Pak Tua tidak lagi mempunyai siapa-siapa. Hanya orang Indian Shuar lah yang iba pada mereka. Orang-orang asli itu dipandang rendah, tolol, dan bar-bar oleh Wali Kota sebagai repersentasi Negara desa itu. Tapi justru suku asli itu yang mengajari para pemukim baru untuk hidup harmoni bersama hutan. Mengajari mana buah yang bisa dimakan dan mana yang tidak. Mengajarkan bagaimana etika berburu dan membangun pondok yang kokoh.
Sepeninggal istrinya, Pak Tua memilih meninggalkan pemukiman, masuk ke dalam hutan dan bergabung bersama orang-orang Shuar. Ia belajar bahasa mereka dan meniru cara mereka hidup. Lulus dari semacam ujian yang melibatkan patukan seekor ular equis, Pak Tua diterima untuk tinggal bersama orang Shuar. Dari sana, kejadian-kejadian mengagumkan disodorkan begitu saja dengan cerita yang enteng dan mudah dicerna.
Hidup di hutan bersama orang Shuar telah menempa Pak Tua sebagai orang rimba. Ia telah mengenal hutan sebaik orang Shuar. Ia telah memahami dengan baik tabiat hewan-hewan Amazon: piranha, lele raksasa, udang, ular boa, ular beludak, babi, rusa, monyet, dan sebagainya. Ia juga belajar etika berburu dari orang-orang Shuar sehingga tidak merusak ekosistem hutan.

Dari Pak Tua kita juga mengerti bahwa harmoni Amazonia sedang dalam ancaman. Saya kira, di poin inilah yang hendak dikabarkan oleh Sepúlveda. Bahwa: “lidah-lidah perkasa sedang terjulur dari arah barat, mencari merabai sekujur hutan. (hal.39)” Lidah-lidah perkasa ini bisa kita maknai kerakusan orang-orang yang berkuasa untuk menjarah apa saja yang dapat dijarah dari kekayaan Amazonia.
Melalui Pak Tua, Sepúlveda memberi gambaran bahwa mesin-mesin raksasa membobol jalan. Orang-orang Shuar pun kian gesit. Mereka mengubah kebiasaan agar alam segera memulihkan diri dengan tidak lagi tinggal selama tiga tahun di satu tempat. Berkebalikan dengan adab orang Shuar, pemukiman justru kian banyak didirikan atas janji-janji masa depan di bidang ternak dan perkayuan.
Para pendulang emas berdatangan tanpa kenal moral dan dibutakan keinginan untuk cepat kaya. Belum lagi keliaran para pemburu yang hanya memandang binatang-binatang hutan sebagi sumber kekayaan. Orang-orang itu datang memanggul senapan seperti halnya pasukan perang. Mereka tebangi pohon secara acak, tanpa peduli tempat hidup bagi hewan-hewan hutan.
Selama ini, Kita mungkin memandang rendah orang-orang yang tinggal di dalam hutan sebagai masyarakat yang tidak beradab. Masyarakat yang terbelakang dan bodoh. Tapi benarkah kita beradab?
Sepúlveda menuliskan: “Antonio Jose Bolivar berusaha membuat hewan-hewan itu bertahan sementara para pemukim menghancurkan hutan dan membangun mahakarya manusia beradab: padang kerontang.” Kalimat ini bisa jadi bahan permenungan untuk menyelami diri kita, peradaban kita, kebijakan negara kita dan apa yang telah diperbuatnya terhadap alam dan umat manusia.
Macan Kumbang yang Terbakar Amarah
Bagian lain yang menarik dari Pak Tua ialah kegandrungannya akan buku. Karena satu peristiwa yang tragis, Pak Tua terpaksa berpisah dengan orang Shuar dan keluar dari hutan. Pak Tua mendirikan pondok di Eldilio, pemukiman yang dapat ia gapai setelah lima hari mengarung. Di tempat ini, ia menemukan dirinya yang ternyata bisa membaca. Dan dalam satu obrolan dengan seorang pastor yang dicampakkan umatnya di Eldilio, Pak Tua jatuh cinta pada cerita tentang cinta. Sejak itu, Pak Tua menjadi sosok yang haus akan bacaan yang berkisah tentang cinta.
Sayangnya, keintimannya dengan buku di dalam keremangan gubuknya, terusik oleh teror macan kumbang betina yang kalap. Betina itu terbakar amarah sepulang dari mencari makan dan menemukan anak-anaknya yang masih kecil telah mati. Bule pemburu mengulitinya dan berniat menukar kulit macan kumbang dengan uang.
Betina itu juga semakin marah setelah mendapati pejantannya luka parah dalam kondisi “mati segan hidup tak mau.” Meski telah berhasil membunuh bule pemburu dengan luka yang menggiriskan, betina itu seoalah belum puas. Ia menyerang pemukiman di sekitar hutan.
Adegan kemarahan macan kumbang ini mengingatkan saya akan perjuangan rakyat Papua. Tidak. Saya tidak sedang menyamakan rakyat Papua dengan seekor macan. Hanya saja saya menginsyafi bahwa rakyat Papua yang kini sedemikian marah dan ingin merdeka adalah sesuatu yang manusiawi. Mereka adalah manusia yang berfikir juga berbudaya.

Sehingga, wajar mereka marah terhadap perampasan ruang hidup, pembunuhan dan penghinaan yang dalam kurun lama telah mereka terima. Gunung yang mereka muliakan, tempat roh nenek moyang bersemayam, telah luluh lantak ditambang. Hutan mereka telah dirusak. Hewan-hewan khas mereka diburu dan diperdagangkan.
Kalau macan kumbang saja marah ketika keluarganya dibantai, habitatnya dirusak, apalagi manusia. Dan rakyat Papua ialah manusia. Mereka akan menyalurkan amarah mereka dengan cara-cara yang menurut mereka benar dan mendukung cita-cita mereka.
Anda boleh tidak setuju. Tapi, cobalah adil membaca sejarah rakyat Papua. Saat proklamasi kemerdekaan Indonesia 1945 dikumandangkan, Papua masih menjadi jajahan Belanda. Dan ketika mereka belum memutuskan bergabung ke dalam bagian Indonesia, pada 1967 gunung mereka telah dijual kepada Freeport oleh Soeharto. Sama halnya kawin paksa, bergabungnya Papua juga atas todongan senjata pada saat Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), 1969.
Setiap cerita akan meninggalkan kesan yang berbeda pada diri pembaca. Termasuk kepada apa atau siapa pembaca akan mengasosiasikan isi cerita. Bagi Saya, novel ini kental akan kritik atas keserakahan yang hendak merusak harmoni Amazonia. Mungkin, karena inilah penulis, Sepúlveda, secara khusus meratapi kepergian Chico Mendes, pejuang lingkungan Amazonia yang mati dibunuh.
“Novel ini takkan sampai ke tanganmu, Chico Mendes, sobat terkasih yang irit ucapan dan banyak tindakan,” tulis Sepúlveda.
Saya kira, tidak mungkin seluruh isi novel dapat diteguk dari tulisan ringkas ini. Masih banyak adegan dan dialog yang menarik dan mustahil pesannya akan sampai tanpa membaca sendiri novel tipis ini. Selamat membaca.

Asisten Redaktur. Pegiat literasi dan coffee addict
[…] Pak Tua yang Menjaga Harmoni dengan Alam […]