
Terakota.id–Momen terakhir saya dengan Pak Syuef terjadi akhir tahun lalu. Saat itu, di gazebo Kalimetro, MCW sedang kedatangan Pak Syuef dan Pak Arifin. Dua begawan yang legend dalam advokasi pendidikan di Malang.
Kebetulan, saya yang sedang mengalami mental illness — sebuah gangguan yang baru saya sadari beberapa bulan kemudian — pura-pura utak atik laptop di pojokan agar kelihatan sibuk.
Mungkin karena melihat saya sendiri cukup lama, di jeda percakapan, Pak Syuef lalu menghampiri saya. Ia menyapa ramah. Bersalaman. Duduk bersila. Dan sejurus kemudian. Sebungkus rokok yang isinya tinggal dua batang ia sodorkan. Sebuah tanda bahwa ia ingin mengajak bicara.
Kami pun menghisapnya berdua. Seperti biasa. Ia membuka percakapan. Dengan suara khasnya yang menggumpal. Juga nada bicara yang selalu lugas. Satu dua poin ia utarakan gamblang. Umumnya berisi motivasi dan keluh kesah soal pergerakan.
Hingga. Sampailah ia pada sebuah pertanyaan personal.
“Mas In’am. Kenapa orang-orang bisa mensetting hidupnya begini: setelah berjuang dan sukses, lalu menikmati hidup bersama keluarga. Baik mereka yang jadi aktivis maupun yang bukan aktivis. Sementara, saya tidak. Saya tak pernah tenang jika hidup terus di rumah. Kalau tidak tidak melakukan advokasi, saya sakit. Saya merasa sulit berhenti dari semua ini? Kenapa saya tidak bisa seperti orang-orang tua pada umumnya?! Menurut Mas In’am, ini kenapa?”
Menyimaknya, terus terang saya mengernyitkan dahi. Di kampus, saya bisa merampungkan ujian skripsi dalam waktu 15 menit. Tesis dalam waktu 20 menit. Kala menjadi narasumber berbagai diskusi, seminar, atau pelatihan, saya kerap memberi jawaban memuaskan secara spontan, yang kadang saya sendiri tak habis fikir begitu lekas menjawabnya.
Tapi untuk pertanyaan Pak Syuef ini. Saya perlu merenung berhari-hari, berbulan malah. Saya coba menyodorkan jawaban receh pada awalnya. “Sudah terbiasa kali, Pak. Kalau sudah terpola, memang biasanya sulit diubah”. Tentu ini tak memuaskan Pak Syuef. Sama sekali.

Mengira saya kurang ‘ngeh’ dengan inti pertanyaan, ia pun menjabarkan latar belakang pertanyaan dan mengulang inti pertanyaan. Mungkin lantaran saya juga sedang tidak mood untuk membicarakan aktivisme, saat itu otak saya benar-benar buntu. Tapi, Pak Syuef memerlukan jawaban. Ia mendesak.
Saya pun sampai tak tahan dan keceplosan bilang: “Waduh”.
Sadar saya kesulitan menjawab. Pak Syuef bercerita tentang anak cucu yang sudah sering mendorongnya untuk berhenti dari aktivisme. Pernah suatu ketika kunci motor Pak Syuef disembunyikan agar tidak beraktivitas di luar rumah. Tapi Pak Syuef tidak marah. Sebab ia tahu, anak-anaknya melakukan itu karena sayang.
“Saya ini, Mas. Pendapatan sudah tidak punya. Tapi, kalau ada kegiatan FMPP (Forum Masyarakat Peduli Pendidikan) atau kasus yang harus diselesaikan, selalu berangkat. Ada atau tidak ada uang.”
Lalu dari mana Pak Syuef membiayai aktivitas?
“Anak-anak dan cucu-cucu saya baik. Kadang mereka memberi sejumlah uang. Saya sih selalu menolak.”
Lha, trus ga dapat uang dong pak?
“Nah, karena itulah mereka sering menyisipkan uang ke saku baju atau celana. Tanpa sepengetahuan saya. Kalau sudah begitu, tidak apa-apa saya pakai. Seolah-olah saya tidak tahu. Hahaha”
*
Tan Malaka pernah bilang bahwa “idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh pemuda.”
Kata Soe Hok Gie, “nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua.”
Dua quote dari dua pejuang ini sama sekali tak berlaku buat Pak Syuef. Sampai usia lanjutnya, ia tetap militan dan idealis.
Siapa yang sanggup bernafas stabil kala melihat kakek tua berusia 79 tahun yang sudah harus memakai kursi roda masih tetap turun ke lapangan mengadvokasi kasus. Ini terjadi sebulan. Saat kondisi fisiknya sudah tidak baik-baik saja.
“Lebih baik sedikit pengetahuan tapi dimanfaatkan untuk kepentingan bersama dari pada banyak ilmu tapi digunakan untuk diri sendiri”. Selama berdekade-dekade. Begitulah Pak Syuef memegang prinsip yang masih terngiang di kepala saya.
Sebagai aktivis FMPP, ia rajin menolong anak-anak yang tidak bisa sekolah atau ijazahnya ditahan pihak sekolah lantaran kesulitan biaya. Ia adalah sosok yang kukuh dalam memperjuangkan hak pendidikan sebagaimana tertuang dalam UUD NRI 1945 Pasal 31.
Pejuang pendidikan ini memang hanya lulusan sekolah rakyat (SR). Lebih dari separuh hidupnya ia habiskan menjadi buruh (supir truk). Tapi, ia hafal pasal-pasal penting dalam UUD maupun UU yg berkaitan dengan aktivitasnya. Ia juga tak segan merampungkan buku-buku yang direkomendasikan.
Karena itu tidak heran jika nalarnya logis. Argumentasinya kuat. Tak jarang pejabat dinas dibuat kelabakan ketika didebat.
Sejak pertama kali melihat dan mendengarnya bicara dalam sebuah forum, saya salut dan terperangah. Benak saya seketika bilang bahwa mereka yang mendaku mahasiswa apalagi aktivis harus tahu orang ini.

Jika boleh jujur, pengantar yang saya tulis dalam pengantar buku Konsep Memperdalam Demokrasi sebetulnya tidak jauh-jauh dari, atau bahkan, kisah heroik tentang Pak Syuef. Juga kawan-kawannya.
Pak Syuef adalah sosok yang selalu ingin belajar. Di tahun-tahun akhir hidupnya, ia yang seumur-umur belum pernah menyentuh mesin ketik dan laptop mulai belajar menulis. Ia gunakan handphone miliknya. Tulisannya dapat anda baca di mcw-malang.org.
Pak Syuef adalah berlian. Yang tidak perlu susah-susah kita terjun dalam lautan yang dalam sebagaimana kata Puan. Ia ada di sekitar kita. Pada setiap semangat melawan eksploitasi dan penindasan, juga perjuangan melakukan pembebasan.
Kini, pejuang itu telah pergi. Sosok yang, saya yakin, jika seandainya sempat mengenyam pendidikan SMP hingga perguruan tinggi serta mendapat sedikit sentuhan teori marxist, mungkin akan jadi seperti Fidel Castro. Iya. Ia punya segumpal modal untuk itu: keteguhan prinsip, keberanian, keuletan, kestabilan fisik, dan kecerdasan.
Selamat jalan, Pak Syuef. Ini hanya soal waktu, kami semua akan menyusulmu. Love you.*

Peneliti Intrans Institute dan bergiat di Front Nahdiyyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA).
Tulisan segar dan sosok yang dikisahkan pun segar.
Amin menyartai jenengan, Mbah Syuef.