
Terakota.id–Ada seorang teman yang menggebu-gebu ketika berbicara tentang pentingnya kita selalu bersikap positif. Di telinga saya, dia selalu menyampaikan, kita tidak boleh kalah, tidak boleh menyerah, atau kita pasti menang, pasti akan ada jalan, hasil tidak akan mengkhianati usaha, kita adalah positif, dan semacamnya. Lama-lama saya muak juga mendengarkan ajakannya untuk terus dan senantiasa bersikap positif.
Usut punya usut, ternyata teman saya itu sedang gandrung menonton video-video motivasional di YouTube. Beberapa kali ketika saya ‘harus’ mendatanginya di ruangannya, saya dapati dia sedang memelototi video-video semacam itu, entah dari motivator A atau pembicara B atau selebritis C. Dari video-video itulah, berbagai pesan lantas secara mentah-mentah ditumpahkannya ke telinga kami, para sejawatnya.
Salah satu pesan yang suka sekali diulanginya adalah tentang kesuksesan tokoh-tokoh tertentu dan bagaimana kisah jatuh-bangun mereka, entah membangun karier atau membesarkan bisnis atau apalah. “Bro, jangan kecil hati. Kita pasti bisa seperti Pak X atau Mbak Y yang sekarang sudah menjadi manajer atau kepala bagian atau direktur,” katanya menyemangati kami, tanpa diminta, pada suatu hari di ruang pantri. Teman saya itu bisa mengingat kisah-kisah mereka itu untuk menginspirasi dan membangkitkan semangat kami bila kami merasa loyo.
Cerita memang sesuatu yang sangat penting bagi kehidupan manusia, juga cerita dari dan tentang orang lain yang lebih sukses, lebih kaya, lebih cerdas, lebih beruntung, lebih positif, dan lain-lain daripada kita. Dari cerita, kita membangun imajinasi dan harapan akan kesuksesan, kekayaan, kecerdasan, keberuntungan, dan positivitas kita sendiri. Sayangnya, kondisi objektif dan subjektif antara orang dalam cerita dan kita dalam realitas kita tidak senantiasa (lebih sering) tidak sejalan. Mereka memiliki latar belakang dan privilese yang tidak kita miliki.
Privilese dan Tanggung Jawab Ekstrem
Setiap orang hadir di dunia ini dalam atau di bawah suatu kondisi tertentu yang sifatnya terberi. Ini dinamakan sebagai kondisi bawaan atau kondisi ketika dilahirkan. Ada anak yang lahir dalam keluarga yang sudah kaya-raya dan paham bagaimana mempertahankan kekayaan serta menambahkan sumber-sumber kekayaan baru.
Ada yang lahir dalam keluarga yang menjunjung tinggi intelektualitas sehingga di rumahnya tersedia perpustakaan keluarga yang sangat memadai. Ada yang terlahir dalam keluarga yang supersaleh dan amat religius, yang membawa-bawa nama Tuhan dalam segala hal dan keadaan. Ada juga yang terlahir dalam keluarga berkebalikan dengan yang sudah disebut di atas.
Bagaimana nasib dan peruntungan setiap orang berbeda-beda, tentu saja sudah jelas. Namun, nasib bukanlah sesuatu yang ujug-ujug datang atau menghampiri seseorang. Menurut beberapa kalangan, nasib baik perlu diperjuangkan (tetapi perjuangan saja tidaklah cukup).
Orang yang secara ekstrem berpandangan bahwa nasib seseorang harus diperjuangkan dan diperbaiki oleh diri mereka sendiri adalah mereka yang menganut paham rugged individualism. Orang-orang yang berpandangan semacam ini berpendapat bahwa setiap orang harus bertanggung jawab secara penuh dan ekstrem untuk kesejahteraan masing-masing. Mereka harus berdikari dalam segala hal, tidak bergantung pada apa pun atau siapa pun demi meraih kesuksesan atau apa pun tujuan mereka.
Secara historis dan sosial, penganut paham rugged individualism mula-mula adalah para pendatang atau warga koloni di Dunia Baru (Amerika). Mereka ini datang dari Eropa karena dua alasan. Yang pertama adalah karena mereka merasa teraniaya dan termarjinalkan di tanah nenek-moyang mereka, baik secara religius maupun secara ekonomi (dan politik). Alasan yang kedua adalah karena mereka merindukan kebebasan dan tidak ingin merasa tertekan atau terkekang.
Maka, mereka sangat ingin membuktikan diri bahwa mereka bisa sukses, bisa kaya, sekaligus bisa tetap bebas. Satu-satunya cara untuk itu adalah mempraktikkan paham rugged individualism tersebut. Orang harus menjadi seorang yang self-made. Mereka harus bekerja keras, memeras keringat sendiri, berpikir secara mandiri, mengumpulkan kekayaan, berhemat, dan meraih kesuksesan, kemandirian, dan kebebasan oleh usaha sendiri.
Namun demikian, seperti disiratkan di atas, nasib baik tidak sepenuhnya atau seutuhnya bergantung pada usaha dan perjuangan individual. Ada lebih banyak aspek bermain di sini. Meskipun kita telah berupaya keras, memeras keringat sampai tetes terakhir, berharap dan berdoa yang terbaik, belum tentu apa yang ingin kita capai dapat tergapai pada akhirnya.
Setidak-tidaknya, menurut hemat saya, ada satu aspek lagi yang sangat berpengaruh dalam ‘menentukan nasib’ seseorang. Itu adalah kapital, menurut Pierre Bourdieu. Kapital merujuk pada akumulasi sumber daya yang dimiliki seseorang sebagai pijakan awal. Dalam pandangan Bourdieu, terdapat empat macam atau kategori kapital, yaitu kapital ekonomi, kapital budaya, kapital sosial, dan kapital simbolis.
Apabila lontaran atau trajektori nasib seseorang dapat diibaratkan sebagai sebuah perjalanan dengan tujuan tertentu, kapital dapat diumpamakan sebagai kendaraan, bahan bakar, persediaan onderdil dan mungkin juga camilan untuk menemani perjalanan. Seseorang yang dari awal sudah memiliki persiapan lebih baik untuk melakukan perjalanan, karena kendaraannya waras, bahan bakarnya pilihan, persiapan onderdil dan kedaruratannya mumpuni, dan camilannya mencukupi, dapat dipastikan akan lebih nyaman, lebih aman, dan mungkin juga lebih cepat sampai di tujuan.
Sebaliknya, seseorang yang akan melakukan perjalanan dan sudah memiliki tujuan pasti, tetapi kendaraan, bahan bakar, persediaan onderdil, dan logistiknya kurang memadai dapat dan perlu segera mendeteksi kelemahan yang ada padanya dan membuat berbagai penyesuaian di sana-sini sepanjang perjalanan. Bisa jadi, karena kendaraannya sudah uzur, dia perlu lebih sering berhenti untuk menambah cairan radiator; atau karena dia cepat merasa ingin ke belakang, dia perlu lebih sering mampir ke rest area, dan seterusnya. Intinya, tujuan tercapai, tetapi dengan cara yang lebih lambat dan lebih membutuhkan perjuangan.
Kepemilikan kapital itulah yang membedakan antara mereka yang mempunyai, katakanlah privilese, dan orang yang tidak memilikinya. Seorang memiliki privilese karena kapital awalnya memadai dan bisa mengangkat atau mengakselerasinya mencapai tujuan yang ingin digapainya. Sebaliknya, orang lain tidak mempunyai privilese karena kapital awalnya sebenarnya kurang bisa mendukungnya untuk secara optimal mencapai tujuannya.
Seorang guru besar yang adalah anak guru besar, dengan demikian, menikmati privilese bila dibandingkan dengan seorang guru besar yang berasal dari keluarga petani. Sejak kecil, guru besar yang disebut pertama itu sudah tumbuh dengan melihat orang tuanya yang adalah cendekiawan dan intelektual bergelar guru besar. Di rumahnya, ada banyak buku dan sarana pembelajaran.
Dia juga diberi fasilitas berupa pendidikan yang terbaik, tutor terbaik, dan seterusnya. Sebaliknya, guru besar yang kedua, yang berasal dari keluarga petani, perlu melakukan lompatan dan pengorbanan yang lebih jauh dan bold. Dia perlu menyisihkan uang jajannya untuk membeli buku, dia perlu bangun lebih pagi setiap hari agar dapat membantu ibunya menyiapkan jajanan pasar yang akan dijualnya sepanjang jalan ke sekolah, dia perlu membaca buku-bukunya dan mengerjakan PR-nya sambal menggembala kerbau tetangga, dan seterusnya.
Semuanya ini tidak lantas berarti bahwa tanpa privilese, orang tidak akan berhasil menggubah trajektori nasibnya. Tentu saja, ada orang-orang yang dengan kerja keras, dedikasi, bantuan pihak lain, dapat mengubah nasibnya dan dengan kapital atau privilese sekadarnya mencelat menjadi seorang yang sukses, terkenal, bebas, kaya-raya, dan seterusnya. Bukankah ini dongeng yang seringkali kita dengar dari para motivator dan pembicara di berbagai fora itu?
Namun, pencapaian tersebut lebih sering merupakan perkecualian alih-alih norma. Orang yang tanpa privilese lantas berhasil mencapai tujuannya jumlahnya tidak sebanyak orang yang dari awal sudah dibentengi dengan privilese dan ditunjang oleh kapital yang cukup. Kita akui saja memang begitulah adanya dunia kita ini.

Dosen prodi Sastra Inggris Universitas Ma Chung, penerjemah buku, dan pembaca yang giat.