
Allaahumma innii’auudzu bika minal baroshi wal junuuni wal judzaami wa sayyi il asqoom
Artinya :
“Ya Allah, Aku berlindung kepada-Mu dari penyakit sopak (belang/penyakit kulit) gila,
lepra dan keburukan segala macam penyakit”
Antara Konsepsi Mistis dan Pandemi
Terakota.id—Pada memori kolektif masyarakat Jawa, terpetik “gambaran hiperbolik’ mengerikan lantaran penyakit pada suatu ketika, yang dikalimati dengan “esok lara sore mati, sore lara esok mati (pagi sakit sore mati, sore sakit pagi mati)”. Terasa “ngeri”, sebab kemampuan seorang untuk dapat bertahan hidup cuma setengah hari, sehingga kematian terjadi bertumbangan. Bahkan, suatu keluarga bisa “cures (meninggal seluruhnya)” disebabkan wabah tersebut.
Musibah yang terjadi karena wabah penyakit bisa diistilahi dengan “mala petaka”. Bila menilik arti harafiahnya, dimana kata Jawa Kuna dan Jawa Tengahan “mala” berarti : kotor, cabul, najis (fisik dan moral), noda, cedera, cacat, dosa (Zoetmulder, 1995: 638) dan bisa juga berarti: penyakit, terlihat bahwa pada mulanya mala petaka bertalian dengan bencana penyakit, yang kemudian diperluas artinya ke bermacan bencana.
Isilah Jawa lainnya yang konon dipakai untuk menyebut wabah penyakit adalah “pagebluk”, dengan varian sebutan “bagebluk” atau biasa juga dinamai “begebluk”. Kata dasar (lingga)- nya adalah “gebluk”. Baik pada bahasa Jawa ataupun Sunda, kata “gebluk” atau “bluk” berarti: jatuh, tersungkur, tumbang.
Pagebluk dengan demikian gambarkan suatu kondisi nahas dimana korban jiwa berjatuhan, bertumbangan, ataupun jatuh tersungkur. Terjadi secara serentak bahkan berskala luas, sehingga menyerupai “ledakan (arti lain dari “gebluk”)”, yang karena dasyat maka menewaskan banyak orang. Terkadang, kata “pagebluk” ikuti oleh kata “lampor” menjadi kata gabung “pagebluk lampor”.
Kata ini memberi penegasan terhadap kedahsyatan dari dampak wabah penyakit ini. Secara harafiah kata “lampor” — berasal dari kata Jawa Kuna “lampur”, artinya : mengembara bepergian (Zoetmulder, 1995:566). Sebutan ini terkait dengan hantu Jawa pembawa maut berwujud bola arwah atau kadang muncul sebagai rombongan prajurit ganas yang bisa membunuh manusia ketika dalam tidur.
Kedatangan lampor timbulkan suara gaduh, yang berasal dari suara iringan kereta kuda dan barisan pasukan dari Laut Selatan yang akan menuju ke Gunung Merapi atau Keraton Yogyakarta. Warga manyarakat Jawa mempercayai lampor sebagai pasukan Nyi Roro Kidul. Pada masyarakat di Jawa Timur, lampor muncul bersamaan dengan pageblug dan seringkali terjadi pada bulan Sapar di malam hari. Korban dicekik atau dibawa menggunakan keranda. Jika hal itu terjadi, mereka bakalan mati seketika.
Namun, lampor dipercayai sebagai tidak bisa duduk dan berjongkok, sehingga korban yang lazim didatanginya adalah yang tidur di atas kasur (dipan). Konon masyarakat menghindari lampor dengan cara tidur di bawah dipan atau pada lantai, supaya lampor tak bisa bertindak untuk mencekik dan membunuhnya. Isu setan lampor marak pada tahun 1960-an, lambat laun menghilang.
Desas-desus seputar lampor itu muncul manakala banyak terjadi wabah penyakit pada masa lampau yang menyebabkan seseorang mati dalam tidurnya. Wabah penyakit dalam konsepsi lama direlasikan dengan peristiwa mistis, seperti pada hantu lampor.
Ada pula yang menghubungkan pagebluk dengan kemunculan “bintang berekor”, yakni sebutan untuk komet”. Arti etimologi kata “cometa atau cometes”, adalah : berambut panjang, yang merujuk kepada “ekor”, yakni cahaya terang dan memanjang yang terlihat dari bumi ketika komet melintas.
Sebutan lain terhadapnya adalah “lintang kemukus”. Kata dasar dari “kemukus” adalah “kukus”, artinya : asap, semprotan, awan (mengenai debu, serbuk, dll).). Kata jadian “kumukus” artinya adalah : berasap, seperti asap (Zoetmulder, 1995: 529). Sebenarnya, yang disebut “kemukus” adalah inti komet (nukleus) yang terdiri dari bahan-bahan beku seperti batu keras, debu, es (es air, H2O), gas-gas beku seperti karbon dioksida (CO2), karbon monoksida (CO) dan metan (CH4) maupun mmonia (NH3), yang mencair dan menguap, lantas membentuk semacam lapisan “awan” pada sekeliling nukleus komet — disebut “coma”, artinya : ‘rambut’.
Lantaran didorong oleh tekanan radiasi matahari dan angin matahari, maka bahan-bahan volatil ini terdorong keluar menjauhi matahari, membentuk semacam “ekor”. Pencairan itu terjadi manakala komet mendekati matahari (perihelion), sehingga temperatur permukaan komet meningkat seiring dengan meningkatnya energi panas matahari yang diterimanya. Komet memiliki dua ekor, yaitu ekor debu dan ekor gas.
Pada tradisi Jawa kemunculan komet pada arah tertentu memiliki tahan makna, yang antara lain berkenaan dengan pagebluk. Memang umumnya penampakkan komet dimaknai sebagai membawa “hal yang kurang baik”, kecuali apabila muncul di arah barat. Buku “Sejarah Kutha Sala: Kraton Sala, Bengawan Sala, Gunung Lawu” yang ditulis oleh R.M. Ng. Tiknopranoto dan R. Mardisuwignya, bahas makna kemunculan komet sbb. Bila muncul diarah timur,. pertanda : ada raja sedang berbela sungkawa, pengikutnya bingung, desa banyak mengalami kerusakan dan kesusahan, harga beras dan padi murah harganya tetapi emas mahal harganya.
Bila munculnya di tenggara pertanda : ada raja mangkat, orang desa banyak yang pindah, hujan jarang, buah banyak rusak., ada wabah penyakit (banyak orang sakit dan meninggal), beras-padi mahal, kerbau dan sapi banyak yang dijual. Apabila muncul di arah selatan pertanda : ada raja mangkat, para pembesar susah, banyak hujan, hasil kebun melimpah. beras, padi, kerbau, dan sapi murah, orang desa merana, oleh karenanya mengagungkan kekuasaan Tuhan Yang Maha Suci.
Jika munculnya di barat daya pertanda : ada raja mangkat, orang desa lakukan kebajikan, beras dan padi murah, hasil kebun berlimpah, kerbau dan sapi banyak yang mati. Apabila munculnya di barat pertanda : ada penobatan raja, para pembesar dan orang desa senang, beras dan padi murah, apa yang ditanamnya berbuah subur dan cepat mnghasilkan, hujan deras dan lama, apapun barang yang diual- belikan murah harganya, karena memperoleh berkah Tuhan.
Jika muncul di barat laut, itu pertanda : ada raja berebut kekuasaan, para adipati berselisih juga berebut kekuasaan, warga desa bersedih hati, kerbau dan sapi banyak yang mati, hujan dan petir terjadi di musim yang salah, kekurangan makin meluas dan berjangka waktu lama, beras dan padi mahal, namun emas murah. Adapun apabila muncul di utara pertanda ada raja yang kalut pikiran lantaran kekeruhan di dalam pemerintahan, timbul perselisihan yang srmakin berkembang menjadi peperangan, beras dan padi mahal, namun harga emas murah.
Pada paparan di atas, kemunculan komet di arah tenggara menjadi pertanda ada wabah penyakit. Ada banyak orang yang sakit dan meninggal. Demikianlah, lintang kemukus yang muncul di tenggara diyakini sebagai pertanda terjadinya pagebluk, yakni wabah penyakit yang menyebakan banyak orang meninggal. Selain wabah penyakit pada diri manusia, ada wabah penyakit yang melanda binatang, yang dinamai “aratan”.
Berkaitan dengan penampakan lintang kemukus itu, apabila munculnya di arah barat daya dan di barat laut pertanda kerbau dan sapi banyak yang mati. Wabah penyakit yang menimpa manusia ataupun binatang adalah pertanda tentang adanya “chaos (kacau)” pada mikro-kosmos. Demikian pula, kemunculan lintang kemukus juga pertanda adanya krisis pada makro-kismis. Dalam hal demikian terlihat adanya sinkronisasi antara moro dan makro-kismos.
Ada beragam upaya untuk menyirnakan pagebluk, baik upaya medis ataupun non-medis. Oleh karena pagebluk dikondisikan sebagai “bala — variannya sebutannya “balak”, maka penyirnanya dengan menggunakan media relugio-magis “tolak balak”. Salah satu diantaranya dengan membuat ” tumpeng pras”.
Pada ritual tolak balak ini kemuncak tumpeng dikepras (dipotong), yang secara simbolik adalah memotong penyebab balak tersebut. Jika ikhtiar simbolik ini dibandingkan dengan penanggulangan penyakit menular, misal Covid-19, yang “dikepras (dipotong) ” itu adalah rantai penularannya. Tentu masih ada beragam cara lainnya untuk menangani pagebluk, baik dengan japa-mantra, sesajian dan pengorbanan, atau dengan menggunakan jampi- jampi. Pendekatan kepada Illahi tentu diposisikan sebagai ikhtiar yang penting dalam menghadapi pagebluk.
Pagebluk sebagai Fenomena Pandemi
Kata Jawa Baru “pagebluk” diartikan sebagai: masa dimana ada banyak wabah penyakit yang menular (Mangunsuwito, 2013:383). Istilah ini diserap ke dalam bahasa Indonesia, dengan arti : wabah (penyakit), epidemi (KBBI, 2002: 810). Memang, suatu pagebluk bisa berawal dari peristiwa endemi, yaitu: penyakit yang berjangkit di suatu daerah atau pada suatu golongan masyarakat, namun bisa juga merebak, menjajingkiti khalayak secara serempak dimana-mana meliputi daerah geografi yang luas, sehingga mengalami peningkatan dari “endemi” nenjadi “pandemi” (KBBI, 2002:301; 821).
Atau dari wabah yang berskala “lokal” menjadi “global”, dan karenanya “mendunia”. Covid-19 dan wabah-wabah penyakit lainnya yang melanda dunia dari masa ke masa juga merupakan fenomena yang demikian. Semula adalah “epidemi yang berareal lokal”, dan selanjutnya menjadi “pandemi yang mengglobal”.
Virus Corona pertama kali teridentifikasi pada 31 Desember 2019 di suatu pasar pada daerah Wuhan (Hanzi: 武漢). Kota Wuhan menjadi ibukota provinsi Hubai di Tiongkok. Wuhan merupakan sebuah kota terpadat penduduknya di bagian pusat Tiongkok, yang berpenduduk 9.100.000 jiwa (data tahun 2006). Kota Wuhan mempunyai jalur metri yang hubungkan Wuhan beberapa tempat pada wilayah kota kota Hankou. Oleh karena itu, ketika masih di tingkat “endemik” di Kota Wuhan, sebutan buat virus Corona ini adalah “Wuhan Corona Virus, Wuhan Flu, atau Pneumonia Wuhan”.
Barulah setelah merebak dengan cepat keluar daerah Wuhan, malahan ke berbagai negara, maka hanya sekitar satu setengah bulan berikutnya, tepatnya pada tanggal 11 Februari 2020, World Health Organization (WHO) mengubah sebutan menjadi “Corona- virus Disease (Covid)-19” sebagai pemberi tengara bahwasanya bukan lagi “endemi” namun telah mengarah kepada “pandemi”. Adapun penetapan Covid-19 sebagai “pandrmi” baru diambil WHO) sebulan berikutnya (11 Maret 2020) setelah persebaran virus ini mencapai 114 negara. Dengan ditetapkannua Covid-19 sebagai “pandemi”, maka wabah penyakit ini menjadi “isu global”.
Wabah penyakit yang disebabkan oleh Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 , atau dapat disingkat dengan “SARS-CoV-2”, yakni jenis baru dari coronavirus yang menular ke manusia ini bisa menyerang siapapun, infeksinya bisa menyebabkan gangguan pada sistem pernapasan, pneumonia akut, hingga kematian. Lantaran menimpa sejumlah besar orang, jatuh banyak korban jiwa dan tersebar luas, maka sejalan dengan apa yang pada istilah lokal disebut “pagebluk’, atau tepatnya pagebluk besar dunia (mahapagebluk) atau pagebluk global.
Hingga sejauh ini, di zaman modern ini, belum menguat pendapat yang “membakuti” wabah ini dengan perihal mitis Berbeda dengan pada masa lampau, dimana wabah penyakit yang dinamai “pagebluk” itu dihubungkan atau dibaluti dengan hal mitis sebagai penyebab wabah. Kalaupun pernah ada yang menghubungkan virus yang asalnya dari kelelawar itu dengan suatu kabar (6 Januari 2020) mengenai “lima juta pasukan gaib yang dikirim persatuan dukun Indonesia untuk amankan Pulau Natuna dari klaim China”, perihal itu disikapi kritis oleh publik sebagai sekedar “rumor”, bahkan hoaks”.
Pagebluk yang terjadi karena wabah penyakit selain tepat diistilahi dengan “mala petaka”, dapat pula disebut dengan “mahalaya”, dalam arti : kematian besar. Secara harafiah, istilah Jawa Kuna dan Jawa Tengahan “laya” berarti: pemadaman, pematian, kepunahan, penghancuran, penghancuran, kematian Dapat pula diartikan dengan : bencana, atau mala petaka, kemalangan, atau kekalahan (Zoetmulder, 1995:578).
Istilah itu mempunyai keserupaan arti dengan “pralaya”, yang terjadi pada masa Kaliyuga — yang dalam bahasa Jawa Baru diistilahi dengan ” Kalabebendu.istilah “bendu” berasal dari istilah di dalam bahasa Jawa Tengahan, berarti harafiah : menyengat, atau marah (Zoetmulder, 1995:120). Peristiwa demikian diibaratkan sebagai terkena “sengatan” atau bahkan mendapat “kemurkaan”.
Apabila terkena kejadian demikian, di dalam bahasa Jawa Baru diistilahi dengan “keno laradan”, dimana kata dasar “larad” secara harafiah memiliki arti : menghilang (dalam hubungan dengan “lara”) (Zoetmulder, 1995: 573) , yang dapat berwujud “menghilangkan nyawa”, Adapun kata “lara” Itu berhubungan dengan : perasaan sakit, sakit (rokhani atau jasmani), penderitaan, kesusahan, kemalang- an, duka cita (Zoetmulder, 1995:573).
Istilah Jawa Kuna dan Tengah lainnya untuk “lara” adalah “sakit” — khususnya untuk sakit fisik. Terkait dengan itu, sebutan kuno untuk “penyakit” adalah “panakit” (Zoetmulder, 1995:984-5). Pagebluk pada konteks “pandemi” adalah wabah penyakit , yaitu suatu kondisi yang luar biasa, yang disebabkan oleh “penyakit atau lara”, dan mengakibatkan terjadinya “kalayan, laradan, bahkan malapetaka”.
Sangkaling, 24 Maret 2020
Griya Ajar CITRALEKHA

Sejarawan dan arkeolog. Tinggal di Malang
[…] https://www.terakota.id/pagebluk-isu-global-pandemi-yang-melokal-bagian-1/ […]
[…] Sumber:Luwis, Sefri. 2020. _Epidemi Penyakit PES di Malang: 1911–1916_ . Penerbit Kendi: Yogyakarta.Cahyono, M. Dwi. 26-03-2020. https://www.terakota.id/pagebluk-isu-global-pandemi-yang-melokal-bagian-1/ […]