
Terakota.id— Semua orang punya kenangan tentang orangtua. Termasuk, sastrawan Nobel asal Turki Orhan Pamuk. Dalam buku kumpulan esainya, Others Colors, Essays and a Story (New York: Alfred A. Knopf, 2007), dia menulis “My Father”. Esai Pamuk itu larutan kenangan terhadap sosok ayahnya.
“Aku pulang larut malam,” catatnya, “Mereka memberitahuku bahwa ayahku telah meninggal. Dengan tikaman rasa sakit pertama hadirlah gambar semasa kanak-kanak: kaki kurus ayahku dalam celana pendek.”

Apa yang dirasakan Pamuk itu manusiawi. Manusia dibekali daya ingat dan imajinasi, dan oleh karenanya dia bisa mengenang kejadian-kejadian masa lalu dan berimajinasi ke masa depan. Hidup ialah kenangan. Pada akhirnya.
Antara akal dan khayal, catat Buya HAMKA dalam tulisannya di Kebudayaan “Indonesia” (Th. III, No. 4 April 1952), “Akal dan Khayal”, jelas tak bisa dipisahkan. Ketimbang mempertengkarkannya, HAMKA mengingatkan agar memanfaatkan fungsi masing-masing untuk mempertajam kemanusiaan kita.
Menurut HAMKA, akal adalah laksana sentral listrik dalam pribadi insani, sehingga menimbulkan nyala pada lampu-lampu pancaindera. “Khayal laksana surya. Dia dapat memberikan terang yang gelap, yang seribu pelita pun tidak dapat mengisinya,” catatnya.
Manusia dibekali akal guna berpikir secara rasional. Tetapi, dia juga punya khayal, imajinasi. Jim Davies, Ph.D. Director of the Science Imagination Laboratory di Carleton University mencatat dalam psychologytoday.com, bahwa “Imajinasi merupakan kemampuan unik manusia.” Ia memungkinkan kita mengeksplorasi ide-ide atas hal-hal yang tidak ada di lingkungan kita saat ini, bahkan mungkin tidak nyata. Misalnya, seseorang dapat membayangkan secangkir kopi yang terlihat sehari sebelumnya, atau seseorang dapat membayangkan pesawat luar angkasa alien tiba di orbit bumi. Semua itu kuncinya, apa yang dibayangkan dihasilkan dari dalam, bukan dirasakan berdasarkan input dari luar.
Demikian Jim Davies.
Ketika Pamuk membayangkan “kaki kurus ayahku dalam celana pendek”, maka imajinasinya jalan.
Ketika dia meninggalkan rumah ayahnya sebelum fajar, “jalan-jalan di Nişantaşi kosong dan dingin, dan jendela-jendela toko remang-remang yang saya lewati selama lima puluh tahun tampak jauh dan asing.” Ini juga manusiawi sekali: manusia dibekap kenangan, bahkan oleh hal-hal kecil yang bertahan oleh waktu.
“Sore harinya kami pergi ke Pemakaman Edirnekapi untuk mempersiapkan penguburan. Ketika kakak laki-lakiku dan sepupuku pergi ke gedung administrasi kecil pemakaman, aku mendapati diriku sendirian dengan sopir di kursi depan taksi. Saat itulah pengemudi mengatakan kepadaku bahwa dia tahu siapa aku.”
Pamuk mengatakan ke sopir taksi itu, bahwa ayahnya meninggal. Dia adalah orang yang sangat baik dan, yang lebih penting, bahwa Pamuk mencintainya. “Matahari akan segera terbenam. Kuburan itu kosong dan sunyi. Bangunan abu-abu yang menjulang di atasnya telah kehilangan kesuraman sehari-harinya; mereka memancarkan cahaya aneh. Sementara aku berbicara, angin dingin yang tidak dapat kami dengar membuat pohon-pohon terbang dan pohon cemara bergoyang, dan gambar ini mengukir dirinya dalam ingatanku, seperti kaki tipis ayahku.”
Pamuk menceritakan kenangannya tanpa beban. Tapi, “Aku lupa menyebutkan tindakan kebaikan terbesarnya. Ketika aku masih kecil, ayahku akan melihat dengan penuh kekaguman pada setiap hal yang kugambar; ketika kutanyakan pendapatnya, dia akan memeriksa setiap kalimat yang dituliskan seolah itu adalah sebuah mahakarya”.
Pamuk berkisah, “Di masa muda dia memiliki perpustakaan yang bagus, dan kemudian dia senang aku menjarahnya. Tapi dia tidak membaca buku seperti yang kulakukan, rakus dan pusing karena kegembiraan; dia membacanya untuk kesenangan, untuk mengalihkan pikirannya, dan sebagian besar dia tinggalkan membacanya di tengah jalan. Ketika ayah-ayah lain mungkin berbicara dengan nada diam-diam ke para jenderal dan pemimpin agama, ayahku suka bercerita tentang jalan-jalan di Paris dan melihat Sartre dan Camus (lebih seperti penulisnya), dan kisah-kisah ini membuatku sangat terkesan.”
Diingat juga oleh Pamuk, “Aku menyukainya ketika dia membawaku ke film, dan aku suka mendengarkannya mendiskusikan film yang kami tonton dengan orang lain; Aku menyukai lelucon yang dia buat tentang orang idiot, kejahatan, dan tidak berjiwa, sama seperti aku suka mendengar dia berbicara tentang jenis buah baru, kota yang dia kunjungi, berita terbaru, atau buku terbaru; tapi yang paling penting aku menyukainya ketika dia membelaiku.”
Itu adalah jenis keintiman Pamuk dengan ayahnya. Tak ada hal-hal lain yang menarik dari esai Pamuk kecuali, dia sekadar mengekspresikan kenangannya, imajinasinya tentang ayahnya, yang meninggal. Di akhir esainya, dia menulis, dan layak digarisbawahi, “Kematian setiap orang dimulai dengan kematian ayahnya.”
Kendati, yang barangkali banyak dialami orang lain ialah, lebih banyak, ibunya. Jadi, kalimat Pamuk itu juga bisa kita ganti, “Kematian setiap orang dimulai dengan kematian ibunya.” Hal ini bisa bahkan rutin terjadi, manakala sosok ibu di mata anaknya jauh lebih berkesan dan berpengaruh.
Dalam ajaran agama Islam, pemeluknya diajarkan doa yang ringkas tapi mendalam. “Wahai Tuhanku, ampunilah aku dan kedua orang tuaku, sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku sewaktu aku masih kecil.”

Esais, Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Naasional Jakarta, Pengurus Pusat HIPIIS