Orang Tua adalah Pendidik Anak

Ilustrasi pendidikan daring (tanotofoundation.org)
Iklan terakota

Terakota.id – Hari Pendidikan Nasional 2019 saya menulis sebuah artikel dengan judul Sekolah sebagai Rumah Pendidikan. Namun ketika pandemi Covid-19 melanda dunia, termasuk Indonesia setahun lebih terakhir ini, saya kembali merenungkan kembali makna pendidikan.

Menyitir pernyataan Ki Hajar Dewantara bahwa Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran, serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Maka jelas pendidikan merupakan tugas orang dewasa dalam membimbing, melatih, dan memberi contoh pada yang lebih muda (anak-anak) tentang budi pekerti, pikiran, serta jasmani untuk kesempurnaan hidup yaitu yang bermanfaat bagi keseimbangan individu dengan alam dan masyarakatnya.

Melalui makna tersebut sudah seharusnya tanggung jawab pendidikan anak yang utama ada pada orang tua sebagai orang dewasa di rumah masing-masing. Begitulah sebenarnya “masyarakat tradisional” sebelum pendidikan dilembagakan menjadi sekolah.

Adalah John Dewey yang awalnya memiliki gagasan mendirikan sekolah percobaan di Chicago. Gagasannya adalah sekolah sebagai miniatur masyarakat dan sebagai sumber ide dalam upaya perbaikan masyarakat. Dewey mengamati keadaan dinamika masyarakat dimana struktur masyarakat yang berubah tidak diikuti dengan persiapan terhadap pendidikan manusia untuk bisa menyadari masyarakat baru. Sekolah diharapkan bisa mengambil alih pendidikan dalam rangka menyiapkan manusia menyadari perubahan-perubahan itu.

Negara lalu mengambil alih pendidikan melalui sistem pendidikan nasional. Lambat laun, fungsi orang tua dalam pendidikan anak-anak menjadi bergeser sebatas mencarikan sekolah yang tepat, menyediakan biaya dan fasilitasi yang diperlukan, selebihnya pendidikan diserahkan pada sekolah. Jadi sekolah tidak hanya berfungsi sebagai pengajaran semata, namun pendidikan manusia seluruhnya. Termasuk pendidikan budi pekerti, nilai-nilai, maupun pendidikan tentang kecakapan hidup yang lainnya.

Pandemi Covid-19 sejak 2020 hingga kini, seolah mengingatkan kembali tentang fungsi keluarga dalam pendidikan. Tidak tanggung-tanggung, 24 jam anak berada di rumah! Mereka harus belajar setiap mata pelajaran, dan juga belajar menjadi manusia seutuhnya tanpa interaksi langsung dengan sekolah yang selama ini menjadi “rumah pendidikan”.

Peran orang tua juga menggantikan sebagian peran guru dalam menyelesaikan ketuntasan mata pelajaran dan sekaligus peran orang tua sebagai model bagi anak-anak untuk tumbuh menjadi manusia seutuhnya.

Orang Tua Kedodoran?
Pada masa pandemi, Kemendikbud memutuskan pembelajaran tetap berlangsung. Namun dari rumah melalui perangkat internet. Digitalisasi menjadi keniscayaan dalam sistem pembelajaran ini. Suatu lompatan yang sangat besar. Meskipun rencana digitalisasi sudah didengungkan jauh sebelumnya, namun pandemi Covid-19 mempercepat segalanya harus terjadi. Tentu ada masa dimana semua pihak kedodoran. Artikel ini tidak akan membahas proses balajar mengajar dari rumah atau melalui perangkat digital, melainkan membahas bagaimana pendidikan di rumah menjadi berubah pula?

Pendidikan bukan hanya soal belajar mengajar. Kembali menurut Ki Hajar Dewantara, bahwa pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran, serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.

Pada akhirnya kini orang tua seolah diingatkan kembali dialah sebenarnya manajer pendidikan bagi anak-anakmya. Bukan kepala sekolah. Orang tua adalah “guru” bagi anak-anak yang mengajarkan pengetahuan, memberi tauladan sikap dan perilaku. Orang tua adalah “instruktur” bagi anak-anak yang melatih keterampilan atau skill.

Jika dilihat dari pebincangan di sekitar dan juga di sosial media, banyak orang tua yang mengaku kedodoran ketika tiba-tiba mendapat ‘sampur’ tugas pendidikan itu. Jika kedodoran dalam proses belajar mengajar, mungkin masih lazim. Namun jika kedodoran dalam pendidikan manusia, tentu patut menjadi keprihatinan tersendiri.

Selama ini tuntutan orang tua kepada lembaga sekolah nampak terlalu tinggi. Kenakalan anak, misalnya akan menuding pihak sekolah yang tidak mampu membina anak. Budi pekerti anak yang buruk, telunjuk juga akan menuding sebagai kegagalan sekolah mendidik anak. Sebagai bukti, jika ada kenakalan anak ataupun buruknya perilaku atau budi pekerti anak, alih-alih masyarakat akan bilang “Anak siapa itu?” namun sebagian besar orang akan cenderung berkata, “Murid sekolah mana itu?”

Bahkan beberapa saya sendiri masih mendengar orang tua yang tanpa perasaan bilang, “Saya sudah bayar mahal anak sekolah, tapi anak gak pintar-pintar juga. Apa yang dikejakan para guru?’ Sebaliknya disisi lain ketika guru dan atau sekolah melakukan tindakan yang dianggap “tidak menyenangkan anak,” orang tua juga akan emosi.

Tidak bermaksud selalu membela pihak guru, gurupun memiliki kewajiban profesional, namun peran serta orang tua dalam pendidikan anak memang sudah seharusnya dikembalikan sepenuhnya. Pembagian peran antara sekolah-guru dan keluarga-orang tua mesti seimbang. Bahkan tidak hanya itu, pendidikan adalah tugas semua orang dewasa pada anak-anak. Bimbingan, motivasi, dan ketauladanan orang-orang dewasa begitu penting.

Merayakan Hari Pendidikan Nasional, bukan semata-mata menyanyikan Himne Guru. Lebih dari itu kita respek pada orang tua yang telah menjadi “guru” yang baik bagi anak-anaknya. Menjadi model dan tauladan bagi yang anak-anak. Person dimana anak-anak bisa belajar tentang masyarakat dan kehidupan.

 

 

Tinggalkan Komentar

Silakan tulis komentar anda
Silakan tulis nama anda di sini