
Terakota.id— Dalam pembukaan UUD ’45, kita akan menemukan beberapa fungsi keberadaan negara bernama Indonesia ini. Fungsi-fungsi di dalam preambule tersebut juga dapat kita baca sebagai tugas, tanggung jawab, ataupun kewajiban negara. Ia merupakan fondasi atau dasar konstitusional yang tak bisa ditawar seperti harga lombok atau terong di pasar tradisional.
Preambule tidak boleh diamandemen. Mengubahnya berarti pula merobohkan negara. Karena di atas janji-janji konstitusional itulah negara ada. Dan salah satu fungsi negara yang adiluhung dengan terang benderang berbunyi: “Mencerdaskan kehidupan bangsa.”
Sayangnya, ketika fungsi itu gagal dipahami dan dilakoni, justru rakyat yang dipersalahkan. Rakyat yang sejatinya korban dari kegagalan negara dalam mewujudkan bangsa yang cerdas: bangsa yang bernalar, bangsa yang literat, bangsa yang dapat mengenyam pendidikan dengan mudah, dsb., justru dikambinghitamkan. Kawan-kawan gerakan kerap menyebutnya victim blaming, kultur menyalahkan korban.
Dua hari lalu, 23 April, adalah Hari Buku dan Hak Cipta Sedunia yang ditetapkan UNESCO sejak 1995. Mula-mula, sebuah toko buku di Katalonia, Spanyol, mencetuskannya di tahun 1923. Ia merujuk pada ide seorang penulis Valencia, Vicente Clavel Andres yang memilih tanggal tersebut untuk mengenang penulis Spanyol, Miguel de Cervantes Saavedra yang meninggal pada 23 April.
Cervantes sendiri merupakan sastrawan besar yang menulis novel Don Quixote de la Mancha. Novel legendaris yang dibacakan oleh Che Guevara kepada pasukannya di sela-sela perang gerilya. Dalam satu wawancara yang dilakukan oleh Gabriel García Márquez dan Roberto Pombo mewakili majalah Meksiko Revista Cambio, seorang pejuang Chiapas Mexico, Comandante Marcos juga menyebut Don Quixote sebagai buku politik terbaik yang ajeg berada di sisi ranjangnya.
Pada peringatan Hari Buku Sedunia kemarin, kita kembali disuguhi lagu sendu yang diputar terus menerus. Kegagalan negara dalam mendongkrak tingkat literasi masyarakat seperti kutukan atau takdir buruk yang “tak lapuk oleh hujan dan tak lekang oleh panas.” Dari pemilu ke pemilu, kondisi memprihatinkan itu seolah tak pernah beranjak.
Awal Desember 2016, Progamme for International Student Assessment (PISA) 2015 menunjukkan tingkat literasi masyarakat Indonesia berada di urutan ke-64 dari 72 negara. Hasil skor Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI) atau Indonesia National Assessment Programme (INAP) 2016 juga menunjukkan hasil yang masuk kategori kurang. Untuk kemampuan matematika sebanyak 77,13 persen, kemampuan membaca 46,83 persen, dan kemampuan sains 73,61 persen. Dan Central Connecticut State University (CCSU) asal Amerika Serikat juga merilis data bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked, 9 Maret 2016. Indonesia berada di urutan 60 dari total 61 negara.
Sangat sering pemerintah merujuk, mengutip, dan mengulang data-data tersebut. Terutama di hari-hari penting seperti Hari Buku Sedunia, Hari Aksara, dan Hari Pendidikan Nasional. Mereka seolah tanpa rasa gamang menunjuk begitu saja bahwa rakyat Indonesia sudah mirip ikan teri atau batu kali yang emoh membaca buku. Negara tanpa beban mengumumkan bahwa minat baca rakyat Indonesia sangat mengkhawatirkan. Belum cukup. Tingkat literasi rakyat Indonesia juga dikatakan terpuruk. Sama terpuruknya dengan sepak bola kita.
Bahkan, tak kurang Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani, mengutarakan kegalauannya. Bahwa minat baca rakyat sungguh memprihatinkan. Ia mengatakannya dalam pembukaan Rakornas Perpustakaan 2018 di Perpustakaan Nasional Jakarta. Puan mengutip data dari Perpustakaan Nasional tahun 2017, frekuensi membaca orang Indonesia rata-rata hanya tiga sampai empat kali per minggu. Sementara jumlah buku yang dibaca rata-rata hanya lima hingga sembilan buku per tahun.
Saya membayangkan tuan puteri Puan mengatakannya dengan sungguh-sungguh dan penuh linangan air mata. Data dari perpusnas itu mengusik nurani dan akal sehatnya sebagai menteri sekaligus elit partai. Dan membuatnya merasa betul-betul terpukul. Karena sejauh ini ternyata partainya yang termasuk partai penguasa dan dirinya sebagai menteri gagal membangun fondasi yang fundamental: literasi.
Tapi sepertinya ia tidak sungguh-sungguh. Toh, setelah itu ia kelihatan lebih sibuk lagi bagaimana menata kursi agar tidak goyang disaput persaingan elektoral. Dibanding misalnya, berjibaku menyukseskan kebijakan politik Gerakan Literasi Nasional yang mulai digiatkan tahun 2016.
Setali tiga uang dengan pemerintah, kita juga akan gampang menemukan berita atau tulisan dari media yang seakan menuding rakyat sebagai pangkal persoalan. Judul yang mereka pilih, misalnya, tak bergeser secuilpun dari penilaian bahwa rakyat tidak akrab dengan literasi, sehingga membuat bangsa Indonesia berada di urutan buncit dalam banyak survei mengenai literasi. Banyak pula yang menurunkan tulisan seputar rendahnya tingkat literasi rakyat berdampak kuat terhadap tumbuh suburnya kebencian dan hoaks.
Duh, padahal rendahnya tingkat literasi rakyat bukan kondisi yang lahir dari ruang hampa atau akibat jatuhnya benda luar angkasa ke bumi. Juga bukan sesutu yang alamiah dari sananya. Sebetulnya, kondisi semacam ini hanya salah satu ekses dari apa yang saya sebut di atas, gagalnya negara menjalankan fungsi “mencerdaskan kehidupan bangsa.” Negara yang salah, tapi kenapa justru rakyat yang dikambinghitamkan?
Oke, baik. Jika mencerdaskan kehidupan bangsa itu adalah tugas negara dan NU, Muhammadiyah, Ormas, LSM, Rumah Baca, Perpus Jalanan, dsb., hanyalah membantu, maka logikanya bisa kita balik. Bahwa rendahnya tingkat literasi bukan salah masyarakat atau rakyat, melainkan negara.
Agar lebih gamblang, mari kita mendaftar kemungkinan sebab rendahnya tingkat literasi seperti ini: Pertama, negara belum berhasil menciptakan sistem pendidikan di sekolah yang membuat peserta didik gandrung membaca, gemar menulis dan berdiskusi; Kedua, negara belum maksimal berupaya mendekatkan buku kepada rakyat.
Perpustakaan yang dikelola atau berada di bawah pemerintah kurang aksesibel bagi rakyat; Ketiga,anggaran untuk pertahanan jauh melampaui anggaran untuk pendidikan (terbesar kedua dalam APBN 2019). Sebagaimana kita tahu, senjata tidak pernah bisa diajak berdialog dan berfikir kritis; Keempat, pemerintah lebih sering melakukan razia buku dan mengusir lapak baca dibanding menyubsidi dan mendistribusikan buku-buku bagus kepada rakyat; Kelima, kebocoran anggaran dan korupsi jauh lebih besar dibanding nominal dukungan pemerintah kepada perpustakaan atau Taman Baca Masyarakat (TBM); Keenam, pemerintah membuat kebijakan yang menyulitkan para donatur buku yang berniat mendistribusikan bukunya melalui satuan kerja Kemendikbud (coba cek surat edaran terbaru Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dari Kemendikbud terkait mekanisme pengiriman buku); Ketujuh, pemerintah lebih kerap mengajari rakyat berbohong, bertikai, berseteru, berkelahi, bersandiwara daripada menunjukkan budaya yang literat.
Anda boleh menambah daftar seperti ini sebanyak mungkin sesuai selera dan temuan. Setidaknya, dengan begitu bakal menguji apa benar rakyat patut dipersalahkan. Jangan sampai rakyat yang hakikatnya adalah korban malah menjadi mirip sebuah peribahasa: “sudah jatuh tertimpa tangga.” Tentu, kita tidak mau kemalangan datang bertubi-tubi. Tabik.

Asisten Redaktur. Pegiat literasi dan coffee addict