
Oleh: Moehammad Sinwan*
Terakota.id—Di tengah-tengah berbagai pernyataan dari berbagai pihak tentang kondisi yang ‘stagnan’ (setidaknya hampir stagnan) pada kehidupan perteateran Indonesia, meskipun berbagai upaya dan gerakan teater avan-garde sedang terus terjadi, tiba-tiba sejumlah penonton yang memenuhi hall Ciputra Artprenuer Theatre Jakarta dihenyakkan oleh pentas reproduksi dari mahakarya WS Rendra yang berjudul “Panembahan Reso”.
Pergelaran seni pertunjukan yang dihelat 25 Januari 2020, atas kerjasama dan kolaborasi dari beberapa pihak dan dari banyak pelaku teater ini boleh dibilang telah sukses membuktikan bahwa “teater Indonesia masih ada”. Pertunjukan teater ‘naratif’ yang mengedepankan kualitas cerita, dan sangat menuntut kemampuan akting para aktornya ini juga telah berhasil menmberikan semangat baru bagi perteateran Indonesia, bahwa ‘teater berlakon” (teater naratif) masih tetap bisa hadir di tengah masyarakat zaman ini. Tak lekang karena panas, dan tak lapuk oleh waktu.
Memang, belakangan ini bentuk-bentuk teater semacam itu (teater dengan naskah lakon cerita dan dengan kemampuan akting yang ‘utuh’ dari para aktornya), agak diabaikan oleh pergerakan perteateran yang sering disebut dengan Teater Avand-Gard. Gejala demikian terjadi di hampir seluruh wilayah di negeri ini, yang terjangkiti fenomena tersebut. Namun, hadirnya pertunjukan “Panembahan Reso”, dan juga pertunjukan-pertunjukan Teater Gandrik, Teater Koma, dan beberapa teater lainnya yang masih diminati oleh banyaknya penonton, menunjukkan bahwa teater-teater naratif/berlakon masih sangat ‘berterima’ dan sangat diminati.
Hal tersebut merupakan realitas yang tak boleh begitu saja diabaikan dalam progres pertumbuhan dan regenerasi perteateran Indonesia.
Dalam berteater memang tak ada keharusan untuk harus bermazab apa, atau beraliran kemana, atau pun berbentuk bagaimana. Eksplorasi berteater memang sangat memiliki ruang yang luas, penuh kemerdekaan dalam berekspresi, kadang terasa tak lagi sederhana, dan seakan-akan dalam dunia teater memang tak ada batas dan tak ada ‘keharusam’ yang normatif.
Akan tetapi, jika boleh kita kembali pada esensi dari makna kata ‘teater’ itu sendiri, bahwa teater itu berasal dari bahasa Yunani yang berasal dari kata ‘theatron’, merupakan turunan dari kata ‘theaomai’ yang secara etimologis berarti: takjub, memandang. Dari situ, dapatlah kita artikan secara simple, bahwa teater itu haruslah menakjubkan ketika dipandang (ditonton). Hal itu juga bisa dimaknai bahwa teater itu harus menarik.
So, menurut hemat penulis, bahwa teater yang dipertunjukan itu bisa saja berbentuk apa saja, atau berangkat dari konsep apa pun, atau dalam koridor fenomena yang bagaimana pun, yang penting ‘ia’ haruslah menarik, menakjubkan, atau memukau para penontonnya. Jika sebuah pertunjukan teater kurang atau tidak mempunyai daya arik, daya pukau, atau daya takjub, maka teater tersebut telah gagal atau kurang berhasil sebagai ‘teater’.
Berangkat dari rasionalitas tersebut, pentas “Panembahan Reso” 2020, yang merupakan reproduksi dari pentas yang pernah terjadi 34 tahun yang lalu (yang saat itu dipentaskan langsung oleh WS Rendra bersama Bengkel Teater-nya), adalah sebuah pertunjukkan yang boleh dibilang cukup mengobati ‘kerinduan’ para penikmat teater Indonesia, dan juga bagi para pecinta sang maestro WS Rendra.
***
Sukses “Panembahan Reso” yang telah disajikan di hadapan para penonton yang memenuhi Hall di Ciputra Artpreneur Jakarta, yang disutradarai oleh Hanindawan (seorang tokoh teater dari kota Solo) itu, bukanlah lantaran semata-mata naskahnya adalah maha karya WS Rendra. Namun, beberapa hal yang menjadi faktor kesuksesan dan kebermutuan dari helatan drama politik penuh intrik itu adalah: penyajian yang lebih padat (dari 7 jam menjadi 3 jam), dengan konversi (pemadatan) naskah yang dilakukan secara apik oleh Seno Joko Suyono (yang sekaligus sebagai salah satu produsernya); kualitas permainan para aktornya yang sangat kuat dan detail, dengan artikulasi dialog yang sangat jelas, tajam dan berenergi; penataan artistik termasuk ilustrasi musiknya yang sangat matching dan tak jarang menggetarkan rasa bagi yang menontonnya; serta penggarapan adegan demi adegan yang memiliki detail dan kekuatan alur yang sangat rapih.
Semua keunggulan-keunggulan tersebut tak lepas juga dari sebuah proses penggarapan yang tak tanggung-tanggung. Para pemain dan pelaku teater di bagian lainnya, yang terdiri dari berbagai latarr bekakng dan yang berasal dari daerah yang berbeda (diantaranya Soo, Yogya, dan jakarta) sungguh sangat tinggi dedikasi, komitmen dan etos kerjanya.

Proses yang memerlukan waktu 5 hingga 6 bulan ini tentunya tak sedikit menelan biaya yang dibutuhkan. Dan untuk berhasil mengumpulkan biaya yang tentunya tak sedikit itu juga bukan merupakan hal yang mudah bagi sebuah projek teater. Tapi, kenyataannya, semua itu bisa terjadi. Dan pementasan yang pada akhirnya menelan biaya sekitar 1,3 milyar ini pun telah berlangsung dengan ‘menakjubkan’.
Dan kalau boleh dibilang, bahwa pementasan inilah yang merupakan pementasan yang memiliki ‘kualitas’ dan kemenarikan yang ‘ok’, melebihi pentas-pentas dari teater-teater ‘kawakan’ (mapan) yang pernah terjadi akhir-akhir ini (tanpa mengurangi rasa hormat dan rasa apresiatif terhadap pentas-pentas teater mapan (besar) yang tentunya pasti masih memiliki kualitas yang ok pula.
Apa yang dapat dicatat dari uraian tersebut di atas, adalah bahwa kualitas teater tak boleh diabaikan. Sebuah pementasan teater yang kurang atau tak berkualitas pastilah akan menjadi ‘jalan’ menuju ‘keterhengkangan’ kelompok teater itu sendiri. Dan kualitas pertunjukan teater juga tak bisa dilepaskan dari kualitas proses yang harus dilakukan untuk menghasilakn sebuah pertunjukan.
Bahwa teater bukan sekedar ‘menggumpalnya’ keinginan berpentas, atau bukan menggeloranya semangat mengekspresikan diri, atau bahkan tak sekedar membaranya gairah untuk terkenal atau populer. Tapi berteater adalah sebuah proses yang utuh dan berkelindan antara hal satu dengan hal lain. Sebuah keutuhan sinergitas antara berbagai bagian, dan sebuah kesungguhan dari upaya-upaya dalam mewujudkan karya bersama.
Teater itu bukan sekedar ‘pentas’, tapi hasil dari sebuah proses latihan. Dan sebuah proses latihan itu sendiri bukanlah sekedar untuk sebuah peentasan, namun ‘ia’juga harus merupakan proses-proses pematangan, baik untuk ‘pematangan internal’ maupun pematangan ‘eksternal’ yang wujud hasinya adalah sebuah karya pentas yang matang.
Dan “Panembahan Reso” yang ‘diaktori’ oleh beberapa aktor handal dan matang (seperti: Ine Febrianti; Whani Darmawan; Maryam Supraba; Jamaluddin Latif; dan Gigok Anurogo –pemain ketoprak kawakan–; serta beberapa aktor handal lainnya) adalah sebuah fenomena karya pentas teater yang sangat pantas diharapkan sebagai sumber nutrisi baru bagi bangkitnya Perteateran (berlakon) Indonesia.
Kalau pada kenyataannya, di daerha-daerah makin muncul fenomena-fenomena tertar yang ‘tidak jelas’; kurang berkualitas; sehingga makin termarginalkan dari masyarakatnya; serta makin memudarnya minat berteater; kiranya kapasitas fenomena pementasan semacam “Panembahan Reso” atau mungkin pentas-pentas teater Gandrik, Teater Koma, atau Teater Garasi, dll. yang memiliki kualotas pertunjukan yang memadai sangat perlu untuk menjadi referensi dan daya dorong bagi semangat dan kehdiupan teater-teater di daerah.
Wabil khusus sukses “Panembahan Reso”, semestinya bisa menyapa wilayah-wilayah perteateran daerah di Indonesia. Hanya saja, memang masih sangat menjadi semacam kendala, bahwa bagaimana untuk bisa membawa perhelatan pentas teater sebesar “Panembahan Reso” (baik besar secara budgeting, besar dalam jumlah personil, serta besar untuk ukuran kapasitas penggarapan artistiknya) ke daerah-daerah yang sangat memerlukan ‘suntikan’ nutrisi semnagat dan etos kerja berteater yang berkualitas.
Mimpi untuk itu memang ada (khususnya) pada diri sang Seno Joko Suyono untuk bisa membawa pentas “Panembahan Reso” ke beberapa daerah. Dan harapan untuk itu juga sangat muncul dari berbagai pelaku teater dari daerah-daerah yang telah menontonnya (maupun yang sekedar mendengar akan kesuksesan dan “kemenarikan” pementasan yang sangat sublimatif itu).
Semoga, ada sebuah keajaiban yang turun ke dunia “perteateran daerah” di Indonesiam sehingga mimpi dan harapan itu akan bisa menjadi ‘nyata’.
Dan “Panembahan Reso” bakal bisa memberikan semangat bagi para pelaku teater untuk lebih bersungguh-sungguh dan bekerja keras dalam berteater. Serta setidaknya, “Panembahan Reso” akan bisa ikut memberikan ‘pendidikan politik’ bagi masyarakat daerah, yang selalu menjadi objek bagi dahaga kekuasaan. Semoga!!!■
Diujungmakam@Tegalgondo#166feb2020
*Penulis adalah, pemimpin umum Teater IDEōT, pendiri komunitas musik “RUMAH DI ATAS ANGIN” (Sutradara, Aktor, dan Penulis)

Merawat Tradisi Menebar Inspirasi