Oleh: Sugeng Winarno *
Terakota.id–Tak sedikit warga Malang yang kelimpungan karena beberapa saluran televisi favoritnya tak lagi bisa ditonton. Sejumlah stasiun televisi yang biasa mengudara di Malang Raya tak lagi dapat izin siaran dari Balai Monitor (Balmon) Kelas I Surabaya. Awalnya kanal Metro TV, TV One, Trans TV dan Trans 7 yang di stop. Kini Metro TV sudah kembali siaran, sementara tiga kanal yang lain masih menghilang.
Banyak masyarakat yang kehilangan atas tak beroperasinya beberapa saluran televisi swasta nasional itu. Para pemirsa setia sejumlah acara favorit dari beberapa stasiun televisi yang diblokir harus beralih lewat saluran parabola, televisi berlangganan, atau lewat televisi streaming lewat sarana internet. Sejumlah siaran televisi yang biasanya dapat dinikmati secara free to air, kini untuk bisa ditonton harus dengan cara lain yang tak gratis.
Bagaimanapun caranya, tak sedikit orang menempuh cara agar tetap bisa nonton televisi. Orang tetap masih butuh televisi, bersanding dengan beragam media lain di rumahnya. Bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, televisi telah menjadi media hiburan yang murah meriah. Sepertinya tak ada rumah yang tak punya televisi. Kotak ajaib itu telah mengisi ruang-ruang keluarga dan menjadi teman setia mengisi waktu-waktu luang pemiliknya.
Candu Televisi
Tak sedikit orang kecanduan nonton televisi. Artinya orang sangat sulit lepas dari televisi. Hari-hari mereka selama berjam-jam dihabiskan di depan pesawat televisi. Mereka sangat loyal pada televisi, tak mampu berpaling ke media lain. Banyak acara televisi mereka saksikan, yang sebenarnya beberapa acara itu tak bermanfaat bagi dirinya. Apapun namanya, segala yang membuat orang ketagihan biasanya akan berdampak buruk.
Orang bisa menilai kalau kecanduan narkoba atau obat-obatan terlarang itu sangat berbahaya. Sesungguhnya bukan obat terlarang itu saja yang berbahaya, tetapi kecanduan nonton televisi pun bisa berakibat lebih berbahaya. Bisa dipastikan di hampir semua ruang keluarga Indonesia selalu ada televisi. Media audio visual ini hadir menempati posisi “terhormat” di antara perlengkapan furniture di dalam rumah. Pesawat yang satu ini juga jadi salah satu barang yang paling sering dijamah dibandingkan barang lain yang ada di suatu ruangan di rumah.
Televisi hadir dalam beragam model, bentuk, merek, ukuran, dan harga. Ada yang berukuran mini, namun tak sedikit yang big size, lebih dari 30 inchi. Ada yang masih mempertahankan televisi berlayar gelas, namun banyak juga yang sudah beralih ke model layar tipis berteknologi LCD, LED, HD, dan berkualitas audio dolby stereo. Kualitas gambar dan tata suara televisi menjadi semakin sempurna bahkan mampu melebihi keindahan obyek aslinya.
Tak sedikit orang telah menjadikan televisi sebagai media hiburan yang utama. Bukti yang menguatkan bahwa banyak orang yang menjadikan televisi sebagai barang super penting adalah ketika kita melihat berita banjir dan kebakaran misalnya. Sering kita saksikan di layar televisi banyak orang yang berlarian menyelamatkan barang-barangnya dan televisi adalah barang yang mereka gotong terlebih dahulu.
Contoh lain, kita lihat di kampung-kampung banyak rumah gedeg yang di ruang tamunya terpajang televisi. Walaupun pesawat televisi yang dimiliki bukan branded atau merek terkenal. Kalau toh tak bisa beli televisi bermerek Sony, merek Sunny pun oke, kalau toh yang Panasonic mahal, televisi merek Pansonic pun jadi. Yang penting keluar gambar dan suaranya, hingga bisa memecah keheningan malam di pelosok-pelosok kampung.
Media televisi hadir di ruang istirahat sebagai obat mengusir jenuh, penghilang rasa penat setelah bekerja seharian. Televisi dijadikan rujukan masyarakat guna mendapat informasi, pendidikan dan hiburan. Televisi juga hadir sebagai media update informasi seputar hobi, gaya hidup, tren mode, info selebritis idola, panduan memraktekkan resep-resep masakan sekaligus rujukan menikmati tempat-tempat kuliner dari seluruh penjuru negeri.
Sulit Lepas dari Televisi
Dalam tulisannya, Bambang Haryanto (2012) mengutip pernyataan Orson Welles yang mengatakah bahwa dia membenci televisi seperti membenci kacang. Tetapi dia tidak bisa berhenti makan kacang. Lebih lanjut Herbert Brodkin, seorang produser acara televisi berpengaruh di AS menambahkan bahwa penonton televisi ibarat kera-kera yang ketagihan makan kacang. Dan televisi merupakan mesin giling yang menghasilkan kacang-kacang yang mereka butuhkan itu (Haryanto, 2012:69).
Ilustrasi lain, dalam sebuah kompetisi film pendek dikisahkan bagaimana seorang ibu begitu tak bisa lepas satu episode pun tayangan telenovela yang digemarinya. Diceritakan dalam film tersebut seorang ibu sedang terjebak kemacetan panjang di sebuah jalan ibukota. Dia rela turun dari mobil, melepas sepatunya dan berjalan kaki mencari ojek. Sesampainya di rumah, dengan tergopoh-gopoh ibu tersebut membuka pintu rumah dan pertama kali yang dilakukan bukan membereskan barang bawaanya dan ganti baju, tetapi mencari remote control televisi.
Ibu tersebut segera pencet remote, tombol ON ditekan, disusul nomor tertentu yang merupakan nomor stasiun televisi yang menyajikan acara telenovela. Dan begitu leganya ibu tersebut karena acara baru saja dimulai, hingga rasa penasaran menunggu jawaban cerita yang digantung dari episode sebelumnya berharap akan terjawab pada edisi yang sedang disaksikannya. Tetapi hingga episode telenovela itu menjelang berakhir, seorang ibu itu belum juga menemukan jawaban atas teka-teki cerita yang dinantikan.
Ibu itu justru dihadapkan pada cerita yang memunculkan tanda tanya besar lagi yang sepertinya bakal di jawab dalam cerita episode berikutnya. Ibu penonton televisi itupun dibuat tergantung untuk selalu mengikuti episode-episode mendatang. Ilustrasi yang digambarkan dalam film dokumenter ini sepertinya mewakili ibu-ibu penonton setia televisi di Indonesia.
Neil Postman (1995) dalam bukunya yang berjudul “Menghibur Diri Sampai Mati, Mewaspadai Media Televisi” menjelaskan bagaimana televisi menjadi media yang sangat powerful menjadi media penghibur bagi masyarakat. Tak sedikit orang yang menjadikan televisi sebagai media hiburan yang utama. Banyak orang menjadikan televisi sebagai rujukan dalam mendapatkan informasi dan hiburan. Televisi juga menjadi sarana popularisasi gaya hidup dan konsumerisme lewat beragam iklan dan aneka acara yang disiarkan.
Televisi memang menyimpan potensi besar sebagai sumber informasi dan pengetahuan, namun masih banyak di antara kita yang memungsikan televisi hanya sebagai media hiburan belaka. Kondisi ini semakin diperburuk dengan pengelola stasiun televisi yang terlampau banyak menyajikan program dengan menonjolkan unsur entertainment ketimbang muatan edukasi dan informasinya.(*)
*) Penulis Adalah Pegiat Literasi Media, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang.
Penulis adalah Pegiat Literasi Media, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang