
Oleh : Tini Pasrin*
Terakota.id–Hari Raya Natal telah lewat namun kita belum tuntas akan kegelisahan yang kita ciptakan. Membukanya kali ini saya mau mulai dengan menuliskan ulang instastory dari teman saya.
“Setiap bulan Desember mendekati penghujungnya, selalu ada diskusi yang berulang tiap tahun di kalangan umat Islam. Apakah boleh seorang muslim mengucapkan selamat Hari Natal yang diperingati setiap 25 Desember?
Mereka yang tidak membolehkannya punya dasar bahwa orang yang mengucapkan selamat Hari Natal berarti sudah mengakui tiga hal. Pertama, mengakui Isa adalah anak Tuhan. Kedua, mengakui Isa lahir pada tanggal 25 Desember. Ketiga, mengakui Isa mati disalib. Ketiganya bertentangan dengan Al-quran.
Sementara mereka yang membolehkan ucapan selamat Natal karena hal itu hanya bagian dari basa-basi (Mujamalah dhahriyah). Tidak ada keyakinan rasa dalam hati dalam konteks ucapan ini. Bahkan, mengucapkan hal tersebut menjadi bagian dari konsep tenggang rasa.
Apapun itu, balik lagi ke pribadi masing-masing. Yg memberikan ucapan atau tidak, jangan merasa paling benar dan paling baik. Jangan sampai mereka yang merayakan kita (umat muslim) yang ribut tiap tahun.
So, selamat merayakan bagi kalian yang merayakan..!
Merry Christmas”
Membaca ini saya langsung memahami bahwa setiap orang memiliki alasan untuk berbuat sesuatu. Sehingga saya tidak bermasalah dengan diucap tidaknya selamat oleh teman beragama lain. Hal paling penting bagi saya adalah ketika seseorang bisa berdamai dengan apa yang dia ucapkan atau tidak.
Nah, sebagai orang Kristen ada bahaya yang lebih urgent menurut saya. Yaitu kemungkinan terciptanya kesombongan religius dalam tubuh orang Kristen.
Sebagai orang Kristen, hal-hal yang bertebaran di sosial media saya mayoritas adalah postingan manusia-manusia seagama.
Berangkat dari kasus intoleransi yang kerap terjadi di akhir tahun seperti dilarangnya umat Kristen mengundang sanak-saudara untuk bergembira ria dalam satu rumah hingga kasus lama yang masih terus menerus terjadi yaitu larangan dibangunnya tempat ibadah.
Sementara umat Kristen sibuk membandingkan sikap intoleran tersebut dengan men-share bagaimana Pastor membangun Masjid dan Mushala, sekolah Kristen yang mengunjungi sekolah Islam untuk memberi ucapan Selamat Idul Fitri, dan lain-lain.
Memang begitu adanya. Akan tetapi seperti perumpaan orang Farisi yang merasa paling suci dan kemudian mengutuk pemungut cukai yang telah banyak berbuat dosa, saat sedang berdoa di dalam Bait Allah (Perumpaan ini ada dalam alkitab orang Kristen). Yesus menegaskan agar jangan sampai kita jatuh pada kesombongan religius.
Apalagi sampai merasa paling benar, karena menganggap apa yang kita lakukan baik. Bisa jadi orang lain juga merasa tindakannya paling benar menurut versinya sendiri. Kita rumit, bukan?
Teman-teman saya banyak yang beragama Muslim, Hindu, Budha dan lain-lain. Saya kerap bertanya hal-hal yang tidak saya mengerti dan bertanya tentang dalamnya makna sholat 5 waktu dan pentingnya puasa bagi umat Muslim. Hal-hal yang ternyata bagus bagi kesehatan.
Dari teman Budha saya tertarik dengan ungkapan mereka, “Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta” yang berarti semoga semua makhluk hidup berbahagia. Bukankah tugas manusia berat sekaligus mengasykkan? Membiarkan semua bukan hanya kerabat tetapi alam juga turut berbahagia. Semua orang setara. Sama-sama ingin berbahagia.
Mengenal baik seseorang/ajaran tidak pernah berakhir dengan membencinya dan nyaris selalu menjadi mencintainya.
Perjalanan para manusia suci sebenarnya penuh dengan kisah sama seperti kita menonton film-film. Di sana ada tragedi kehidupan manusia soal persahabatan, cinta, pengkhianatan dan kebencian.
Drama kehidupan manusia
Agama dan kisah sejarah manusia suci sesungguhnya menarik untuk diceritakan dalam bentuk nilai. Tetapi kita malah sibuk bertentangan dengan masalah-masalah sepele, seperti ‘ajaran siapa yang paling benar?’
Ironis memang. Nilai ajarannya sendiri seperti hilang berbekas, berganti dengan baju kebanggaan bahwa ia paling beriman dari semua orang,
Mari mempelajari ‘dongeng-dongeng’ semua agama. Mempelajari tidak selalu sama dengan mempercayai apalagi menyebarkan. Jika kita bisa mendapat nilai baik dari ‘dongeng-dongeng’ tersebut kenapa kita tidak memakainya sebagai bekal untuk hidup sebagai manusia?
Sederhana, seperti saat dulu waktu kecil kita didongengkan oleh orangtua kita. Kita bahkan merasa perlu berbuat baik bak Bawang Putih agar mendapat hadiah, atau harus rajin seperti Cinderella agar mendapat suami yang tampan dan kaya raya.
Hal-hal tersebut juga tersimpan rapi dalam setiap agama. Kita bisa mengambilnya sebagai ‘dongeng’ yang mampu membuat kita lebih baik. Termasuk ‘neraka’ yang dinarasikan agar kita tidak berleha-leha pada kesenangan duniawi, tetapi menjadi tua dan berguna.
Bayangkan betapa menjadi manusianya jika mengambil semua pelajaran dari ‘dongeng-dongeng’ agama.
Belajar rendah hati dari Rasulullah yang menemui masyarakat umum, menyalami tangan-tangan mereka. Beliau tidak melepaskan jabatnya hingga orang-orang lebih dulu mengurai tangan mereka, juga kisah seru dari salah satu tokoh Hindu, yaitu ketika Pasukan Inggris sebagai salah satu tentara terkuat dan disegani dunia, kala itu harus ditarik mundur dari India hanya karena kekuatan cinta seorang manusia kurus kering, berbaju sangat sederhana, dan memakan apa yang dimakan sebagian besar rakyatnya. Beliau adalah Mahatma Gandhi. Gandhi adalah seorang Hindu namun dia menyukai pemikiran-pemikiran dari agama-agama lain termasuk Islam dan Kristen. Dia percaya bahwa manusia dari segala agama harus mempunyai hak yang sama dan hidup bersama secara damai di dalam satu negara.
Kita bisa belajar dari ‘dongeng-dongeng’ agama lain untuk lebih bijak menjadi manusia. Bukankah hal itu menarik?
Bayangin kalau kita satu warna. Perbincangan kita akan seperti itu-itu saja, jatah libur nasional pun semakin sedikit. Sementara kemajemukan agama yang membuat kita libur saja, tidak bikin kita puas dengan jatah liburan dalam setahun.
Bagi orang Kristen, Allah bisa menjadi seperti apapun yang Dia inginkan, Allah tidak hanya sampai pada batasan-batasan yang kita ciptakan. Termasuk Yesus yang telah lahir menjadi manusia.
Dia tidak perlu dibela. Yang perlu di bela itu manusia yang tidak dimanusiakan oleh manusia lain. Yuk, mari membangun damai. Damai di hati, damai di bumi!
Kebenaran itu seperti pecahan cermin yang jatuh dari langit. Kamu mungkin menyimpan satu cerpihan, tetapi orang lain menyimpan cerpihan yang sama juga. Selamat berkaca dan melihat Tuhan dalam diri orang lain!
*Penulis mahasiswa Unitri Malang Prodi Ilmu Komunikasi konsentrasi Jurnalistik. Sejumlah tulisannya telah dimuat di media daring dan media cetak
Pembaca Terakota.id bisa mengirim tulisan reportase, artikel, foto atau video tentang seni, budaya, sejarah dan perjalanan ke email : redaksi@terakota.id. Tulisan yang menarik akan diterbitkan di kanal terasiana.

Merawat Tradisi Menebar Inspirasi