“Nggege Mongso” Berbuat Sebelum Tiba Waktu, Bertindak Sebelum Sanggup   Refleksi Adaptasi Kenormalan Baru

nggege-mongso-berbuat-sebelum-tiba-waktu-bertindak-sebelum-sanggup
Ilustrasi : Pranava Ishvara
Iklan terakota

Ojo “nggege mongso”

Yen to durung “titi wanci”.

Sumabaro sawetoro wektu.

Ojo njur kesusu, keburu napsu

Yen durung kuwowo nepake saliro.

Tumindako kalawan “angon wayah”.

Arti dan Makna Istilah “Mongso”

Terakota.idKata “mongso” di dalam bahasa Jawa Baru antara lain memuat arti : waktu; musim (Mangunsuwito, 2013: 362). Salah sebuah kata jadiannya adalah “mangsan”, yang berarti : musiman, ada kalau pada musimnya. Arti demikian seperti tergambar pada sebutan “mongso ketigo (musim kemarau), mongso labuh (masa awal musim hujan), mongso duren (musim durian), mongso panen (waktu panen): mongso pagebluk (waktu pendemi)”, dan sebagainya. Dalam  bahasa Jawa Kuna dan Tengahan juga terdapat kata ” mangsa”, namun tidak berarti : waktu atau musim, alih-alih menunjuk pada : daging, makanan, atau tanaman tertentu — mungkin sebangsa pohon maja (Zoetmulder, 1995 : 651-2).

Istilah “mangsa” dalam arti : waktu, antara lain tergambar pada kata gabung “titi mongso”, yakni kata sama arti., sehingga kata gabung yang berupa kata benda ini diartikan dengan : masa, waktu Bisa juga istilah “mongso” diganti dengan kata “wanci”, yang bersinonim arti, menjadi “titi wanci”. Bahkan, Sujiwo Tejo dalam syair lagunya,menambah satu kata lagi yang juga sana arti, yaitu kata “kolo” , menjadi “titi-kolo-mongso”.

Wong takon wosing dur angkoro

Antarane riko aku iki.

Sumebar ron ronaning koro

Janji sabar, sabar sak wetoro wektu

Kolo mangsane, ni mas

Titi kolo mongso

Pamujiku dibiso

Sinudo kurban jiwanggo

Pamungkase kang dur angkoro

Titi kolo mongso

Namun, apabila kata “mangsa” ditambahkan kata “bodo” menjadi “mangsa bodo (varian “moso bodo, mangsa bodhon)”, maka artinya justru mengarah pada : terserah kamu saja (Mangunsuwito, 2013 :362) atau disebut juga “masa bodoh”. Perkataan ini ber- sininim dengan “mangsa borong”, dalam arti terserah.

Dalam arti : waktu atau musim, istilah “mangsa (mingso)” berkenaan dengan hitungan, tepatnya perhitungan waktu. Dalam bahasa Jawa, Baru perhitungan waktu itu dinamai dengan “Pranoto mongso (bahasa Indonesia ‘pranata mangsa’)”, yaitu perhitungan waktu yang di- dasarkan pada : keteraturan musim. Pranata mangsa merupakan “sistem penanggalan” atau sistim kalender yang berhubungan dengan bercocok tanam ataupun penangkapan ikan. Kalender “Pranata Mangsa” disusun berdasar peredaran Matahari, yang satu siklus (setahun) terdiri atas 365 atau 366 hari.

Kalender ini memuat berbagai aspek fenomenologi dan gejala alam lain yang dimanfaatkan sebagai suatu pedoman dalam kegiatan usaha tani maupun persiapan diri menghadapi bencana, seperti kekeringan, wabah penyakit, serangan atau gangguan tanaman, banjir, dan sebagainya yang mungkin dapat timbul pada waktu-waktu tertentu. Berdasarkan perhitungan yang terbilang pelik (nylimet, klenik) ini, maka fase-fase di dalam bercocok tatanam dan mencari ikan bisa dilakukan dengan tepat waktu.

Makna sebutan “Nggege Mongso”

Perihal “ketepatan waktu” itulah yang dalam bahasa Jawa acap diistilahi denga “wis titi mongsone” atau “wis titi wancine”, dalam arti telah tiba waktunya. Apabila telah melakukan aktivitas ketika belum tiba waktunya, maka distilahi “durung titi wancine” atau “durung titi mongsone”.Jiika melakukan kegiatan tatkala telah lewat waktu, maka sebutannya adalah “wis ora titi mongso/wancine maneh”, seperti “wis ora titi mangsane pelem maneh (sudah tak musim mangga berbuah)”. Pada sebutan- sebutan tersebut, siklus waktu digambarkan sebagai mempunyai keteraturan (order time circle) . Untuk itu, manusia yang berada di dalamnya perlu untuk menata diri diri sesuai dengan pola keteraturan yang ada. Jika tidak, maka akan “tergilas roda waktu”.

Keteraturan pada siklus waktu diibaratkan sebagai “naga”, sehingga di dalam bahasa Jawa Baru ada sebutan “nogo mongoso (naga waktu) ” atau bisa dinamai dengan “nogo dino (naga hari)”. Bergerak yang berlawanan arah dengan arah gerak dari nogo mongso/dino, bisa menyebabkan orang tersebut “dimakan naga waktu (dipangan nogo mongso) “. Hal ini antara lain tergambar dalam rotasi hari-hari pasaran (dinten pekenan).

Misalnya, pedagang keliling yang menjajakan barang dagangannya berlawanan arah dengan arah kokasi pasar — yaitu pasar tertentu yang pada suatu hari pasaran tengah menyelenggarakan kegiatan ekonomi pasar. Maka ia tidak akan mendapatkan pembeli. Pedagang keliling itu ibarat “dimakan naga waktu”.

Suatu kebijakan dan kegiatan atas dasar kebijakan itu semestinya dilangsungkan pada waktu yang tepat. Namun bisa terjadi, karena “keburu nafsu”, telah dilakukan sebelum tiba waktu yang tepat. Ketergesaan itu diistilahi dengan “nggege mongso”. Istilah ini, antara lain pernah dilontar oleh Jokowi, yang berkenaan dengan soal isu pencalonan dirinya sebagai kandidat presiden di Pemilu 2014, yang arti terkandung dalam perkatsan “ojo nggege mongso” adalah : jangan keburu nafsu atau menginginkan “sesuatu” yang masih belum waktu.

Kata “nggege” merupakan sustu kata ulang dari “age-age”, yang memperoleh penyengauan menjadi “[ng]age-age”, lantas dipersingkat menjadi “nggege”. Apabila dikaitkan dengan “takdir”, sebutan “nggege mongso” bisa ber- arti : mendahului takdir . Lantaran tidak tepat waktu, belum tiba waktu, yang dihasilkannya bukan produktifitas, sebaliknya justru “kontra produktif”.

Ibarat buah, ia hanyalah buah yang “kreggo“, yang kelihatannya saja telah matang, namun sebenarnya tidak sungguh-sungguh matang. Terlihat matang, lantaran buah itu terlampau banyak terkena sinar matahari. Bila dimakan, buah krenggo belum terasa enak, masih rasa buah setengah matang. Ibarat telur yang tengah ditetaskan, bila telah mencapai 21 hari, makan bakal menetas dengan sendirinya.

Pada kisah “Garudeya“, dicontohkan tentang sifat kurang sabar menunggu tiba waktu (tergesa- gesa) dari Dewi Winata. Tiga butir telur yang ditetasinya, sebuah diantaranya telah dipecah jauh sebelum tiba waktu menetas, lantaran ia bernafsu untuk segera punya anak. Hasilnya, cuma keluar kilatan cahaya dari cairan telur itu. Telur kedua, juga dipecah sebelum tiba waktu menetas. Alhasil, lahir anak yang diberi nama “Aruna”, yang cuma berwujud separuh badan di bagian atas. Adapun bagian bawah, masih belum berbentuk anatomi.

Tinggallah telur ketiga, yang mendasarkan pengalaman buruk telur ke-1 dan ke-2, dengan lebih sabar ditunggu hingga tiba waktu menetas dengan sendirinya. Yang terlahir dari telur ke-3 adalah makhluk yang beranatomi lengkap (jangkep), berupa manusia setengah burung, yang diberi nama “garuda”. Kelak Garuda menjadi sosok perkasa. Tindakan Winata terhadap telur ke- 1:dan ke-2 itu adalah contoh tentang perilaku “nggege mongso”.

Suatu tindakkan yang dilakukan tanpa perhatikan ketepatan waktunya, asal berbuat di sembarang waktu, di dalam bahasa Jawa Baru diistilahkan dengan “ora angon wayah”. Kata “angon” menunjuk pada : penggembala- an, dan kata “wayah” berarti : waktu. Metafor ini memberi gambaran bahwa apa yang hendak dilakukan mestilah “digembalakan (dingon) “, agar tepat waktu, dan sekaligus tepat sasaran, tepat tempat, dan tepat fungsi. Suatu kebijakan beserta kegiatan yang “nggege mongso” dengan demikian masuk ke dalam apa yang diistilahi dengan “ora angon wayah”. Yang berarti abai terhadap ketepatan waktu.

Dalam bahasa Jawa Baru diistilahi dengan “durung sangate (belum waktunya) “. Terkait itu, pertanyaan yang semestinya dimunculkan sebelum melakukan aktifitas adalah : apakah telah tepat waktu?, apakah waktu yang tepat? Pertanyaan tersebut tegaskan persyaratan untuk melakukan perhitungan secara cermat dan tepat untuk menetapkan waktu berbuat — sebagaimana yang diamanatkan oleh “pranoto mongso” pada aktifitas bertani dan bernelayan.

Jangan Keburu Normalkan Kondisi Tak Normal

nggege-mongso-berbuat-sebelum-tiba-waktu-bertindak-sebelum-sanggup
Ilustrasi : Pranava Ishvara

Mampu keluar dari kondisi sulit adalah asa atau pengharapan dari semua makluk hidup, termasuk pengharapan dari manusia. Namun, perlu pula mendapat perhatian bahwa suatu kondisi sulit, seperti kondisi luar biasa yang terbilang “tidak nomal”, membawa dampak ikutan serius, yang menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan signifikan terhadap kondisi dan tatanan-tatanan terdahulu. Oleh karena itu, manakala keluar dari kondisi sulit atau dari kondisi tidak normal itu dibutuhkan “kemampuan adaptif (adaptive capabilty)”, membutuhan “tatanan baru” yang adaptif terhadap kondisi baru.

Kemampuan diri untuk beradaptasi terhadap kondisi dan tatanan hidup baru merupakan prasyarat untuk dapat mempertahankan dari (sintasan, survive), utamanya ketika berada dalam kondisi sulit. Terkait itu, Ekonom, Filsuf dan pemikir Liberal Klasik asal Inggris, yaitu Herbert Spencer (1820- 1903), mengintro- dusir frasa “survival of the fittest (diterjemah “sintasan yang terbugar’)” di dalam bukunya “Principles of Biology” tahun 1864 untuk me- nyatakan : kelangsungan hidup makhluk yang paling “fit”. Suatu frasa dalam “teori evolusi” untuk menyebut “mekanisme seleksi alam”, yakni pelestarian ras terpilih dalam perjuang- annya untuk bertahan hidup, yang diintrodusir lebih awal (1859) oleh Charles Darwin dalam buku “On the Origin of Species by Means of Natural Selection, or The Preservation of Fa- voured Races in the Struggle for Life (biasa disingkat manjadi ‘The Origin of Species’)”

Menurut Spencer, individu yang “bugar (fit)” adalah makhluk hidup yang dalam kehidupannya mampu selamat dalam menghadapi ujian hidup. Anggota nasyarakat yang paling mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya, merekalah yang akan mampu bertahan hidup (survive). Sedangkan masyarakat yang tidak mampu menyesuaikan diri terpaksa menemui ajalnya.

Demikianlah, individu- individu yang mampu beradaptasi dengan kondisi riil dan aktual, termasuk kondisi baru sebagai wujud dari perburahan baru sebagai akibat kondisi luar biasa yang tidak normal. Kemampuan diri untuk beradaptasi berkenaan pula dengan “mekanisme kontrol dari”, yaitu mekanisme kontrol setiap adaptor (pelaku adaptasi) untuk memformulasikan kebiasaan baru yang sesuai dengan kondisi baru. Apa yang diformulaikan pada tatanan baru tersebut musti diperkenalkan dan dipahamkan ke pubik, perlu dibiasakan menjadi kebiasaan baru menurut pola hidup baru, yang tentu tak bisa menginternal di dalam diri secara serta merta, hanya diberi hitungan minggu di masa transisi.

Kesulitan adalah keniscayaan dalam hidup. Setiap orang, bahkan tiap masyarakat, tiap masa, dan tiap daerah punya kesulitannya sendiri-sendiri. Salah satu bentuk kesulitan hidup yang dihadapi oleh individu dan lebih luas lagi warga masyarakat adalah tatkala berjangkit wabah penyakit, semisal Pandemi Covid-19. Kesulitan hidup adalah ujian atau cobaan, yang mau tak mau turut mengalami, terkena dampak, dan mesti bijak menghadapi dan menanganinya.

Ketika menghadapi ujian, dibutuhkan ketahanan dan ketangguhan. H. Spencer pada teorinya “survival of the fittest” menyatakan bahwa individu yang “fit (bugar)” adalah makhluk yang di dalam kehidupannya mampu selamat manakala menghadapi ujian hidup. Terhadap ujian itu, ada orang yang “ta- han uji”, namun ada pula yang “tak tahan uji”. Ada yang “menang uji (berhasil uji)”, namun ada juga yang “kalah uji (gagal uji)”. Maunya, orang dapat segera lolos dari ujian/cobaan.

Apabila tak tahan uji, tidak tangguh uji, yang bersangkutan maunya segera tampil dengan “merasa telah menang uji”, manakala proses uji belum tintas. Keburu untuk berbuat, walau belum tiba waktu bertindak. Suatu tindakan yang “nggege mongso”.

Wabah penyakit beserta dampak medikalnya dan multi aspek dari dampak ikutannya merupakan peristiwa yang luar biasa, kondisi yang tidak normal. Epidemi ataupun pandemi membawa dampak serius, dan berpengaruh signifikan bagi terjadinya perubahan kondisi serta tatanan terdahulu. Terhadap peristiwa yang luar bisa dan tidak normal itu, beserta dampak ikutannya, ada yang berhati-hati dan dengan seksama dalam mengidentifikasikan kondisi riilnya, dan ada juga yang sebaliknya. Mestinya, perlu seksama dalam identifikasi : apakah kini (a) telah kembali normal, seperti kenormalan semula (renormal), ataukah (b) belum mencapai kondisi normal (abnormal), atau (c) terbuka memungkinkan mendapat kenormalan, walaupun formulasi normalnya berbeda dengan normal terdahulu — yang di dalam konteks pandemi Covid-19 diistilahi dengan “New Normal” atau ada pula yang menyebutinya dengan “New Normaly”.

Identifikasi adalah fase yang penting. Oleh karena, salah mengidentifikasikab kondisi riil dan kindisi aktualnya, bisa mengakibatkan alah dalam tentukan “timing”, yakni apakah telah tiba saatnya, atau sebaliknya masih belum tiba waktu memasuki “Kenormalan Baru”. Bisa juga menjadi salah dalam membuat formulasi teknis dalan bersikap dan berperilaku tepat kondisi serta tepat guna di tengah dampak pandemi. Oleh karena itu, janganlah “ngege mongso” untuk menormalkan (menganggap sebagai “normal”) pada kondisi yang sesungguhnya tidak atau belum normal.

Kalaupun ada indikasi-indikasi ke arah normal, maka (a) perlu cukup waktu — tidak terburu, tidak serta-merta, atau tidak gegabah, (b) perlu tahapan (tata jenjang) yang disertai dengan perincian aturan pelaksanan kegiatan ketika berada dalam fase “transisi adaptif” sebagai ikhtiar penyesuaian (adaptasi) terhadap kondisi dan tatanan baru yang dinamai dengan “kenormalan baru”, dan ( c) perlu kedepankan aspek kesehatan-keselamatan warga di atas aspek-aspek lain. Fase tradisi adaptif kenormalan baru adalah pula fase pembiasaan kepada kebiasaan baru.

Nuwun.

Sangkaling, 5 Juni 2020

Griya Ajar CITRALEKHA