Ilustrasi: https://wallpapersafari.com
Iklan terakota

Terakota.id–Di banyak belahan dunia, akhir tahun Masehi selama hampir dua milenia terakhir identik dengan perayaan Natal. Itu bila disepakati bahwa Natal seperti kita peringati pada 25 Desember dimulai pada abad ke-4 atau tepatnya pada tahun 336.

Bagi umat yang merayakan, Natal adalah peristiwa sakral dan menyelamatkan. Natal sakral karena secara langsung diyakini berkaitan dengan yang ilahiah dan kudus di mana Yesus, yang adalah Anak Allah menjelma menjadi manusia. Natal juga menyelamatkan karena diyakini sebagai peristiwa campur-tangan yang ilahi untuk menebus dosa manusia dan mengembalikannya kepada kebahagiaan abadi.

Bagi yang tidak merayakan, Natal pun merupakan sebuah kesempatan yang menggembirakan (atau semestinya demikian). Kalau tidak ada makna spiritual yang layak direngkuhnya, Natal (dan Tahun Baru) minimal menyediakan bagi mereka kesempatan untuk berlibur, belanja, beristirahat dan merenung. Bagi segelintir orang (semoga jumlahnya tidak bertambah), Natal dilihat sebagai ajang untuk menyalurkan hasrat banal mereka untuk menghina kaum lain yang berbeda dari mereka sendiri atau setidaknya untuk menegaskan kedakuan mereka dengan cara meliyankan yang berbeda.

Apa pun itu, dan bagaimana pun itu, Natal semestinya adalah sebuah peristiwa kemanusiaan bagi siapa pun, syukur-syukur dapat, seperti disingung di atas, menerbitkan rasa bahagia dan harapan bagi sebanyak mungkin anggota umat manusia.

Natal adalah kelahiran

Kata ‘Natal’ berasal dari bahasa Latin Dies Natalis yang berarti hari kelahiran. Sementara itu, padanan katanya dalam bahasa Inggris ‘Christmas’ berawal dari frasa bahasa Inggris kuno Criste Messe atau Misa Kristus. Intinya, Natal atau Christmas adalah hari yang didedikasikan untuk memperingati kelahiran seorang manusia bernama Yesus, yang datang ke dunia pada sekitar tahun 8-6 SM.

Karena dikatakan bahwa Yesus lahir, itu berarti bahwa dia adalah manusia yang berdarah daging dan menyejarah, kurang-lebih sama seperti Napoleon Bonaparte, Leonardo da Vinci, Soekarno, dan kita sekarang ini. Yesus memiliki orang tua dan masa kecil. Dia pernah menjadi bayi yang tidak berdaya dan bergantung sepenuhnya kepada orang dewasa di sekitarnya.

Sebagai orang tua dari dua anak batita dan seorang anak pra-remaja, saya dapat membayangkan dengan lebih hidup seperti apa kehidupan seorang bayi dan anak. Bukan terutama dalam pengertian seperti apa yang mereka pikirkan, rasakan dan bayangkan, tetapi lebih dalam bagaimana mereka sepenuhnya bergantung kepada kami, orang tuanya. Bahkan untuk urusan yang paling sederhana, seperti buang air kecil dan besar, makan, mandi, berganti baju, atau tidur, bayi banyak sekali mengandalkan arahan dan bantuan dari kami.

Menurut Jacques Lacan (1901-1981), psikoanalis berkebangsaan Prancis, ada tiga tahapan dalam perkembangan kepribadian seorang bayi. Tahap pertama disebut sebagai tahap imajiner (imaginary order). Di dalam tahap pertama ini, seorang bayi yang baru lahir belum memiliki kesadaran beridentitas sama sekali. Dia belum mampu membedakan dirinya dari lingkungannya, bahkan dari orang-orang terdekatnya, termasuk dari ibunya. Maka, pada tahap ini, yang dirasakan oleh bayi adalah kesatuan atau unity dengan sang ibu. Ibu adalah satu-satunya yang dibutuhkannya, dan dia adalah satu-satunya yang sang ibu butuhkan.

Pada tahapan imajiner ini, seorang bayi tinggal menangis atau menjembik jika membutuhkan sesuatu, entah itu dalam bentuk makanan (atau minuman, khususnya ASI), rasa nyaman, sentuhan, dan semacamnya. Mendengar tangisan atau melihat jembikannya, sang ibu akan bergegas datang dan memenuhi kebutuhannya, tanpa babibu dan seketika itu juga lengkap serta pulihlah kesatuan antara anak dan ibu, seperti terjadi di rahim sang ibu.

Tahapan kedua dinamakan tahap cermin (mirror stage). Pada usia sekitar 7-8 bulan, sang bayi yang semakin berkembang keterampilan motoriknya dan luas daya jangkaunya mulai melihat sekelilingnya, di mana salah satu objek yang dilihatnya adalah cermin. Di sana, bayi itu mulai melihat bayangannya sendiri di cermin dan mungkin mulai melihat bagaimana bayangannya itu menirukan segala sesuatu yang dibuatnya. Mulai tumbuh rasa dan kesadaran beridentitas dalam bentuknya yang embrionik di sini. Akan tetapi, sang bayi tetap belum mampu membedakan dirinya dari lingkungannya, terutama dari ibunya. Yang adalah gambaran-gambaran atau citra yang masih simpang-siur alias baur.

Pada tahapan yang ketiga, yang disebut sebagai tahapan simbolis (symbolic order), kesadaran akan diri dan identitas menemukan bentuknya. Dan hal ini difasilitasi terutama oleh keterampilan baru yang dikembangkan oleh sang bayi, yaitu keterampilan berbahasa. Kemampuan berbahasa mengartikulasi dan, dengannya juga, mengamplifikasi kemampuan untuk memahami bahwa aku berbeda dari dia, termasuk dari ibuku, dan apa yang di tahapan sebelumnya hanya berupa gambaran-gambaran yang baur kini menemukan ‘rumah’-nya masing-masing. Bahasa menjadi faktor determinan dalam membangun kesadaran diri ini.

Pada waktu yang sama dengan keterampilan berbahasa mendorong kemampuan sang anak untuk membangun identitas diri dan mengartikulasikan pemahaman barunya atas dunia di sekelilingnya, dia mulai kehilangan sesuatu yang amat penting, yaitu perasaan kesatuan dengan ibunya. Dia kini semakin sadar bahwa dia adalah pribadi yang terpisah dari sang ibu, yang mesti mengatakan atau mencoba mengatakan apa yang dibutuhkannya dalam bahasa yang kosa katanya masih terbatas dikuasainya. Dia tidak bisa lagi mengandalkan tangis atau jembikannya semata-mata. Jika lapar, dia harus bilang kepada ibunya, ‘Lapar’. Juga bila haus, atau kedinginan, atau sakit. Ketika dia tidak atau belum menemukan kata-kata untuk pengalamannya itu, dia akan menangis dan merasakan tantrum.

Terputusnya kesatuan dengan ibu ini menandai suatu kehilangan yang besar dan signifikan dalam perkembangan kepribadian sang anak. Usaha untuk kembali mendapatkan kesatuan tersebut akan menandai segenap perjalanan kehidupannya selanjutnya. Dia akan mencari dalam banyak hal kompensasi akan kehilangannya tersebut. Akan tetapi, sebanyak-banyak hal lain yang didapatkannya, termasuk cinta dari pasangan, harta, pengetahuan, ataupun pencerahan, tidak ada yang dapat sepenuhnya menggantikan hilangnya kesatuan antara dirinya dan ibunya. Kesadaran akan kehilangan kesatuan itu menjadi ciri yang selalu menghantuinya di sepanjang hidupnya.

Bahasa, sementara itu, ternyata adalah sebuah tool yang penting dan tak tergantikan, tidak hanya demi melancarkan komunikasi antarmanusia, tetapi juga bagi setiap manusia secara pribadi untuk menyadari siapa dan ke mana dirinya. Tanpa bahasa, banyak sekali hal tidak akan terjelaskan atau terperikan dan terkomunikasikan. Namun, bahasa, seperti kemudian disadari oleh para pemikir pasca-strukturalisme, adalah sesuatu yang sangat cair, dinamis, gampang mrucut atau elusive dan terbatas karena tidak pernah mampu mewadahi segenap tanda. Seperti diungkapkan Derrida, bahasa adalah alat yang perlu dan penting tetapi memiliki keterbatasan yang terlampau nyata.

Kembali ke persoalan Natal atau kelahiran Yesus. Sebagai manusia yang lahir pada suatu masa dan, karenanya, menyejarah, Yesus kiranya juga mengalami hal-hal yang hampir kita semua alami. Dia pernah menjadi bayi yang bergantung sepenuhnya pada keramahan lingkungan dan welas asih orang tua, terkhusus ibundanya; dia mungkin juga pernah melihat bayangan dirinya sendiri di cermin atau di air tempatnya mandi atau di siluet bayangannya yang timbul oleh sinar matahari pagi lalu samar-samar menyadari bahwa dia berbeda dari ibundanya. Yesus pun jelas-jelas mengembangkan keterampilan berbahasa, sehingga dia kemudian tumbuh menjadi seorang pengajar yang hebat dan menginspirasi.

Walaupun bahasa memungkinkan Yesus memahami dirinya sendiri dalam konteks perutusan dan tugasnya di dunia, dia juga menyadari bahwa bahasa adalah sebuah ‘alat’ atau media yang tidak mampu mengungkapkan segenap pengalaman dan keharuan manusia di hadapan Penciptanya. Maka, ketika berdoa dan berkomunikasi dengan Tuhan, Yesus mengajarkan kepada para muridnya untuk tidak berdoa secara bertele-tele, seperti kebanyakan orang yang mengaku beragama, dengan kalimat-kalimat yang panjang dan penuh buih. Sebaliknya, Yesus mengajar agar, ketika berdoa, para pengikutnya masuk ke kamar, mengunci pintu, dan berdoa secara ringkas namun dari kedalaman batin, sebab Tuhan telah mengerti apa yang manusia butuhkan.

Natal, dalam perspektif ini, karenanya merupakan sebuah peristiwa yang amat manusiawi. Yesus sang anak manusia itu lahir, bertumbuh, mendewasa, bekerja, dan seterusnya mirip seperti ritus-ritus hidup manusia pada umumnya. Tentu saja, di mata batin dan pikiran para pengikutnya, Yesus memiliki kualitas manusia adikodrati dan bahkan ilahiah. Namun, biarlah itu menjadi domain iman dan kepercayaan untuk menjelaskan.

Rumah tinggal kita adalah rumah tinggal kemanusiaan. Maka, yang kita rayakan atau setidaknya kita syukuri dalam peristiwa Natal adalah peristiwa kelahiran Yesus manusia, yang tumbuh dalam kemanusiaan, tetapi sosoknya menjulang melampaui kebanyakan manusia karena kualitas dirinya dan bisa jadi juga ditopang oleh kisah-kisah di seputarnya. Dengan memahami secara demikian, sejatinya tidak ada salahnya bahwa kita semua merayakan Natal. Selamat Natal. Selamat merayakan kelahiran kemanusiaan.