Nasib Rumah Bung Tomo

Petugas Satpol PP memeriksa rumah keluarga Bung Tomo di Jalan Ijen Nomor 6 Kota Malang. (Terakota/Eko Widianto).
Iklan terakota

Terakota.id–Seng berjajar, berdiri mengelilingi bangunan rumah di Jalan Ijen Nomor 6 Kota Malang. Di balik pagar seng sebagian dinding bangunan berlubang, tumpukan bata, papan dan kayu berserakan. Reruntuhan bangunan tercecer di sekeliling bangunan rumah.

Rumah milik pahlawan nasional Soetomo alias Bung Tomo ini dipugar. Sejumlah sudut bangunan diperbaiki, para pekerja melakukan perbaikan. Bahkan sebagian dinding dijebol. Rumah warisan keluarga Bung Tomo ini berganti kepemilikan. Sejak dua bulan lalu dibeli seseorang asal Bali.

Menanggapi alih kepemilikan rumah, putra pertama Bung Tomo, Bambang Sulistomo menjelaskan jika kepemilikan tak berubah. Namun, dikontrakkan dalam jangka panjang. Alasannya keluarga tak sanggup merawat bangunan yang berusia puluhan tahun.

“Ada keluarga yang bersedia memelihara. Ya silahkan. Mohon maaf tak bisa ngomong soal itu,” kata Bambang melalui sambungan telepon. Bambang yang kini tinggal di Jakarta ini mengaku prihatin, dan menyesal tak mampu memelihara bangunan.

“Kami gak kepengen seperti ini. Berat. Kita susah, pokoknya sedih,” katanya.  Rumah tersebut, katanya, dibangun sendiri oleh Bung Tomo. Namun, ia tak menyebutkan kapan Bung Tomo memiliki rumah tersebut. Diperkirakan Bung Tomo tinggal di rumah tersebut sejak 1950-an.

sayap-patah-tacb-kota-malang
Rumah keluarga Bung Tomo di Jalan Ijen Nomor 6 Kota Malang sebelum ditutup seng. Rumah dipugar dan terancam menghilangkan fasad bangunan. (Foto : Jelajah Jejak Malang).

“Kecil dulu saya di sana. Mau bagaimana lagi?,” katanya. Pemerintah, katanya, seharusnya menjadikan bangunan rumah itu cagar budaya. Kenapa baru sekarang? katanya, sedangkan dulu tak diperhatikan. Bahkan ia juga menyesalkan markas radio Bung Tomo di Surabaya dibongkar.

“Cuma renovasi gak dibongkar. Hanya lantai dinaikkan,” katanya. Biaya perawatan mahal, kata Bambang, sejumlah perbaikan telah dilakukan. Mulai kamar mandi dan atap bangunan. Belakangan biaya perawatan mahal dan keluarga tak mampu membiayai.

Kemendikbud Turun Tangan

Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menurunkan ahli untuk menilai kesejarahan rumah tersebut. Direktorat menurunkan petugas Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur Wicaksono Dwi Nugroho. Wicaksono mengaku tengah mengumpulkan data dan keterangan atas sejarah bangunan rumah itu..

“Menilai apakah rumah ini memiliki nilai sejarah atas peran Bung Tomo dalam menggerakkan pemuda dalam pertempuran di Surabaya 10 November 1945. Ada peristiwa apa?,” katanya. Telaah merupakan bentuk perhatian pemerintah pusat atas bangunan cagar budaya. Justifikasi nilai kesejahteraan, katanya, penting untuk menentukan status.

Saat kunjungan ke lokasi, Wicaksono melihat pekerja tengah melakukan renovasi rumah yang dibangun lebih dari 50 tahun. Jika ada peristiwa sejarah, akan didalami dan dilaporkan ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sedangkan atas renovasi bangunan titipkan ke Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Malang untuk ditindaklanjuti.

“Otoritas mereka atas kawasan cagar budaya di Jalan Ijen,” katanya. Sesuai Undang-undang Nomo 11 tahun 2010 tentang cagar budaya bangunan cagar budaya dibagi tiga klasifikasi. Bangunan cagar budaya kategori kota/kabupaten, provinsi dan pusat.

“Rumah milik tokoh nasional. Jika ada justifikasi rumah tersebut memiliki nilai penting dalam sejarah nasional bisa dinaikkan status tingkat provinsi atau pusat,” katanya. Sebaliknya, jika nilai turun, kategori bisa diturunkan. Mekanisme itu, katanya, biasa dalam pelestarian cagar budaya.

Pemilik rumah juga harus tahu jika rumah perorangan itu kategori cagar budaya dan tahu segala konsekuensinya. Biasa, kata Wicaksono, pemerintah memberi kompensasi terhadap pemilik bangunan dan tanah yang berada di kawasan cagar budaya. Kompensasi berupa biaya perawatan, dan pengurangan pajak.

“Kompensasi beda tergantung kemampuan pemerintah yang memiliki otoritas. Sesuai kategori,” katanya. Seharusnya sebelum renovasi pemilik bangunan di kawasan cagar budaya berkoordinasi dengan satuan kerja. Renovasi bangunan harus memiliki izin dari otoritas.

Sedangkan bagi pemilik bangunan cagar budaya yang tak memiliki anggaran bisa mengajukan ke pemerintah sesuai status. Seperti menyampaikan keluhan kerusakan. Pemerintah, katanya, berkewajiban memberikan bantuan teknis. “Kami biasa menerima usulan,” katanya.

Berbagi peran, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata mengawal cagar budaya tingkat kota  termasuk polemik rehabilitasi tanpa izin. Sedangkan pemerintah pusat melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memiliki perhatian atas warisan Bung Tomo. “Masih justifikasi. Apakah layak dinaikkan status menjadi cagar budaya level provinsi atau pusat,” katanya.

Perkara renovasi tersebut, katanya, harus ditindaklanjuti Pemerintah Kota Malang. Otoritas penanganan, katanya, masih di wilayah pemerintah kota. Apalagi, kawasan cagar budaya ditetapkan dalam Peraturan Daerah Nomor 1 tahun 2018 tentang Cagar Budaya.

Separuh Bangunan Rumah Rusak

Sekretaris Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Malang Agung H. Buana mengatakan bangunan rumah berada di kawasan cagar budaya. Setelah masuk dan meneliti bangunan, ia mendapati lebih dari 50 persen fisik bangunan rusak. Sejumlah dinding dibongkar, seluruh semen pelapis dinding dilepas.

“Atap bangunan dibongkar, lapisan lantai diubah. Lantai dinaikkan,” katanya. Peraturan Daerah Cagar Budaya telah disosialisasikan kepada ketua RT dan RW se Kota Malang. Sosialisasi dilanjutkan di tingkat kecamatan. Jika ada perubahan bentuk bangunan cagar budaya harus memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB). IMB keluar, katanya, setelah pemohon yang mengajukan IMB mendapat rekomendasi dari Tim Ahli Cagar Budaya (TACB).

“Sementara Satpol PP menghentikan renovasi bangunan,” katanya. Namun, bagaimana atas kerusakan bangunan cagar budaya tersebut? Menurut Agung penindakan atas pelanggaran menjadi kewenangan Satpol PP untuk menangani perkara tersebut.

“Ada dugaan pelanggaran atas perusakan banguann di kawasan cagar budaya,” katanya.

Kejadian ini, katanya, menjadi pelajaran berharga. Pelestarian cagar budaya dibutuhkan kepedulian dan komitmen bersama. Koridor Ijen, kata Agung, merupakan wajah Kota Malang. Agar tak menjadi preseden buruk bagi kawasan cagar budaya, harus ada konsultasi sebelum pembangunan. Bangunan yang direnovasi harus mengikuti karakter dan selaras dengan lingkungan.

“Fasad bangunan tak boleh berubah,” katanya. Pemerintah bakal memberi insentif bagi pemilik yang menjaga bangunan cagar budaya. Pemberian insentif dan kompensasi diatur secara adminitrasi keuangan. Untuk mengatur itu, akan dikeluarkan Peraturan Wali Kota Malang secara detail mengenai syarat dan spesifikasi.

“Perwal menjadi payung hukum agar bisa memberikan insetif bagi pemilik bangunan cagar budaya,” katanya.

Rumah Bung Tomo dilihat dari balik seng yang penutup bangunan. (Terakota/Eko Widianto).

Informasi yang diterima Agung, rumah itu dimiliki Bung Tomo pada 1950 an. Sedangkan pada 1955-an keluarga Bung Tomo pindah  ke Jakarta. Apa ada peristiwa sejarah di bangunan rumah tersebut? TACB tengah mendalami, mengupulkan keterangan dan dokumen. “Jika peristiwa 10 November 1945 dirancang di rumah Ijen 6, itu kategori level bersejarah,” katanya.

Jika tak ada nilai sejarah, dikategorikan bangunan kuno. Agung menyebut sebuah peristiwa Bung Tomo di Malang saat menjadi pimpinan Badan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI). Kantor pusat BPRI di Malang. Saat memimpin BPRI pada 1946, Bung Tomo berpidato di depan ribuan warga di Stadion Gajayana.

Menurut catatan intelijen Belanda, BPRI memiliki pengaruh besar. Pengaruhnya melebihi pengaruh Wali Kotapraja Malang. Bung Tomo mudah mengumpulkan massa dalam jumlah banyak. Dalam pidatonya, Bung Tomo mengajak rakyat Indonesia untuk bergotong royong. “Senasib sepenanggungan, mengingatkan solidaritas perjuangan dan kesengsaraan,” katanya.

Bung Tomo meminta rakyat yang memiliki pakaian lebih dari tiga potong disumbangkan. Pakaian dikumpulkan untuk diberikan kepada rakyat yang tak memiliki pakaian. Seruan itu ditandai dengan tindakan, Bung Tomo mencopot pakaian yang dikenakan. “Akhirnya Bung Tomo hanya mengenakan kaos singlet,” katanya.

Kenangan Bung Tomo di Rumah Jalan Ijen

Sebuah mobil Opel Kapitan terpajang di Museum 10 November kompleks Tugu Pahlawan, Surabaya. Keluarga Bung Tomo menghibahkan mobil keluaran 1956 ini, sebagai koleksi museum pada akhir 2010. Mobil berplat nomor N 1708 A ini sempat menempati rumah di Jalan Ijen Kota Malang bertahun-tahun.

Mobil terbengkalai setelah keluarga Bung Tomo pindah ke Jakarta. Mobil sempat dititipkan kepada seseorang yang dipercaya untuk merawat dan menjaga selama bertahun-tahun. Sebuah mobil Opel Kapitan 1956 bermesin 2,5 liter, enam silinder. Menghasilkan tenaga 75 PS. Mobil tiga transmisi ini bisa mencapai kecepatan 140 kilometer per jam.

Istri Bung Tomo, Sulistina Sutomo dalam buku Bung Tomo Suamiku : Biar Rakyat yang Menilai Kepahlawananmu menulis keluarga bung Tomo pindah ke Jalan Ijen Nomor 71 pada Januari 1946. “Rumah elit tempat tinggal tuan dan nyonya Belanda serta priyayi,” tulis Sulistina.

Rumah tersebut sekarang beralamat Jalan Ijen Nomor 73. Kini, berpindah tangan ditinggali bekasi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Malang, Yaqud Ananda Gudban. Bambang Sulistomo dan mendiang Sulistina sempat bertandang ke rumah tersebut. “Saya tak tahu sejarahnya, saya mengantar ibu waktu itu,” kata Bambang.

Ketua Komunitas Jelajah Jejak Malang Restu Respati menyesalkan kerusakan rumah Bung Tomo tersebut. Apalagi, lokasi rumah hanya berselang satu rumah dari rumah dinas Wali Kota Malang. Bahkan rumah yang berhimpitan dengan rumah dinas Wali Kota Malang juga dibongkar.

Kedua rumah, kata Restu, waktu penjualan hampir bersamaan. Untuk itu, ia meminta pemerintah mewaspadai jika ada rumah di kawasan Jalan Ijen yang dijual. Alih kepemilikan dianggap sebagai modus untuk memuluskan usaha perubahan bentuk rumah kategori cagar budaya.

Restu menyesalkan sejumlah bagunan rumah di Jalan Ijen berubah. Bangunan yang direnovasi dan mengubah bentuk asli terus bertambah. Jika tak dihentikan, akan menular ke bangunan yang lain. Selain itu, pemerintah harus tegas memberi sanksi kepada yang merusak bangunan cagar budaya.

Kondisi fisik rumah Bung Tomo sebagian dinding dibobol, materail bangunan menumpuk di sekitar rumah. (Terakota/Eko WIdianto).

“Rumah Bung Tomo terjadi kerusakan, pemerintah harus tegas,” katanya. Restu menyebut undang-undang dan peraturan daerah cukup dan ada mekanisme sanksi kepada pelaku perusakan. Jalan Ijen, katanya, pada masa kolonialisme merupakan perumahan bagi para petinggi pemerintahan Kotapraja Malang beretnis Belanda. Mereka ditempatkan di rumah tersebut, didesain oleh arsitek Thomas Herman Karsten.

Kerusakan rumah Bung Tomo dan rumah lain di sepanjang Jalan Ijen menunjukkan wajah bopeng Malang sebagai kota pusaka. Bangunan cagar budaya sebagai warisan leluhur yang harus dijaga telah rusak dan terbengkalai.

“Semua pihak, harus konsistensi menjalankan peraturan,” katanya. Jika dibiarkan, bakal terus berlanjut. Rumah di sekitar Jalan Ijen rawan berubah bentuk. Bersama-sama menjaga dan mempertahankan bangunan yang tinggi risiko rusak dan musnah.