
Terakota.id—Sriwoto, 57 tahun, baru saja menunaikan salat subuh di masjid samping rumahnya. Tak lama warga Desa Tambakrejo, Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang itu bergegas menghidupkan motornya mengarah ke hutan di samping Pantai Tamban. Kala itu langit masih gelap. Tapi petani hutan itu nekat menerobos muara sungai yang tengah surut.
Berbagai perlengkapan pertanian dia bawa, tak lupa bekal makanan dan pakaian ganti untuk salat. Sesampainya semua barang bawaan diletakkan di gubung yang di bangun di area lahan garapan seluas dua hektare.
Menuju lahan garapan, dia selalu menyertakan sang istri, Sunarsih, 48 tahun. Sudah dua belas tahun lalu mereka menggarap lahan di kawasan hutan. Lahan garapan ini pula yang tengah diajukan adendum untuk Perhutanan Sosial ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Beragam jenis tanaman buah ditanam. Ada alpukat, nangka, mangga, durian, cengkeh hingga petai dan jengkol.
“Diambil buahnya, kawasan tetap hijau. Alhamdulillah,” katanya.
Di sela-sela tanaman pohon ditanami pisang. Aneka jenis pisang tumbuh subur. Bertani, kata Sriwoto, merupakan pekerjaan utamanya untuk membiayai keempat anaknya. Seorang kuliah, sekolah SMA, seorang lagi telah lulus dan seorang anaknya telah berkeluarga.

Pada Kamis pagi, 30 agustus 2018, empat personel polisi hutan Perusahaan Umum (Perum) Perhutani mendatangi lahan garapannya. Seorang lainnya menunggu di luar lahan garapan. “Mereka mengatakan akan membawa saya ke Polres karena melanggar, menggarap lahan hutan lindung dan membakar kayu,” katanya.
Sriwoto berusaha mengelak tudingan polisi hutan. Dia mengklaim, kayu yang dibakar berasal dari pangkal pohon yang mati. Tapi keempat personel tetap memborgolnya dan membonceng Sriwoto ke Balai Desa setempat, sebelum dibawa ke kantor Kepolisian Sektor Sumbermanjing Wetan. Namun laporan empat polisi hutan tak diterima. Petugas yang berjaga justru mengarahkan agar perkara dilaporkan ke Kepolisian Resor Malang di Kepanjen.
“Kemudian saya diangkut mobil dikawal 25 lebih polisi hutan,” katanya.Sriwoto tiba di Polres Malang sekitar pukul 16.00 WIB. Saat ditanya penyidik di ruang pemeriksaan, dia menjelaskan penangkapan dilakukan saat dirinya tengah membersihkan lahan garapan dengan sabit.
Pemeriksaan berlangsung hingga pukul 22.00 WIB. Sejumlah petugas perhutani pulang. Sriwoto sendiri tidur di ruangan Kepala Unit Reserse dan Kriminal. Esok pagi, ia diajak sarapan bersama penyidik. Di sela sarapan itu, penyidik menyampaikan jika dirinya melanggar hukum karena membakar hutan. Ancaman hukuman lima tahun penjara.
“Mau pulang? Silahkan hubungi keluarga diminta menjemput,” kata Sriwoto menirukan ucapan penyidik. Akhirnya, ia harus mengikuti wajib lapor setiap Senin dan Kamis. Wajib lapor berjalan sampai 1,5 bulan. Jika ada kegiatan penting, ia telepon menyatakan tak bisa datang. Seperti saat rapat mengenai perhutanan sosial di luar Malang.
Dua minggu kemudian penyidik dan pihak terkait mendatangi lokasi. Sriwoto diminta hadir. Polisi memotret tanaman dan bekas semak yang dibakar. “Setelah itu tak ada apa-apa,” katanya.
Nasib Sriwoto, Perkara Digantung
Setahun berlalu, ia menerima surat panggilan. Sriwoto kembali dipanggil ke Polres Malang dengan status tersangka pada 30 Agustus 2019. Setelahnya, dia melaporkan kasusnya ke Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial (Pokja PPS) di Jakarta, hingga bertemu dengan pejabat di Kantor Staf Presiden.
Di hadapan Tenaga Ahli KSP, Usep Setiawan, dia didampingi Dirjen Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rasio Ridho Sani mengakui menggarap lahan berstatus hutan lindung. Namun sejak 1998, dia menanam beraneka tanaman buah karena areal hutan sudah mulai gundul. Dia semakin berani menanam, karena mengantongi izin petugas Perhutani. “Dulu hubungan saya dengan Perhutani baik. Pendekatannya baik,” katanya.
Menghadapi panggilan kedua, Sriwoto sudah didampingi Fajrih, seorang pengacara dari Pokja Perhutanan Sosial. Bersama kuasa hukumnya, Sriwoto menemui Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Malang. Ia menyatakan sementara kasus ditunda, menunggu sampai adendum selesai. Termasuk menentukan status tanah yang menjadi urusan banyak petani setempat.
“Kasihan yang lain. Kalau kasus saya sendiri gak masalah. Saya siap mempertanggungjawabkan yang saya lakukan,” ujarnya.
Saat berperkara dengan Perhutani, 300 batang pohon cengkeh yang sudah berusia dua tahun dibabat petugas pada 2017. Gubuk yang dibangunnya bersama Sunarsih juga dirusak. Saat itu, Sriwoto hanya bisa menduga petugas Perum Perhutani menindaknya karena aktif menggerakkan petani untuk mengajukan pengelolaan Perhutanan Sosial melalui mekanisme Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS).
Kecurigaan saat itu hanya didasarkan perlakuan petugas Perhutani yang hanya menyasar dirinya, tidak ke petani lain. Semua pohon yang dia tanam ditebang dan dicabut petugas, termasuk singkong dan pisang. Padahal pisang dan singkong tanaman sementara yang diandalkan untuk menutupi biaya membersihkan lahan. Hanya tanaman buah-buahan yang selama ini menjadi sumber penghasilan utama.
“Kenapa saya memperjuangkan perhutanan sosial karena petani tak bisa garap. Sebelum urus perhutanan sosial baik-baik saja. Setelah itu, saya yang dipandang menggerakkan petani,” katanya. Namun, Sriwoto tak terlibat dalam kepengurusan dan menyerahkan kepada warga yang lebih muda lantaran memiliki waktu dan tenaga.
“Saya dukung segalanya,” ujarnya.

Gagasan mengajukan skema perhutanan sosial sendiri bermula dari rapat pengurus sejumlah Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) di Donomulyo pertengahan 2017. Pada rapat itu mengemuka, petani bisa mengelola kawasan hutan selama 30 tahun jika mendirikan Kelompok Tani Hutan yang disahkan lewat Surat Keputusan Kepala Desa. Usai pertemuan petani yang bergabung segera mengumpulkan Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga. Agustus 2017, Kepala Desa Tambakrejo Yonatan Saptoes mengeluarkan Surat Keputusan KTH Maju Mapan.
“Sebenarnya yang merusak ya perhutani. Hutan lindung dibabat, orang lain tak tahu. Dianggap hutan produksi. Banyak tanaman hutan lindung rusak,” ujarnya.
Ketua KTH Maju Mapan, Mochammad Firman turut mendampingi Sriwoto di Kepolisian Resor Malang. Menurutnya, semula polisi menganggap Sriwoto tidak kooperatif karena mengabaikan panggilan pertama. Dia lantas menghubungi pengacara dari gerakan masyarakat perhutanan sosial untuk mendampingi Sriwoto memenuhi panggilan kedua. “Saya siapkan semua berkas perhutanan sosial. Satu tas ransel,” ujarnya.
Kepada penyidik, dia menjelaskan Sriwoto sebagai anggota KTH Maju Mapan. Dalam sangkaannya, Perum Perhutani menuding Sriwoto sebagai dalang perusakan hutan di sisi timur. “Membakar tunggak pohon. KTH Maju Mapan tak menganjurkan membakar,” ujarnya.
KTH Maju Mapan membela Sriwoto untuk kegiatan perhutanan sosial. Sebab dia yakin, skema perhutanan sosial petani bisa sejahtera dengan melestarikan kawasan hutan. Dia tegas menyatakan tidak akan membela, jika tuduhan merusak hutan benar adanya. “Saya tak pernah menyuruh, silakan pertanggungjawabkan sendiri,” ujarnya.
Menurutnya menebang pohon tegak demi memperluas ladang tidak dibenarkan dalam skema perhutanan sosial. Sebab ke depan, hutan bakal dikembangkan demi kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Kerusakan hutan lindung Sendiki dituduhkan kepada Sriwoto sebagai provokator.
Penjarahan di Hutan Lindung Sendiki
Komandan Ranger sekaligus Juru kampanye Protection of Forest and Fauna (PROFAUNA) Erik Yanuar menilai Perum Perhutani tebang pilih jika hanya menyasar Sriwoto. Sebab saat ini, pembalakan masif justru terus berlangsung di petak 68, hutan lindung Sendiki. Persis sisi Timur lahan garapan Sriwoto. “Sudah kami layangkan surat ke Perum Perhutani KPH Malang,” katanya.
Dalam surat balasan yang diterima PROFAUNA, Perum Perhutani KPH Malang menuding kerusakan hutan lindung Sendiki karena ulah Sriwoto. Sriwoto dituding sebagai provokator. Padahal, katanya, fakta dan temuan di lapangan pelaku pembalakan liar berasal dari luar Desa Tambakrejo.
“Kami investigasi dan gali informasi. Kami Temukan ada empat cukong. Mereka mitra Perhutani,” katanya. Pembalakan dilakukan dini hari, menggunakan gergaji mesin. Pohon terlebih dahulu dibakar, dikupas kulitnya atau diracun agar mati. Lantas kayu ditebang dan dipotong berbentuk balok ukuran 12 senti meter x 2 meter sampai 5 meter. Beragam jenis kayu hutan dijarah, diolah menjadi bahan mebel untuk kemudian dijual ke perusahaan mebel di wilayah Batu, dan Pakisaji.

PROFAUNA, kata Erik, menyusuri dan menemukan sejumlah akses jalan tembus ke sebuah daerah yang menjadi sarang pembalak liar. Semacam jalur tikus. Namun dia kesulitan mengamati langsung kegiatan menebang dan mengangkut pohon. Sulit mencari lok buktinya.
Aksi penjarahan marak. Diduga oknum juga terlibat. “Suara gergaji mesin meraung saban dini hari, mirip sirkuit motor cross,’ katanya. Saat didekati, terdengar suara bebunyian tit….tet….tit….tet….lantas suara gergaji mati.
“Sriwoto dikorbankan karena menjadi anggota perhutanan sosial. Tujuan melemahkan perhutanan sosial,” katanya. Jika serius menegakkan hukum, katanya, semua harus ditindak. Tidak tebang pilih seperti sekarang.
Tudingan Miring Para Pelestari Hutan
Kepala Seksi Perencanaan dan Pengembangan Bisnis, Perum Perhutani, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Malang, Iwan Budi Prasetyo menuding Sriwoto menggarap lahan secara ilegal di kawasan hutan lindung. Menurutnya hutan lindung berfungsi untuk mencegah erosi, longsor dan kekeringan. Itu sebab, di kawasan hutan lindung tak boleh ada kegiatan pengolahan lahan budidaya atau pertanian intensif. “Menggarap 13 tahun itu kan versi Sriwoto,” katanya.
Sebaliknya, dia mengklaim kalau Perhutani tak melakukan eksploitasi hutan lindung, kecuali pengayaan kawasan dengan menambah tegakan pohon. Dalih Iwan, hutan lindung terkait kelerengan lahan. Karena itu, tegasnya, Perhutani tak punya kewenangan untuk mengubah status hutan lindung. “Kewenangan penetapan status di tangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” katanya.
Menurutnya siapapun yang masuk kawasan hutan lindung pasti akan ditindak. Apalagi jika serius merusak. Menurutnya, Perhutani melakukan penindakan karena khawatir dianggap sengaja membiarkan kegiatan perusakan di kawasan hutan lindung Sendiki. Melanggar pasal 27 Undang Undang dengan ancaman hukuman pidana penjara paling singkat enam bulan dan paling lama 15 tahun. Serta pidana denda paling sedikit Rp 1 miliar dan ling banyak Rp 7,5 miliar.
Penanganan kasus Sriwoto kini berada di tangan kepolisian. Berbeda halnya jika status Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) digenggam perhutani. “Sekarang tergantung polisi,” ujarnya.
Sementara Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Malang Ajun Komisaris Tiksnarto Andaru Rahutomo menjelaskan kasus tersebut bermula dari laporan KRPH Sumberkembang, Sumbermajing Wetan pada 31 Agustus 2018. Saat berpatroli mereka menemukan seseorang yang merambah hutan. Laporan diterima polisi hari itu juga. Setelah penyelidikan dan penyidikan, tersangka melanggar pasal 19 juncto 17 ayat 2 Undang Undang Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Pasal 19 mengatur mengenai pembalakan liar dan atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. Sedangkan pasal 17 ayat 2 menyebutkan setiap orang dilarang membawa alat yang lazim atau patut diduga digunakan untuk kegiatan perkebunan dan/atau mengangkut hasil kebun di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri. Melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin Menteri di dalam kawasan hutan bisa dijerat hukuman singkat tiga bulan serta paling lama dua tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 500 ribu dan paling banyak Rp 500 juta.
“Diproses, penyidik mengecek lokasi,” katanya, Lantas berkas acara pemeriksaan (BAP) dikirim ke Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Juli 2019, pada Agustus 2019 BAP dinyatakan P-21 atau lengkap. Penyidik memanggil Sriwoto, sekali tak datang, panggilan kedua juga tak datang.
“Biasanya kalau sudah dinyatakan P-21, penyidik menghadapkan tersangka ke JPU untuk melaksanakan persidangan,” katanya. Lantas JPU mengacarakan persidangan di Pengadilan Negeri setempat. Pelimpahan berkas perkara berikut barang bukti.

Sriwoto, katanya, menggarap di kawasan hutan lindung dan tak memiliki legalitas. Penyidik juga mengecek lokasi garapan, tak sama dengan bidang yang ditetapkan sebagai kawasan perhutanan sosial KTH Maju Mapan. Selain itu, Polisi juga mengklaim sudah meminta keterangan ahli, untuk menentukan perkara ini. “Lokasi sama gak? Cek GPS, juga berada di luar kawasan Perhutanan Sosial,” katanya.
Tiksnarto mengklaim polisi tidak tebang pilih. Menurutnya polisi menerima sejumlah laporan dan melakukan penangkapan kasus pembalakan liar di kawasan hutan Kabupaten Malang. Pada 2018, sebanyak 16 kasus diselesaikan dari total laporan 20 kasus. Pada 2019, penyidik menyelesaikan 17 kasus dari 24 kasus yang dilaporkan. Sementara pada Januari hingga April 2020, polisi mengklaim sudah menyelesaikan lima kasus dari total 15 kasus yang dilaporkan.
Sampai saat ini Sriwoto tetap beraktifitas seperti sedia kala. Menggarap lahan garapan yang dipersoalkan Perum Perhutani. Bersama istrinya Sunarsih dan dibantu anak-anaknya mereka bercocok tanam di lahan garapannya. Hingga kini, ia tak pernah mendapat surat panggilan dari Kepolisian. Sriwoto bersama KTH Maju Mapan tengah mengajukan perubahan perjanjian Perhutanan Sosial termasuk lahan yang diharap Sriwoto.
KTH Maju Mapan telah mendesain kawasan hutan lindung di Tamban menjadi kawasan lestari. Hanya menanam aneka pepohon yang dimanfaatkan buahnya, tanpa menebang. Usaha konservasi ini juga menjaga sejumlah sumber mata air yang digunakan untuk menjaga kelestarian sumber mata air. Lantaran masyarakat setempat memanfaatkan sumber air yang keluar dari kawasan tersebut untuk kebutuhan air minum.
Sore menjelang mentari tenggelam di ufuk barat, Sriwito dan Sunarsih bergegas meninggalkan ladang garap. Membawa peralatan pertanian, keduanya mengendarai sepeda motor menerabatas muara sungai yang mulai surut. Sepeda motor dipacu menuju rumahnya sejauh dua kilometer dari Pantai Tamban.
Setiba di rumah, ia langsung menuju kamar mandi. Membersihkan diri dan bersalin pakaian. Sriwoto mengenakan peci, baju koko dan sarung berjalan ke masjid di samping rumahnya. Azan maghrib berkumandang, Sriwoto bersama keluarga dan warga Tambakrejo segera menunaikan salat maghrib berjemaah di masjid Al Ikhlas. Bertafakur, sembari memanjat doa berharap dibuka pintu keadilan.

Jalan, baca dan makan