Nasib Panggung Terbuka Karya Abu Hasan Oleh: Muhammad Nasai*

Terakota.ID–Sebuah panggung terbuka yang megah dengan ornamen candi, berdiri di tanah bekas kawedanan Tumpang.  Bangunan terletak di belakang kantor Unit Pelaksana Teknis Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabuptaen Malang di Tumpang. Sehingga, bangunan megah ini tidak terlihat dari jalan utama. Wajar, tidak banyak yang tahu, jika Kecamatan Tumpang memiliki panggung terbuka yang mewah.

Bangunan sepanjang kurang lebih 30 meter, tinggi empat meter ini pernah terbengkalai cukup lama. Panggung terbuka di lokasi kawedanan Tumpang ini, dibangun pada 1978. Panggung terbuka ini merupakan karya seniman Tumpang bernama Abu Hasan.

Selama satu jam lebih penulis menikmati kemegahan panggung terbuka yang pagi itu ramai. Sejumlah siswa SD tengah bermain. Duduk di selatan bangunan Panggung, penulis secara seksama menikmati keindahan dan kemegahan panggung terbuka yang menghadap ke timur. Tidak banyak yang tahu, aktifitas kebudayaan di panggung ini.

Seorang pegawai DLH Kabupaten Malang bercerita bangunan panggung terbuka dibangun Abu Hasan. Saat ini, tepat di depan panggung terbuka berdiri tenda yang digunakan sebagai gantangan lomba burung berkicau. “Tidak ada kegiatan kebudayaan di panggung ini,” ujar salah seorang pegawai DLH Kabupaten Malang.

Penulis takjub dengan karya Abu Hasan, lantas ia bertemu di rumahnya Jalan Wisnuwardana, Desa Ronggowuni, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang pada Selasa, 14 Maret 2023. Tidak sulit menemukan rumah kediaman Mbah Abu Hasan ini, yang berasiktektur Belanda. Halamannya dihias taman dengan banyak tanaman yang indah, menjadi pembeda dari rumah di sekitarnya.

Penulis bertemu langsung dengan Abu Hasan, yang pagi itu tengah bercengkrama dengan tetangga di rumahnya.  Pria kelahiran 1952 ini tampil “perlente”, mengenakan jaket berbahan jins berwarna biru dipadu celana levis dan bertopi. Sehingga ia tampil dan terkesan lebih muda. Bapak dari empat putra ini mempersilakan penulis masuk. Sebuah pintu bermodel kupu tarung menyambut tamu yang datang.

Penulis duduk di kursi yang terbuat dari lembaran kayu yang ditata berhadapan dengan kursi sofa. Abu hasan, bercerita niat awal membuat panggung terbuka. “Dulu di Tumpang, saya cuma senang melihat teman-teman bisa berkumpul. Juga ada tempat bagi temen yang mau menggelar sendra tari, itu saja motivasinya. Tidak ada pikiran aneh-aneh, ya membuat saja,” kata Abu mengawali kisahnya.

Bertutut dalam bahasa Jawa, ia melanjutkan kisah pembangunan panggung terbuka. Panggung terbuka dikerjakan selama kurang dari satu tahun, dibantu tiga orang kuli. Ia mengaku semua kebutuhan material dari kantong pribadinya. Bahkan dari awal hingga selesai, tidak ada bantuan dari warga atau pemerintah desa. Ia merogoh kocek sendiri untuk mewujudkan bangunan bernilai seni tinggi ini.

Material wek weku dewe, sembarang kalir e tenaga-tenagaku dewe. Mbentuk e bentuk ku dewe, kuliku loro, kuli siji, tukang siji. (material punya saya sendiri, semuanya sendiri, tenaga sendiri. Membentuk bangunan sendiri, kuli dua orang, dan tukang batu satu),” ujar Abu Hasan.

Dengan biaya sendiri, panggung terbuka dibangun bertahap. Abu Hasan hanya mengerjakan ketika material bangunan terkumpul, jika materail habis pengerjaan bangunan dihentikan. Abu Hasan menyisihkan anggaran membangun panggung terbuka, dari hasil bekerja sebagai seniman patung dan taman.

Meski begitu, dirinya bersemangat dalam menyelesaikan pembangunan panggung terbuka ini. Abu Hasan mengaku ada dorongan semangat dari kakeknya, Mbah Rawat. “Tidak sampai satu tahun bangunan selesai,” ujarnya singkat.

Pembangunan panggung terbuka dimulai 1978, saat Wedana atau Kepala Kantor Badan Koordinator Wilayah Kabupaten Malang, Imam Utomo. Abu Hasan menemui dan meminta izin untuk membangun panggung terbuka, awalnya lokasi tersebut merupakan lapangan tenis.

Aku yo ijen ngomong nang Pak Imam lek niko kulo damel gapuro, panggung terbuka pripun? (Saya sendirian berbicara ke Pak Imam kalau saya bangun gapura, panggung terbuka bagaimana?,” tutur pria yang pernah mengajar di SMA Diponegoro Tumpang ini.

Abu Hasan menyelesaikan bangunan pada 1979 an. Abu Hasan mengisahkan, dirinya sering membuat relif hingga malam hari, dengan penerangan seadanya. “Dengan penerangan Petromak waktu itu, sampai malam ya takut adonan semen keburu kering,” ujarnya bersemangat.

Hingga saat ini bangunan terlihat kokoh. Ia mengakui menggunakan material campuran gamping, semen bata bata, pasir dan semen.  Lulusan Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI) 1974 ini mengaku material bangunan meniru teknologi leluhur dalam membuat rumah masa lalu. “Yo koyok omah iki mas, bahane persis gae omah iki (Seperti rumah ini, bahan bangunan persis rumah ini),” ujar Abu Hasan sembari menunjuk dan mengetuk-ngetuk tembok rumahnya.

Abu Hasan mengaku saat membuat Gapura dan ornamen bangunan dirinya secara sepontan. Tidak ada konsep bangunan, ia mengerjakan sesuka hati. Seandainya membawa konsep candi Jago, katanya, akan lebih bagus dan sesuai dengan peninggalan cagar budaya yang berada tidak jauh dari rumahnya.

Biyen iku ngawur, aku nggawene ngawur pokok asal aku nggawe, tanpa direncana, engkok ngene-ngene tak skets-skets dadi langsung wes, spontan, dadine nggladrah, sakjane kan jukuk Candi Jago iku apik (Dulu asal saja, saya membuat pokoknya membangun tanpa rencana, nanti begini saya sket jadi langsung, spontan, jadi melantur, sebenarnya mengambil desain Candi Jago bagus,” ujar Abu Hasan.

Bangunan megah beronamen wayang dan gapura Makara itu, pernah memprihatinkan dan tidak terurus. Bahkan pernah dijadikan tempat pembuangan sampah. “Jadi sudah bentuk kayak gitu, itu depannya dibuat tempat sampah. Wes jan rusuh pokoknya, rusuh banget gae wong mbambong-mbambong iku (Menjadi kotor, menjadi tempat gelandangan,” tuturnya.

Prihatin dengan kondisi bangunan yang terlantar, anak-anak muda setempat turut memberikan perhatian. Terutama juru parkir di sekitar lokasi gapura panggung terbuka Tumpang, membersihkan panggung terbuka. Abu Hasan mengaku senang dan bersemangat membantu membersihkan lokasi panggung terbuka, dengan gotong-royong para tukang parkir dan anak-anak muda Tumpang membersihkan kawasan tersebut dari tumpukan sampah.

“Senang, dan saya mendukung penuh niat membersihkan itu. Tak cet e tembok tak tembelane seng rusak-rusak, akeh ornamen rusak. (Saya cat tembok dan tambal yang ornamennya rusak),” ujarnya.

Abu Hasan pun mempercantik dan membenahi kerusakan panggung terbuka. Pada saat gotong-royong membersihkan lokasi panggung terbuka, Abu Hasan mendapatkan bantuan enam galon besar cat dari warga Thionghoa Tumpang. “Oleh bantuan cet teko bolo, Cino tumpang, yo gae ngapiki panggung terbuka itu. (Dapat bantuan cat dari saudsara Cina Tumpang, ya buat mempercantik panggung terbuka,” tutur Abu Hasan.

Sejakitu, panggung terbuka di eks Kawedanan Tumpang lebih bersih, dan kerap digunakan kegiatan gantangan lomba burung. Meski harapan Abu Hasan untuk menjadikan panggung terbuka sebagai wadah kebudayaan di Tumpang. Namun, belum maksimal untuk aktivitas seni. Namun lebih baik, dibanding sebelumnya menjadi tempat sampah.

 

Sebagai warga Tumpang, Abu Hasan dikenal sebagai seniman. Ia memiliki harapan besar terhadap kawasan eks Kawedanan Tumpang. Abu Hasan bersama tokoh masyarakat Tumpang untuk membangun wilayah kawedanan Tumpang sebagai pusat kebudayaan di Tumpang. Niatan itu disampaikan hingga bertemu dengan Bupati Malang Sanusi, untuk menyampaikan harapan masyarakat Tumpang terkait kawasan Kawedanan Tumpang.

Ia mendapat dukungan dari anggota Komisi I DPRD Kabupaten Malang, Yasid Salim Al Uwaini. Abu Hasan dan beberapa tokoh seperti Ki Soleh Adipramono bertemu Bupati Malang Sanusi. Mereka menyampaikan niatannya membangun kawasan eks Kawedanan Tumpang. Mereka diterima dan mendapat persetujuan Sanusi.

Abu Hasan menyampaikan setelah Yasid, anggota DPR dari Gerindra ini meninggal pada 8 juli 2022, seakan tidak ada kelanjutan dari pemerintah Kabupaten Malang. Abu Hasan juga menunjukan denah perencanaan kawasan Kawedanan Tumpang dan desain yang digambarnya. “Wes tak gambar kabeh mas (Sudah digambar semua mas). Saat itu juga saya tunjukkan langsung ke Pak Bupati, beliau setuju. Namun ketika Pak Yasid meninggal sampai hari ini belum ada kabar lagi,” ujarnya.

Meski begitu, dirinya terus semangat dan menunggu saatnya nanti,  jika pemerintah Kabupaten Malang benar-benar merespons konsep dalam menghidupkan dan mengembalikan kawasan eks kawedanan sebagai barometer kebudayaan di Tumpang. Abu Hasan terus berharap, Tumpang terus berkembang dan menjadi pusat kebudayaaan di wilayah timur Malang.

*Penulis seni dan pegiat Lembaga Seniman dan Budayawan Muslim Indonesia (Lesbumi) Kabupaten Malang