
Terakota.id–Tiba-tiba saja, belasan artis tanah air mengunggah video melalui akun media sosialnya. Video itu berisi kampanye dengan tagar #Indonesiabutuhkerja. Selang beberapa waktu kemudian, video itu mendapat protes warganet. Mengapa? Karena video itu berisi kampanye terselubung untuk mendukung Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law. Sebagaimana diketahui, RUU ini mendapat protes keras masyarakat.
Sontak, beberapa artis kaget dengan protes tersebut. Kebanyakan tenang-tenang saja. Toh, apa yang dia kerjakan sudah mendapat bayaran yang “pantas”. Perkara itu berkaitan dengan mendukung sebuah kampanye — secara terselubung atau tidak, mendukung kebijakan yang tidak pro rakyat — tak jadi soal. Yang penting mereka bekerja dan mendapat upah. Juga, semakin tersohor.
Namun, ada artis yang merasa risau. Ardhito Pramono, seorang musikus muda yang berada di barisan yang risau ini. Ia menerima bayaran untuk membuat video. Lalu ia mengembalikan bayaran itu. Dia merasa tidak mengetahui kepentingan di balik kampanye membuat video tersebut. Yang dia tahu, katanya, ikut mengampanyekan yang baik di tengah pandemi. Jadi, ia mengaku tak mengetahui kampanye soal Omnibus Law. Akhirnya dia sambat.
Sampai-sampai dia sambat di akun twitternya @ardhitoprmn (14/8/20), “betul bahwa saya menerima brief untuk ikut dalam kampanye tagar #Indonesabutuhkerja dan menerima bayaran. Seperti kerjasama saya dengan sebuah brand. Namun dalam brief yang saya terima dari publicist saya, tidak ada keterangan tentang Omnibus Law. Atas pernmintaan maaf ini, hari ini saya sudah meminta publicist saya untuk mengembalikan pembayaran yang saya terima dari memposting #Indonesiabutuhkerja”.
Cerita Sebuah Tagar
Tentu tindakan bintang film “Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini” itu sangat berani. Mengapa? Ia berani menolak keinginan kepentingan atas RUU Omnibus Law yang didukung negara. Tak sembarangan seorang artis yang “digunakan” untuk mendukung kepentingan negara menolak keinginan “pemilik kebijakan”. Yang biasanya terjadi, artis yang menolak bisa “dikucilkan”. Bukti sudah banyak berbicara. Kebanyakan artis menjadi besar karena berkaitan dengan politik. Entah dia memang merapat ke politik atau dia digunakan secara sengaja oleh “alat negara”.
Kita bisa lihat beberapa artis yang ikut terlibat dala kontestasi Pemilu. Entah sekadar menjadi “pemanis kampanye” atau memang ingin menjadi seorang kandidat anggota dewan. Intinya, keterlibatan artis dalam kepentingan politik sangatlah kental dalam sejarah republik ini.
Mau bukti? Bing Slamet, Allya Khadam, Tanty Yosepha, Titiek Puspa, Edy Sud dan banyak lagi artis lainya, pernah “dipakai” untuk mendukung Golkar era Orde Baru (Orba). Golkar tentu membutuhkan artis-artis tersebut untuk mendulang suara. Para artis itu menjadi terkenal karena difasilitasi pemerintah.
Hal demikian berbeda dengan Rhoma Irama. Ia tak mau “dipakai” untuk kepentingan politik. Akibatnya, pamornya turun. Pentasnya juga terbatas. Namun karena kapasitas dan kemampuannya bermusik, ia tak lekang oleh kepentingan negara yang tak memfasilitasinya. Tak terkecuali Iwan Fals yang lagu-lagunya mengkritik kebijakan negara. Kurang berani apa Iwan Fals saat Orba berada di puncak kekuasaannya? Toh ia tetap pupuler di mata penggemarnya.
Nah, bagaimana dengan musikus Ardhito Pramono yang juga dikenal sebagai creative planner dan music director? Dia termasuk anak muda yang pemberani. Berani apa? Minimal berani untuk tidak populer. Karena kebanyakan artis menjadi populer dan mendapat hidup mewah kalau ia berurusan dengan politik atau dia merapat ke kekuasaan. Tentu saja poluparitas mereka sangat tergantung pada cantolan kekuasaannya itu.
Jika cantolannya sudah hilang, maka ia akan ikut meredup. Tentu itu tak salah bagi seorang artis karena sebuah pilihan. Saya tidak akan mencampuri pilihan para artis itu. Biarlah sejarah yang akan mencatatnya. Saya lebih tertarik pada keputusan berani Ardhito Pramono. Dia masih muda. Masih masih punya jangka panjang sebagai seorang artis.
Mengapa membahas Ardhito menarik? Karena ia berani melawan kekuatan pemerintah dan pendukung Omnibus Law dengan menolak ikut kampanye tagar #Indonesabutuhkerja dan mengembalikan uang upahnya. Sementara sebagai seorang musisi muda sebagaimana yang lainnya, membutuhkan cantolan kekuasaan untuk menjadi populer. Tapi ia memilih jalan lain. Jalan yang tentu sudah diperhitungkan.
Masalahnya, ia tentu akan berlawanan dengan pemerintah yang memunyai segala fasilitas untuk membuat hidup makmur dengan fasilitas lengkapnya. Apa dia tidak ingat Rhoma Irama yang terbatas untuk tampil menyanyi dan membuat popularitasnya sempat meredup? Tentu ia sudah berpikir sekian kali lipat atas risikonya.
Yang tentu lebih mengkhawatirkan soal keselamatannya. Ini bukan berarti bahwa semua yang melawan kebijakan pemerintah akan “dilenyapkan”. Tidak begitu. Hanya, pemerintah itu punya alat. Alat-alat itu bisa digunakan untuk mendukung kebijakannya. Mereka juga punya aparat, modal, daya paksa dan jaringan birokrasi yang kuat. Orang yang tidak kuat tentu akan melemah dengan sendirinya saat berurusan dengan “alat” kekuasaan. Banyak orang akan memilih jalan untuk kompromi. Untuk apa? Agar dia bisa mengembangkan kebutuhannya dengan baik dan bisa hidup dengan lebih dari layak. Salah satunya berlindung di balik “alat-alat” tersebut.
Jalan Sunyi
Tapi Ardhito mempunyai pilihan lain. Ia memilih jalan sunyi sebagai seorang musikus di tengah hingar bingar mencari popularitas dan mendapatkan fasilitas dari negara. Ia tentu akan mendapat beberapa kesulitan-kesulitan atas sikapnya tak mau ikut kampanye mendukung Omnibus Law. Bisa jadi awalnya ia tak mau ikut-ikutan mendukung kebijakan politis seperti Omnibus Law. Tapi karena ketidaktahuannya ia sudah telanjur terjun. Penolakannya itu pun akhirnya diketahui publik.
Ia menempuh jalan sunyi untuk tidak ikut mendukung tagar #Indonesabutuhkerja. Masalahnya, tentu akan ada klaim bahwa mereka yang tidak mendukung Omnibus Law dianggap “membangkang” kebijakan negara. Hal ini wajar. Sama dengan ketika sejumlah anggota masyarakat tidak mendukung atau mengkritisi kebijakan negara akan dianggap sebagai orang “pesakitan”, “oposan”, “pembenci”, “barisan sakit hati”, “susah move on” dan atribut penyoratif lainnya. Sampai sebegitunya pengklaiman muncul tanpa melihat latar belakangnya. Bisa jadi, Ardhito akan dimasukkan sebagai kelompok tersebut hanya gara-gara tak mau ikut kampanye tagar. Padahal tentu alasannya bukan sekadar hal itu.
Ada baiknya memang Ardhito lebih berhati-hati dalam bersikap dan berperilaku. Juga dalam aktivitasnya akan berada dalam sorotan pihak-pihak tertentu. Pihak-pihak tertentu itu mempunyai kekuatan penuh yang bisa melakukan sesuai kepentingannya.
Kita juga tak perlu memojokkan Ardhito. Ia mempunyai pilihan. Pilihan yang awalnya sangat mungkin tidak ia inginkan. Tetapi pilihan selanjutnya mempunyai konsekuensi yang tinggi di tengah kepentingan politis dan pertentangan di tengah masyarakat yang kian rumit. Pertentangan yang juga dipicu oleh kebijakan pemerintahnya. Selamat berjalan di tengah jalan sunyi yang sedang bergolak.