
Oleh: M Alfan Alfian*
Terakota.id— Di era pasca-kebenaran, tak cukup sekadar menjadi orang baik. Itulah pesan kolom saya kali ini. Tentu, pesan itu meminta penjelasan, kelanjutannya. Anda mungkin bisa menebak, atau meneruskannya begini: orang baik, tak menjamin kebal menahan tinju-tinju pasca kebenaran.
Orang baik, sangat mungkin, bahkan sangat mudah menjadi korban hoaks dan sejenisnya, meyakini sesuatu yang dianggap benar, dan dengan penuh semangat ikut memviralkannya. Orang baik semacam ini, korban propaganda yang kian canggih di era pasca-kebenaran dewasa ini.
Ketika kolom ini ditulis, berita-berita tentang aksi menolak hasil pemilu di depan Gedung Bawaslu, Jakarta, 21 dan 22 Mei masih marak. Yang disayangkan, aksi yang diharapkan damai, ternoda provokasi. Para perusuh menyusup. Kerusuhan terjadi. Beberapa tewas. Banyak yang luka-luka. Sungguh sedih kita, menyesalkan peristiwa itu. Seharusnya demokrasi tak memakan korban, justru karena ia mengandung nilai antikekerasan.
Pilpres 2019 diwarnai sentimen emosi yang begitu tajam antarpendukung dua pasang kandidat. Sosial media menjadi wahana yang ingar-bingar. Semua orang bisa, kalau bukan mendadak tampil sebagai komentator politik. Tak sekadar itu. Bahkan banyak yang tak dibekali informasi yang benar atau valid, tampil sebagai seolah pembela kebenaran. Banyak yang cepat emosi. Padahal sekadar tersulut hoaks.
Dalam situasi ketika propaganda politik subur disebar melalui media sosial, banyak yang terperangkap di labirin konflik fatalistik. Sekali lagi, orang baik saja tak cukup untuk bisa memahami hoaks dan sejenisnya. Orang baik bisa terjebak pada propaganda, ikut menyebar kebohongan yang diyakininya sebagai kebenaran, dan provokatif.
Tentu yang dimaksud, orang baik yang tak cerdas digital, tekor kalau bukan abai dalam mengidentifikasi kebenaran empiris obyektif. Maka, masuklah ia sebagai orang yang anti pakar, anti intelektualitas, menafikan kebenaran objektif empiris. Kebenaran ialah yang secara populer diyakini orang banyak, secara emosional, sebagai kebenaran.
Inilah gejala umum yang direkam oleh Tom Nichols dalam bukunya, The Death of Expertise: The Campaign Against Established Knowledge and Why it Matters (2017) sebagai matinya kepakaran. Pakar ilmiah empiris, dalam era pasca-kebenaran, tersingkir oleh kebenaran subyektif. Yakni kebenaran berbasis sentimen emosional, ketimbang rasionalitas objektif empiris.
Dalam politik, kita mengenal istilah, kalau bukan konsep, demokrasi perasaan (democracy of feeling). Ia berbeda dengan demokrasi akal (democracy of reason). Itu bisa kita baca di buku William Davies, Nervous States, How Feeling Took Over The World (2018). Politik memang, seringkali dibilang, lebih merupakan persepsi. Di titik ini, sentimen bisa bermain. Akal, pertimbangan yang rasional dan logis, seringkali gagal membentuk persepsi yang rasional. Ia bisa membelok ke yang emosional. Apalagi, manakala kelompok yang lebih besar, gagal menjadi kekuatan yang jernih, tetapi yang sudah terjangkiti emosi, sentimen pasca-kebenaran.
Kajian-kajian pasca-kebenaran mulai banyak kini. Ambil contoh, esai-esai yang ditulis para pakar yang dihimpun Mikael Stenmark, Steve Fuller, dan Ulf Zackariasson, Relativism and Post-Truth in Contemporary Society: Possibilities and Challenges (2018); Ignas Kalpokas, A Political Theory of Post-Truth (2019); David Block, Post-Truth and Political Discourse (2019); Bruce McComiskey, Post-Truth Rhetoric and Composition (2017); C. G. Prado (Ed.), America’s Post-Truth Phenomenon When Feelings and Opinions Trump Facts and Evidence (2018); dan Lee Mcintyre, Post-Truth (2018).
Nyaris kajian-kajian tentang fenomena pasca-kebenaran ini terkait politik populer. Ada keterlibatan massa yang intens dengan politik di ruang-ruang pribadi mereka, piranti-piranti digital mereka. Terhubung melalui kecanggihan teknologi informasi. Mereka bersosmed. Di situlah prakondisi terjadi, sebelum massa aksi memenuhi jalanan dengan isu-isu radikal.
Sering ia dikaitkan dengan fenomena populisme politik. Bahwa kekuatan-kekuatan politik populis mampu mengaduk-aduk emosi masyarakat ke arah sentimen emosional, persisnya sentimen primordial atau identitas, yang pada akhirnya membuat mereka turun jalan. Kelompok populisme sayap kanan Eropa, misalnya mengumbar isu anti imigran dan anti Islam. Mereka memanfaatkan sosmed tentunya. Bahkan para kelompok teroris, kalangan Islam radikal, juga memanfaatkan sosmed untuk perekrutan dan propaganda.
Fenomena politik pasca-kebenaran, yang mengobrak-abrik nalar demokrasi, menguatkan politik identitas, antipakar, abai kebenaran ilmiah, provokatif. Ketika kebenaran tertimpa pasca-kebenaran, maka massa politik bisa bergerak seperti zombie. Dalam konteks ini, elite memanfaatkan pasca-kebenaran untuk kepentingan politiknya. Bahkan, dengan pendekatan populis, dia bisa menjadi sosok yang fasistik.
Inilah yang dikhawatirkan oleh Madeleine Albright, Fascism: a Warning (2018). Dia merasa, bangkitnya pasca-kebenaran dalam politik yang bahkan mengagetkan Amerika Serikat dengan terpilihnya Donald Trump, merupakan peringatan serius bagi umat manusia pada bahaya fasisme. Ia mengingatkan pengalamannya ketika menjadi korban fasisme di dan hijrah ke AS.
Eksesifnya politik pasca-kebenaran, membuat tokoh jahat, setidaknya yang berpikiran jahat, mampu tampil dan meraup banyak dukungan politik dan menang dalam pemilu. Formula pasca-kebenaran, pemelintiran isu, pembolak-balikan informasi, pengulangan-ulangan hoaks, memberi peluang bagi tokoh jahat, atau meminjam istilah Nurcholish Madjid tempo dulu sebagai “setan gundul” yang fasis, diyakini, dipersepsikan sebagai tokoh baik dan penyelamat masa depan.
Era pasca-kebenaran sekarang, prosesnya melibatkan banyak orang, tak hanya dari sisi ranah penguasa atau kekuasaan. Kalau dalam potongan syair Perahu Retak Emha Ainun Nadjib menyebut keherannyan mengapa yang “benar disalahkan”, yang “salah dibenarkan”, dalam konteks kebenaran kekuasaan. Tetapi dalam konteks pasca-kebenaran, tak hanya penguasa yang berpotensi demikian.
Di era pasca-kebenaran ini, semua orang, bahkan orang baik sekalipun, bisa berpotensi “membenarkan yang salah” dan “menyalahkan yang benar”.

*Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta.

Esais, Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Naasional Jakarta, Pengurus Pusat HIPIIS