
Seperti Pak
Aku rasa, Mbok betul: aku mirip Pak
Kulitku tetap putih, meski aku bermain di bawah matahari
sepanjang siang
Rambutku juga tetap lurus dan kaku seperti rambut Pak
Biar hampir setiap malam diikat dengan kertas koran
dan karet, rambutku cuma bisa berombak dan berbelok-
belok selama satu, dua jam saja. Setelah itu kembali lurus
seperti lidi. Dan mataku—seperti kata Mbok—selalu hilang
kalau aku tertawa. Persis seperti mata Pak.
(Na Willa, Rumah dalam Gang, Reda Gaudiamo 2018)
Terakota.id–Reda Gaudiamo tidak menuliskan kisah Na Willa. Ia menyenandungkannya, Sang penulis adalah seorang penyanyi, pemusik, dan akhirnya penulis cerita. Ia bernyanyi, berduet bersama Ari Malibu di AriReda. Ia menyanyikan musik bergenre country, balada, dan beberapa kali memusikalisasikan puisi Sapardi Djoko Damono, Emha Ainun Nadjib, Acep Zamzam Noor, dan Ags. Arya Dipayana.
Sambungan paling kentara antara genre musik yang dinyanyikan dan cerita yang dituliskan Reda, terpampang dengan jelas dalam bait-bait cerita Na Willa Serial Catatan Kemarin (2012) dan Na Willa Rumah dalam Gang (2018). Apa sebenarnya bentuk dua serial yang merentangkan cerita gadis cilik bernama Na Willa? prosa lirik atau lirik (tanpa) musik?
Sila, kita bisa menamai dengan bebas gaya menulis cerita yang ditampilkan Reda dalam cerita itu. Na Willa, Willa, adalah nama gadis cilik, tokoh utama cerita. Willa tinggal di Surabaya. Rumahnya ada di salah satu gang. Setiap kisah dibuat dalam satu bab. Ditulis mirip bait-bait puisi bebas. Kisah Na Willa di rumah bersama Mak, Pak, berikut Mbok hangat untuk dibaca.
Cerita Willa bersama temannya, Farida dan keluarganya, ringan seperti pisang goreng yang dikudap bersama teh hangat di petang hari. Pengalaman Willa di sekolah dengan kawan-kawan dan bu guru Juwita lunak seperti potongan kaastengel yang gampang meremah saat diangkat dari toples. Cerita seru Willa dengan tetangga-tetangganya yang rupa-rupa dalam gang serupa naik jalan tol. Wuuush…bebas hambatan.
Di tangan Reda, cerita anak diantarkan sebagai musik balada, puitik. Balada merujuk pada jenis musik dengan lirik berkisah. Kisah kehidupan Willa di era 80 an dalam sebuah gang, di sebuah kampung. Reda merajut cerita Na Willa, serupa menulis lirik lagu. Identitas sebagai penulis syair lagu, penyanyi, sekaligus pemusik, yang melekat pada diri Reda membuat cerita Na Willa terbaca melodius. Kalimat kisahannya meniti tangga nada, diksi sederhana menimang irama musik.
Willa berupaya mengenali diri dengan mengidentifikasi penampilan fisik orang-orang terdekatnya. Ia mula-mula ingin seperti ayahnya yang tinggi, agar tak perlu kursi ketika meraih mainannya di rak tinggi. Ia ingin seperti ayahnya yang jenjang supaya dapat leluasa menggantung gambar di dinding. Meski ingin setinggi ayahnya, Willa ingin rambutnya ikal dan melingkar-lingkar seperti rambut ibunya.
Reda membuka problem Willa dengan masalah inti yang selalu jadi pertanyaan anak-anak. Mereka akan tumbuh mirip siapa kelak? Akankah mereka bisa setinggi ayah? Seperti apa rambut mereka kelak? Seperti milik ibu atau ayah? Pertanyaan-pertanyaan itu membuka lembar pertama kisah buku pertama cerita Na Willa. Ketika mendapati rambutnya lurus seperti sang ayah, Willa tidak puas, sebab ia lebih ingin rambutnya tumbuh ikal dan berombak seperti milik ibunya.

Ketika Willa mendengar dari Mbok pengasuhnya bahwa seorang anak perempuan akan tumbuh cenderung seperti sang ayah dan anak lelaki seperti ibunya, ia protes pada Mbok. Ia ingin tumbuh setinggi ayahnya tetapi dengan rambut bergelombang seperti ibunya. Willa bahkan ingin menyimpan celana panjangnya (yang ia identikkan dengan pakaian anak laki-laki) agar rambutnya bisa tumbuh seperti ibunya.
Willa dibuka dengan konflik dasar terkait identitas. Di usia 7-12 tahun, atau di usia Sekolah Dasar, anak-anak suka membandingkan diri sendiri dengan orang-orang yang ada di sekitarnya, baik dengan oarng tua maupun teman-teman sekolahnya. Mereka sudah tertarik memperhatikan kehidupan praktis sehari-hari, termasuk menyangkut relasi dengan lingkungan sekolah, lingkungan rumah, dan kebiasaan dan cara hidup teman-teman yang berbeda dari dirinya. Pada aspek perkembangan kognitif, anak-anak seusia Willa mampu memahami serta memecahkan masalah yang bersifat konkrit.
Willa di tangan Reda menghadirkan ingatan kolektif generasi yang hidup di era 80 an sebagai anak-anak urban yang hidup di gang kampung kota besar. Hidup bersama dengan teman-teman berbeda agama tanpa sekat yang saat ini kian tebal akibat menguatnya politik identitas dan residu Pemilihan Presiden yang membelah masyarakat. Pertemanan Willa dan tetangganya Farida, yang berbeda agama, hangat dan asyik tanpa ada drama curiga, apalagi phobia.
Di sekolah Willa bermain dengan teman-temannya, Asih, Joko, Endang, Gatot, Sumi, Sri, dan Eko, bersama ibu guru Juwita. Bu guru yang tak memarahinya ketika ia minta pulang karena bosan di sekolah. Bu Juwita berhasil membujuknya untuk lupa pulang ke rumah dengan meminjamkan buku bacaan yang menarik hati Willa. Bu Juwita berhasil membuat Willa terus bertanya dan ingin tahu pada banyak hal. Anak-anak adalah pertanyaan, anak-anak belajar dari pertanyaan yang dilontarkannya.
Reda mengisahkan Willa benar-benar dalam kacamata dan alam berpikir anak-anak. Jika mencermati tinjauan para pembaca tentang serial Na Willa, rata-rata menyatakan bahwa cerita Willa mewakili pengalaman dan ingatan kolektif tentang masa kecil mereka. Masa kecil yang senang dan tidak tabu mengisahkan kesedihan serta kekecewaan karena tak bisa membeli barang yang diinginkan.
Masa kecil yang boleh ingin tahu tentang apa saja tanpa rasa takut. Kisah Willa akhirnya menjadi peneguh ingatan kolektif generasi anak-anak tahun 80 an. Kisah anak-anak yang mewakili rupa dan bangun ruang masa kecilnya. Dua serial Na Willa ini memang bukan kisah anak-anak hari ini. Kisah keseharian Willa saat itu, bukankah menjadi refleksi untuk penulis cerita anak, kritikus sastra, peminat sastra, guru, pustakawan, dan orang tua untuk membiasakan diri menyimak lebih banyak dari anak-anak, dan tidak menjadi orang dewasa menyebalkan, yang merasa paling paham dan serba tahu apa yang terbaik untuk anak-anak?

Dosen Universitas Islam Malang, penulis dan Penikmat Sastra