Mutiara Hikmah Seekor Beruang Kutub

Pengunjung Kebun Binatang Margasatwa Lehe Ledu di Chongqing, China dimasukkan ke dalam kerangkeng untuk melihat satwa. (Foto : NYpost.com).
Iklan terakota

Terakota.id–Tanpa mukjizat sebagaimana seorang nabi, mustahil kita dapat mengerti bahasa binatang. Anjing menggonggong. Dan Kita menangkapnya sebagai suatu ancaman. Padahal, belum tentu. Bisa jadi, ia mengajak berkenalan. Di pagi yang dingin dan malas, kicauan burung di sangkar beranda rumah seakan terdengar bagai nyanyian keceriaan. Merdu suaranya mengajak kita duduk membunuh waktu lebih lama lagi dan lagi. Padahal juga belum tentu. Bisa jadi, suaranya mengandung kemuraman rasa ingin kawin dan terbang bebas.

Namun, melalui tangan pengarang bahasa-bahasa binatang yang tak kita pahami itu dapat diterjemahkan dengan sangat manusiawi. Bahkan mereka akan tampil sebagai makhluk yang berbicara, berpikir, jatuh cinta, menangis, membenci, dendam, haus kuasa, dan sebagainya. Telah banyak pengarang yang menyajikan dunia rekaan dan menjadikan binatang sebagai tokohnya.

Fariduddin Attar, seorang sufi sekaligus penyair berkebangsaan Persia, kini Iran, mengarang Mantiqu’t-Thair atau Musyawarah Burung. Ia menjadikan burung-burung di seluruh dunia, baik yang dikenal maupun tidak dikenal, sebagai sarana menyuguhkan hikmah. Jalinan cerita burung-burung tersebut laksana manusia-manusia yang menapaki perjalanan spiritual dengan jasad yang fana.

Begitu pula Kalilah wa Dimnah yang berisi kisah-kisah hewan dan burung. Buku diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi Hikayat Kalilah dan Dimnah. Buku awalnya dikarang seorang filsuf dan pemuka Brahmanisme di India, Bedapa, atas permintaan rajanya. Raja bernama Raja Debsyalem. Debsyalem menganggap Bedapa sebagai orang arif dan satu-satunya orang yang berani mengkritik dan menasehatinya. Debsyalem yang mulanya kejam, tiran, dan lalim, akhirnya luluh dengan kejernihan sikap Bedapa. Ia pun akhirnya memohon disusunkan kitab yang mencakup kisah-kisah serius, kisah-kisah humor, hikmah, dan juga filsafat (Ibn Al-Muqaffa, 2018: 58).

Sebagai pembaca, saya juga larut mengikuti arus cerita Animal Farm karyaGeorge Orwell.Hingga lupa bahwa mereka yang memberontak di peternakan Mr Jones adalah para binatang ternak. Binatang-binatang itu digambarkan sedemikian hidup. Mereka bersolidaritas, melakukan pembangkangan, dan pada akhirnya berhasil merebut kendali atas peternakan. Selepas itu, para binatang seakan berada pada situasi “perjuangan yang dikhianati” oleh si babi Napoleon yang mirip dan bahkan lebih kejam dibandingkan Mr Jones.

Melalui binatang-binatang tersebut, Orwell hendak menyamarkan kritiknya atas komunisme yang setelah merebut kekuasaan dari kapitalisme (Mr Jones) ternyata juga eksploitatif dan kejam. Hal ini diumbar melalui sosok babi Napoleon yang dapat diibaratkan menghisap keringat bangsanya sendiri, sesama binatang. Meski tak setuju dengan pesan yang disamarkannya, tapi sulit rasanya mengelak dari kejeniusan Orwell menyusun cerita.

Di atas tungku kreatifitas para pengarang, binatang dimasak menjadi karya yang renyah dan bergizi. Demikian halnya dengan Kenang-kenangan Mengejutkan Beruang karya Claudio Orrego Vicuña, seorang penulis dan politisi Partai Kristen Demokrat Cile. Novel tipis yang diterjemahkan Ronny Agustinus dan terbit November 2018, memuat permenungan seekor beruang kutub yang jauh melampaui silang mulut antara cebong dan kampret. Dua spesies yang dilekatkan kepada para pendukung dua serigala, eh maaf,maksudnya dua kandidat yang berebut kursi presiden.

Binatang yang Malang

Anda pernah berkunjung ke kebun binatang? Menghibur diri dengan menyaksikan beragam binatang, melempar makanan, atau berswafoto dengan latar kandang mereka. Kita bergembira menikmati kelucuan juga kebuasan mereka. Tapi, pernahkah tatapan mata, suara, atau bahasa tubuh mereka kita fahami. Beberapa kali Saya berkunjung ke kebun binatang dan mengabaikan fakta bahwa sebenarnya mereka tengah dikerangkeng dan jadi bahan tontonan.

Baltazar, beruang kutub dalam novel ini mengajak kita merenungkan hal itu. Ia masih berusia muda ketika ditangkap secara keji oleh orang-orang yang disebutnya sebagai “penjelmaan iblis.”. Orang-orang itu menjaring dan mengirimnya ke kebun binatang. Baltazar dipaksa tinggal di kandang, di balik jeruji dan menjadi objek tontonan. Keliarannya dirampas. Ia dipaksa berpisah dengan orang tua, keluarga, sahabat, dan seekor beruang betina tempat cinta mudanya bersemi. Gumpalan-gumpalan es dan indahnya suasana di kutub tinggal sebatas kenangan yang dirindukan oleh Baltazar.

Vicuña membangun karakter beruang ini amat manusiawi: bisa berpikir, merasakan kesedihan, mengenal apa itu cinta, dan sifat-sifat lainnya. Dengan cara itu, mungkin Vicuña sengaja ingin menggoncang kesadaran pembaca. Bahwa mereka adalah hewan yang liar, butuh kawin dengan sesamanya, punya keluarga sebangsa mereka, dan punya habitatnya sendiri. Bayangkan, betapa menderitanya seekor hewan yang biasa berlari di alam terbuka, berenang dalam lautan es, berjemur di terik pagi, tiba-tiba dikandangkan dan dikerangkeng demi memenuhi kepuasan manusia akan hiburan.

Singa berburu di kawasan padang sabana hutan Afrika. (Foto : BBC).

Setidaknya, itu pemaknaan lapis pertama yang dapat saya tangkap selepas merampungkan buku ini. Namun, sebagai sebuah alegori yang memakai permenungan seekor beruang kutub, novel ini mengandung gemuruh pemaknaan yang lebih dalam. Seperti halnya pada Animal Farm, Musyawarah Burung, maupun Kalilah wa Dimnah.

Mengutuk Kediktatoran

Vicuña menerbitkan novel ini pada 1974, setahun setelah kudeta militer terhadap Salvador Allende. Kudeta militer ini bersandi Operation Jakarta, diambil dari keberhasilan penggulingan terhadap Sukarno dan pembantaian massal terhadap kaum kiri pada 1965-1966. Mulanya, Partai Kristen Demokrat Cile tidak menganggap kudeta militer tersebut sebagai sesuatu yang bermasalah.

Secara ideologi dan pilihan politik, mereka memang tidak sepaham dengan Allende. Sehingga, kudeta militer bagi mereka adalah jalan pintas untuk meraih kursi presiden. Tidak seperti yang mereka bayangkan. Militer tidak segera menyerahkan pemerintahan kepada Partai Kristen Demokrat atau kalangan sipil. Malahan, dengan restu Amerika, Jendral Augusto Pinochet tampil sebagai presiden. Pinochet seperti halnya Soeharto. Ia menjadi diktator selama 17 tahun dengan sebagian besar kabinetnya diisi oleh kalangan militer.

Berdasarkan konteks itulah, novel ini dianggap sebagai alegori politik atas ketertindasan dan kediktatoran. Baltazar yang dikurung di dalam kandang, merenungkan banyak hal. Terutama terkait makna kebebasan, kebenaran, keadilan, keegoisan dan kasih sayang.

Baltazar sempat dibuat frustasi dengan apa yang ia alami. Ia merutuki keterpenjaraannya. Jeruji besi telah merenggut kebebasannya. Pelipur kesedihan hanya ia dapatkan dari wajah-wajah polos dan ceria anak-anak kecil. Dalam satu momen yang melibatkan seorang gadis kecil yang kedinginan dan menyedihkan, batin Baltazar berontak. Ia ingin keluar dan menolong si gadis kecil. Tapi jeruji menghalangi.

“Belum pernah aku merasa sebenci itu pada kurunganku selain pada hari itu. Barangkali ada hikmahnya. Dengan cara itulah aku mengerti bahwa hanya dengan menjadi bebas kau bisa melayani mereka yang tersisih oleh ketidakadilan dari sesama mereka sendiri,” batin Baltazar (2018: 22).

Baltazar juga membenci perlakuan kasar dan congkak dari penjaga kandangnya. Dalam permenungannya, Baltazar berhasil menyimpulkan bahwa superioritas dan dominasi penjaga kandangnya terletak pada sikapnya yang sabar. Karena itulah, pada saatnya nanti ia harus lepas kendali dan membalas. Dan momen itu ia dapatkan ketika si penjaga berlaku kasar, mencambuk muka seorang anak di depan kandangnya. Baltazar marah, mencekik, dan mengguncang-guncang tubuh penjaganya. Setelah itu: “Ia tidak pernah lagi melewati kandangku dengan gaya tuan besar.”

Setelah merasa tidak mungkin keluar dari kerangkengnya, Baltazar menemukan kebebasannya ketika dapat berpikir dan terus berpikir. Sejak itu, semakin lama Baltazar semakin asik bermain dengan pikirannya sendiri. Sampai kemudian ia menyimpulkan bahwa dirinya telah menemukan sesuatu yang istimewa. Yang karena penemuannya itu, kuasa penjaga dan kerangkeng atas dirinya sudah tidak ada artinya.

Ia menemukan bahwa pikirannya masih bebas dan berdaulat. Dengan begitu, ia bisa menelanjangi kepalsuan dan kerancuan, memikirkan secara mendalam realitas-realitas baru yang ditemui, dan menundukkan apapun di dalam benaknya. Baginya, sekuat apapun jeruji besi tidak akan dapat menghadapi kebenaran yang terhampar di sekelilingnya. Kekuasaan bagi Baltazar, hanya mampu mengurung fisiknya tapi tidak dapat memberangus pikirannya.

“Mereka takkan pernah bisa lagi mengontrol reaksiku terhadap keindahan, cinta, dan keadilan,” batin Baltazar.

Jaring, kerangkeng, dan penjaga kandang memantulkan watak rezim diktator Pinochet. Rezim yang merenggut kebebasan dan hak seseorang untuk berpikir. Melalui novel, Vicuña secara samar juga mengritik kalangan yang tidak biasa berpikir dan melawan akan mematuhi begitu saja perintah. Tak peduli sebengis apapun perintah itu. Persis seperti penjaga kandang yang menyedihkan tapi seolah-olah berkuasa.

Sayangnya, kebebasan yang dipikirkan Baltazar bisa dikatakan paradoks dan ilusif. Tentu suara Baltazar hakikatnya ialah suara pengarangnya. Sehingga, sangat mungkin Vicuña yang berlatar belakang politisi dari partai berideologi sosial-demokrat sengaja menyodorkan tafsir kebebasan versi mereka.

Dikatakan paradoks dan ilusif karena kebebasan yang dipercayai oleh Baltazar individual sifatnya. Atau dengan kata lain berwatak liberal. Kebebasan dianggap bisa diraih ketika berada di luar kendali kerangkeng (kediktatoran) dan dapat berpikir secara bebas. Bahkan, dalam kondisi pesimistis kebebasan berpikir di dalam kerangkeng pun dianggap lebih dari cukup.

Hal ini mirip dengan ide kebebasan kaum liberal atas feodalisme, termasuk menolak perbudakan, tapi kemudian acuh terhadap formasi baru setelahnya, kapitalisme. Dalih kebebasan individu inilah yang digunakan oleh segelintir kalangan atau orang untuk mengaburkan daya destruktif mereka atas kebaikan umum atau keadilan substantif. Kebebasan individual juga mengesampingkan tesis yang mengatakan bahwa kebebasan tidak dapat diwujudkan sepanjang masih ada individu manusia lainnya hidup dalam penindasan.

Akhir kata, sebagai pembaca Saya berterima kasih kepada para pengarang. Dan tulisan ini sebagai bentuk ucapan terim kasih itu. Dalam pengantarnya, penulis novel ini berpesan: “Maka saya minta kepada Anda semua, pembaca budiman, untuk membaca kata-kata Baltazar dan mencapai kesimpulan Anda sendiri dari kisah yang menakjubkan ini.”Selamat membaca.