
Terakota.id—Folk Music Festival 2017 di lapangan Kusuma Agrowisata Kota Batu, Jawa Timur dibanjiri penonton, Sabtu 15 Juli 2017. Lebih dari 5 ribu pasang mata menikmati alunan musik syahdu sambil merasakan kesejukan udara dan keindahan panorama alam. Penonton dimanjakan 14 penampil terdiri dari grup band, duo dan solois selama 14 jam non stop. Dimulai sejak pukul 10.00 WIB sampai 24,00 WIB.
Panggung ditata apik, dengan latar Gunung Panderman nan hijau. Sekeliling lapangan dipasang lampu taman, bendera warna-warni semakin mempercantik panggung. Meja dan kursi makan taman berjajar berderet di depan tenda yang menjual aneka kudapan, makanan dan minuman segar. Selain menonton panggung pertunjukan, penonton juga bisa menikmati makanan khas. Salah satunya nasi goreng apel.
“Perpaduan alam yang indah, udara sejuk dan musik yang asyik,” kata Creative Director FMF 2017, Anitha Silvia. Sejumlah tenda juga menyediakan aneka cindera mata yang bisa dibeli para penonton. Lapangan dengan rumput yang terawat, sebagian membentangkan alas berupa karpet dan plastik. Mereka duduk bersimpuh sambil menikmati alunan nada dari berbagai musik akustik yang memukau.
Meski sinar matahari terik menyengat, sekitar seratusan yang sebagian besar anak muda tetap tak beringsut. Mereka menikmati setiap pertunjukan. Band asal Malang, Padi Tadi membuka pertunjukan. Band yang getol menyuarakan isu lingkungan hidup ini menyelesaikan proses rekaman di Ranu Pani. Sebuah danau di lereng Gunung Semeru. Sebagian penjualan album disumbangkan untuk konservasi Ranu Regulo yang terletak di atas Ranu Pani.
Menampilkan empat lagu sekaligus, salah satunya lagu berjudul kembara yang dijadikan soundtrack sebuah film indie di Malaysia. Gemericik air dan suara burung, terdengar tipis di sepanjang lagu. Sambil berkolaborasi dengan instrumen tradisional asal Kalimantan, Sapek. “Lirik dan lagu tercipta saat mendaki Gunung Semeru,” kata vokalis Tadi Pagi, Yulius Nugroho Putra alias Benu.

Penonton datang dari berbagai daerah, tak hanya kota di Jawa Timur. Sejumlah penonton datang bersama-sama. Seperti mahasiswi UPN Veteran Yogyakarta, Aulia Bhekti yang datang bersama temannya Yudith. Tertarik musik folk karena lirik yang sarat nilai dan puitis. Musik mendayu penuh makna, tak hanya menyuarakan cinta tetapi juga kritik sosial, dan menyuarakan isu lingkungan hidup.
“Pengen tahu langsung penampilan Tadi Pagi. Lagunya menarik dan keren,” katanya. Tak puas hanya mendengarkan lagu-lagu album perdana Padi Tadi di aplikasi musik. Aulia ingin menyimak dan mendengarkan secara langsung. Dia kepincut lagu-lagu karya Pagi Tadi sejak awal mendengar di soundcloud.
“Liriknya jujur dan kritis,” katanya. Musik folk, katanya, memiliki penggemar tersendiri. Mereka rela berburu kepingan cakram padat maupun cinderamata. Apalagi sebagian besar folk diedarkan secara indie. Folk, katanya, tetap idealis, independen dan kritis.
Penonton tertib, duduk bersimpuh sepanjang pertunjukan. Sehingga penonton lain nyaman menikmati musik. Tak hanya anak muda, sejumlah manula juga menikmati sepanjang pertunjukan musik folk. Bahkan sebagian membawa serta anggota keluarganya. Sepertia Radian asal Surabaya, sengaja datang bersama istri dan anak pertamanya yang berusia dua bulan.
Radian duduk selonjoran, anaknya duduk di kursi dorong. Selain sebagai penikmat musik folk, Radian sengaja mengisi libur akhir pekan di Batu bersama keluarga. Sehingga waktunya tepat, menonton konser sambil berlibur.
“Saya dan istri suka musik folk, keren. Lagunya mendayu, liriknya kadang mengandung kritik sosial,” ujarnya. Lapangan tetap terjaga kebersihan, penonton tertib membuang sampah di tempat sampah yang tersebar di sejumlah titik.
Berikutnya, duo Manjakani dan solois Irine Sugiarto tampil dengan penuh semangat. Pemenang Gang of Folk Band Audition, sebuah audisi bagi musisi pendatang baru tampil di panggung FMF 2017 ini membuat penonton betah di depan panggung. Meski terik sinar matahari menyengat kulit.

Manjakani merupakan duo asal Pontianak, Taufan dan Nabila. Sepasang kekasih ini tampil penuh percaya diri, bermodal dua gitar akustik. Mereka juga menyediakan cinderamata berupa cakram padat untuk para penonton. Lagu asamaradana, dan asam pedas menjadi lagu andalannya. “Lagu kisah bocah, kami dedikasikan untuk anak-anak yang tak dapat haknya. Bersekolah dan bermain,” ujar Taufan.
Irene Sugiarto juga tampil dengan lagu andalannya, kumpulan kisah. Lagu ini merupakan lagu demo yang direkam di dalam kamar. Penyanyi asal Samarinda ini diiringi band lengkap. Lagu bertajuk altokomulus kelabu menjadi lagu pamungkas Irene.
Tempik sorak bergemuruh saat Iksan Skuter tampil di atas panggung. Bagi publik Malang, Iksan merupakan musisi yang menjadi simbol perlawanan dan aktif menyuarakan kritik sosial dan isu lingkungan hidup. Tampil dengan iringan gitar akustik, Iksan menyanyikan doa ada di mana-mana yang diambil dari album keempatnya. Disusul serigala petarung, dan lagu petani.
“Lagu ini saya dedikasikan kepada para petani . Melawan korporasi raksasa yang serakah,” katanya. Iksan juga tampil dengan lagu doakan ayah, dan shankara. Shankara, katanya, berasal dari bahasa sanksekerta artinya keberuntungan.
“Indonesia membawa keberuntungan. Seluas Eropa. Dikelilingi gunung yang teduh dan anggun,” ujar Iksan. Lagu folk yang awalnya mendayu, berubah saat Iksan tampil menjadi menghentak-hentak. Iksan menutupnya dengan lagu partai anjing. Lagu ini menjadi salah satu lagu yang menjadi kampanye antikorupsi berisi lagu kompilasi yang dirilis Indonesia Corruption Watch (ICW).
Usai adzan maghrib, duo asal Surabaya, Silampukau tampil di atas panggung. Aksi panggung Silampukau, memukau para penonton yang setia menanti. Beranjak malam, penonton terus berdatangan dan semakin memadati lapangan. Panggung dengan latar gunung Panderman juga semakin eksotis, saat senja datang. Langit bertabur cahaya kuning keemasan, saat matahari tenggelam di ufuk.
Silampukau membuka malam dengan tembang-tembang andalan yang ada di album Dosa, Kota, & Kenangan. Termasuk lagu doa 1 dan puan kelana. Panggung semakin semarak saat, Danilla Riyadi, Bin Idris alias Haikal Azizi. Penonton ikut berdendang dan bersenandung saat Danilla bernyanyi. Danilla menyapa penonton, dan mengaku bergembira tampil di FMF 2017.
“Hari ini tampil perdana setelah puasa. Selama bulan puasa dompet tipis,” katanya. Dengan suara alto yang khas, Danilla berhasil membuat malam semakin hangat dan mengusir hawa dingin di Batu malam itu. Duo AriReda tampil dengan musik puisi mampu menebus kerinduan penonton. AriReda membawa suasana semakin akrab dengan lagu hujan di bulan Juni dan aku ingin. Membuat penonton turut bernyanyi bersama.
Penonton diajak sedikit bergoyang dengan Monita Tahalea yang membawakan lagu yang nge-beat. Termasuk lagu hai dari single terbarunya. Semakin malam, penonton semakin dibuai lagu-lagu folk yang aduhai. Mereka menunggu, tiga penampilan terakhir yakni Float, Payung Teduh dan Stars and Rabbit.
Tanpa henti para penonton ikut bernyanyi sepanjang lagu-lagu yang dipersembahkan Payung Teduh. Seperti angin pujaan hujan, resah, dan untuk perempuan yang sedang dalam pelukan. Stars and Rabbit tampil sebagai penutup. Vokalis Elda Suryani membawa penonton ikut bernyanyi dan bergoyang. Saat menyanyikan lagu man upon the hill, para penonton ikut menggoyangkan badan untuk mengusir udara yang semakin dingin.
Malam semakin larut, Stars and Rabbit bersiap turun panggung. Namun penonton bersorak sorai meminta Elda untuk kembali bernyanyi. Akhirnya, Stars and Rabbit kembali tampil dengan satu lagu penutup untuk pengantar pulang. “Folk Music Festival bukan pagelaran music semata, atau selebrasi maupun euphoria. Musik folk ada jiwa, jiwa yang harus dijaga,” kata pemilik Soledad and The Sisters, Alek Kowalski selaku penyelenggara FMF 2017.
Jiwa yang bergelora, katanya, penuh semangat spirit folk ada di dalam diri setiap orang. Yakni spirit kehangatan, kesederhanaan dan perlawanan.

Jalan, baca dan makan
[…] tentang Sendi. Ki Demang, Ferdinand dan Ridho Saiful dari WALHI Jawa Timur, Danto Sisir Tanah, Iksan Skuter, menjadi […]