
Terakota.id–Puluhan anak-anak tekun memainkan beragam instrumen gamelan Jawa. Instrumen gamelan mengiringi seorang bocah yang tengah berlatih menjadi dalang di Sanggar Taruna Krida Rasa (Takir). Sanggar menggelar latihan pedalangan saban pekan, setiap Jumat siang. Sedangkan karawitan setiap Selasa.
“Nama sanggar in memiliki arti pemuda bergerak dalam rasa melalui nada dan irama,” kata pimpinan sanggar, Dennis Suwarno. Mereka aktif berlatih untuk memainkan wayang kulit atau wayang purwa, khas kesenian Jawa. Sebanyak 12 anak mulai usia pra sekolah sampai Sekolah Menengah Atas (SMA) tekun berlatih.
Sekolah pedalangan ini diselenggarakan sejak setahun lalu di kediaman Suwarno Lesanpuro Gang 12 RT 5 RW 9 Nomor 16 Kelurahan Lesanpuro, Kedungkandang, Kota Malang. Anak-anak dan remaja yang belajar berlatih menjadi dalang berasal dari berbagai daerah di Kota Malang dan Kabupaten Malang. Tahap awal, mereka terlebih dulu mengenal cepengan (pegangan), lampahan (langkah/jalan) dan karakter wayang.
Tak peduli usia, katanya, jika belum pernah belajar wayang kulit mereka harus memulai mengenal karakter wayang. Misalnya Gatot Kaca dikenal karakter wayang dugangan, yakni langkahnya lebar. Sedangkan Kresna, Janaka, dan Duryadana, merupakan wayang bokongan. “Langkah pendek dan ada pantatnya,” ujarnya.
Karakter wayang dikenalkan dulu, berapa pun usianya. Jika rajin berlatih selama empat kali pertemuan sudah bisa mengenal karakter wayang. Cara memegang wayang, katanya, merupakan pondasi awal seorang dalang. Jika cara memegang wayang salah, karater wayang tak muncul. “Yang muncul bermain wayang. Setiap orang tak sama,” katanya.

Rata-rata setiap siswa, membutuhkan waktu antara enam bulan sampai setahun mengenal karakter wayang. Hingga dia siap untuk mengikuti pelajaran lebih lanjut. Karena karakter wayang pondasi awal seorang dalang, maka harus belajar sungguh-sungguh. Pertama mengenalkan dulu, baru mengakrabi, dilanjutkan mempelajari wayang.
Dia memiliki seorang murid dari Turki yang tinggal di Nongkojajar, Pasuruan. Murid pedalangan bernama Chandra, belajar sejak SD sampai kuliah. Namun, dinilai tak benar dalam cara memegang wayang. Sehingga karakter wayang tak muncul. Padahal, dia mengerti dan memahami cerita dan iringan. “Kalau pegang wayang salah, karakter wayang tak muncul. Tak bisa menghidupkan wayang,” katanya.
Kemudian mereka berlatih jejeran yakni adegan pembuka sidang raja. Setiap latihan pedalangan, mereka juga wajib mempelajari iringan karawitan dan gamelan. Meliputi jenis iringan wajib seperti Srepeg, Sampak, Ayak dan Ladrang. Dalang, ujar Suwarno, harus mengerti karakter masing-masing instrumen gamelan, kendang, rebab dan sebagainya.
“Seorang dalang sebaiknya menguasai semua instrumen. Kalau bisa memainkannya,” ujarnya.
Mahabarata, Ramayana dan Panji
Selanjutnya, mereka harus menghapal cerita epos Ramayana atau Mahabarata. Menghapal inti cerita, kemudian menyusun adegan dan dilanjutkan menentukan dialog antar wayang di setiap adegan. Sementara untuk wayang Malangan menggunakan epos Panji Asmara Bangun.
Berapa lama berlatih sampai mahir? Tergantung individu siswa. Apakah dia rajin belajar dan memiliki kepekaan terhadap karakter wayang. Suwarno juga memperhatikan perkembangan psikologi anak didiknya, seorang calon dalang tak boleh ada tekanan saat latihan. Termasuk ketakutan atas diri sendiri. Contohnya, takut salah atau keliru saat memegang wayang.
“Harus bebas. Di panggung harus dilatih itu.”
Keterampilan setiap murid, kata Suwarno, berbeda. Ada yang belajar sejak SD sampai SMA namun tak berani tampil di depan publik. Sedangkan ada yang belajar mulai SMP, saat SMA sudah berani tampil. “Masalah mahir atau tidak belakangan. Yang penting berani tampil dulu, itu luar biasa,” katanya.
Setiap murid pedalangan diberi kesempatan tampil pada Oktober setiap tahun dalam bentuk Parade. Gelaran rutin Parade direncanakan dua kali dalam setahun. Setidaknya dalam Parade ini, mereka bisa catur atau dialog pewayangan.
Suwarno tak menuntut banyak, asal para muridnya berani tampil. Sedangkan kreativitas dengan memasukkan cerita kekinian juga bisa dilakukan. Misalnya dalam cerita Mahabarata diramu dengan kondisi cerita masa modern. “Masing-masing kreativitas berbeda,” ujarnya.

Untuk mendekatkan dengan penonton, dalang bisa menjelaskan cerita melalui adegan punakawan atau gara-gara. Lantaran sebagian anak muda tak mengetahui dan memahami bahasa pengantar yang disampaikan dalang. Sehingga dalang bertugas menerangkan cerita dan nilai-nilai yang disampaikan agar penonton mudah memahami.
“Dialognya bahasa Jawa krama inggil, tingkatan paling tinggi dalam tata bahasa Jawa. Sekarang jarang yang bisa menuturkan. Putus generasi,” ujarnya. Lantaran saat ini Bahasa Jawa tak diajarkan di sekolah. Sehingga sebagaian tak bisa memahami wayang karena tak paham bahasa pengantardalam krama inggil.
Mereka tak kenal sama sekali bahasa daerah sehingga sulit mengenalkan seni dan budaya leluhur. Harapan satu satunya, katanya, dikembalikan lagi pelajaran bahasa daerah. Sebab bahasa daerah penting untuk menjaga keberagaman, bhineka tunggal ika.
“Jika tak ada bahasa daerah? Apakah ada keberagaman? Generasi terputus. Kenapa? Tak usah saling menyalahkan,” ujarnya. Suwarno mengajak semua pihak untuk bersama-sama melestarikan bahasa dan kesenian Jawa. Setiap orang bekerja melestarikan sesuai kapastitas dan porsi masing-masing.
Seniman Serba Bisa
Suwarno menjelaskan awalnya, dia merupakan seniman yang khusus bermain instrument gedang, Mengiringi wayang, ludruk, tayub, dan tari. Lantas ia belajar beragam alat musik, hampir instrumen dikuasai. Agar saat mengiringi wayang, bisa bermain apik ia memutuskan belajar mendalang. Kursus pedalangan diselenggarakan Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Malang.
Saat belajar mendalang ia dicibir sejumlah seniman. Dianggap memainkan kendang belum benar sudah belajar instrument lain bahkan ikut kursus mendalang. Saat itu, ia menjadi pergunjingan di antara seniman tradisi. Mendiang guru karawitan, Almarhum Mustopo merestui langkahnya belajar dalang. Hingga lulus melalui ujian di depan penguji Pepadi.Setelah lulus, ia tak mendalang.
“Saya tak pernah cerita motivasi kursus dalang,” katanya. Lantas ia bergabung menjadi pelatih sekolah pedalangan yang diselenggarakan Sanggar Senaputra. Ia bersama Mbah Umbar dan Sumbur memiliki peran dan tugas berbeda. Suwarno khusus dodogan atau saat dalang mengetuk cempala ke peti atau kotak wayang, keprakan (pukulan cemapala di kaki dalang), dan iringan.
Ia sempat mengundurkan diri karena tak cocok dengan manajemen. Tak berapa lama Mbah Umbar meninggal. Lantas kursus pedalangan dibubarkan. Melihat itu, sejumlah muridnya anak berkumpul dan akhirnya memintanya untuk melanjutkan pedalangan. Sempat berpindah-pindah tempat diawali di Senaputra, kemudian di Taman Krida Budaya Jawa Timur, Kelurahan Ksatrian dan gedung Dewan Kesenian Malang.
“Sejak setahun lalu di rumah,” ujarnya. Belajar padalangan, katanya, merupakan memperlajari diri sendiri. Bagaiamana berkomunikasi dengan orang tua, sebaya, atau dengan orang yang usia lebih muda. Mengajarkan budaya sopan-santun, dan unggah-ungguh. Bukan untuk siapa-siapa, katanya, melainkan untuk diri sendiri.
“Orang Jawa memiliki budaya tinggi. Adiluhung,” ujarnya, Peradaban leluhur, ujar Suwarno, sudah tinggi. Sehingga harus dilestarikan. Jika tidak, orang asing bakal masuk dan mengklaim budaya warisan leluhur.Jika mengerti diri sendiri, katanya, pasti akan mengerti orang lain.
Seluruh alat musik tradisional dibeli sendiri, termasuk satu set gamelan. Meski dibeli secara kredit. Termasuk wayang yang digunakan anak-anak berlatih. Suwarno mengaku puas jika antara kualitas dan kuantitas peserta didiknya seimbang. Percuma kuantitas banyak tetapi kualitas tak terjaga.
“Sekarang kualitas naik tapi ada yang menurun. Tahun lalu bagus kualitasnya,” katanya.
Selain wayang pakem Solo, ia juga mengajarkan gaya wayang Malangan. Yakni gaya wayang dengan yang dikenal dengan Wayang Jekdong. Yang membedakan terletak pada iringan dan bentuk kendang. Selain itu, visual wayang berbeda. Lantaran wayang Malangan menggunakan epos Panji.
“Malang boleh bangga wayang Malangan diajarkan juga di ISI Solo,” katanya.
Selama 25 tahun mengajar pedalangan, Suwarno telah meluluskan puluhan anak. Salah satunya Ki Ardhi Poerboantono. Seorang dalang muda, yang terpilih sebagai pemuda pelopor 2009. Kini Ardhi menjadi salah satu dalang yang cukup terkenal di Jawa Timur.
Ki Ardi Purbo Antono dari Karate Kepincut Wayang
Salah seorang dalang Kota Malang, Ki Ardi Purbo Antono mengenang kepincut berlatih pedalangan di sanggar Senaputra Malang. Saat itu, ia berlatih karate. Saat latihan berbarengan dengan latihan dalang. Hatinya tertambat dengan suara gamelan, karawitan dan atraksi dalang cilik. Saat itu, usia sekolah dasar.
“Berhenti karate, ganti latihan dalang,” katanya. Ia mencintai kesenian wayang kulit sejak kecil. Lantaran ayahnya yang seniman lukis, suka mengajaknya menonton wayang.

Pondasinya, kata Ardi, orang tua. Belajar dalang bersama Suwarno sejak SD sampai SMA. Selepas SMP, awalnya dia hendak melanjutkan Sekolah Menengah Karawitan Indonesia di Surakarta. Namun orang tua melarang, berharap Ardi kecil sekolah di Malang.
Sehingga ia tetap belajar mendalang bersama Suwarno sembari bersekolah. Lulus SMA, dia melanjutkan kuliah di Universitas Negeri Malang jurusan seni tari. Padahal, awalnya ia ingin kuliah di Institut Seni Indonesia jurusan pedalangan.
Meski tak sekolah pedalangan, ia bisa membuktikan mampu menjadi dalang yang mumpuni di Kota Malang. Ardi mengenang dan tak bisa melupakan latihan vokal dengan bernafas di dalam air. Maklum lokasi latihan di antara kolam renang Senaputra. Latihan vokal menjadi pondasi bagi dalang untuk menampilkan karakter dalam setiap dialog yang ditampilkan.
Ia berpesan kepada anak muda yang belajar dalang sejak dini, agar serius. Tujuannya melestarikan seni tradisi wayang yang adi luhung. “Kalau bukan kita siapa lagi,” katanya mengakhiri wawancara.

Jalan, baca dan makan