monitor-dan-cerita-tentang-dinasti-politik
Ilustrasi : Manila Bulletin
Iklan terakota

Terakota.idTahun 90-an ada tabloid sangat populer. Ia anti mainstream. Di tengah media cetak yang berukuran panjang (9 kolom), ia berukuran 597 mm x 375 mm.  Kalau media cetak lain ditulis secara serius, tabloid ini ditulis dengan gaya populer. Gaya bahasanya kekinian dan khas masyarakat kebanyakan. Tak takut melawan bahasa baku dalam bahasa Indonesia.

Penampilannya juga unik. Dianggap mewakili selera anak muda. Bisa juga mewakili aspirasi, ambisi, dan nafsu mereka. Maka tabloid ini laris. Tak itu saja, laris karena tabloid ini berani mengumbar “Sekwilda” (sekitar wilayah dada) dan “Bupati” (buka paha tinggi-tinggi). Mengupas kehidupan artis.  Media ini terkenal dengan jurnalisme “lher”.

Mengapa begitu? Berdasar penelitian saya tahun 1996, setiap tampilannya  menyuguhkan gambar dalam cover yang mengarahkan asosisi pembaca pada seks.  Judul diseertai dengan gambar perempuan “Bupati” dan “Sekwilda”.

Misal sebut contoh saja cover Hesty Syani (31/1/90) berjudul, “Setelah 2 Kali Kapok Deh”, Cover Heidy Diana (24/2/90), “Istri Harus Pintar Goyang”, cover Herlin Wedhaswara (7/1/90), “Yang Penting Sudah Ngerasain”, cover Ami Ijib (9/9/90), “Berlinang Air Mata Dada”, cover Faradila Andy (19/8/90), “Seks Tidak di Satu Jenis”. Juga judul-judul lain di tahuns ebelumnya seperti “Suami Bisa Lebih Keras Lagi” (18/11/87), “Saya Masih Ingin” (12/8/87), “Bukan Giliran Betis Saya” (62, 6/1/88). Judul-judul covernya mengasosikan pembaca pada soal seks, apalagi dilengkapi dengan gambar “Bupati” dan “Sekwilda”.

Munculnya Petaka

Sejarahnya, tabloid Monitor awalnya terbit tahun 1972-1973 (dikelola TVRI), tetapi hanya bertahan sampai 24 nomor. Setelah dikelola  Arswendo Atmowiloto (Wendo) dkk dengan jurnalisme “lher” oplahnya pernah mencapai 782 eksemplar sekali terbit. Fantastis bukan?

Monitor juga menjadi populer karena mengaitkannya dengan acara populer di TVRI.  Akhir 80-an saat TVRI punya acara populer opera sabun “Return to Eden” (produksi Australia). Tabloid itu satu-satunya yang berani membahas. Monitor mengulas singkat cerita apa yang akan muncul pada tayangan di TVRI. Ini juga salah satu yang sangat ditunggu para penonton TVRI waktu itu.

Namun petaka muncul saat tabloid tersebut menampilkan hasil jajak pendapat. Jajak pendapat berjudul “Ini Dia: 50 Tokoh yang Dikagumi Pembaca” terbit di edisi 15 Oktober 1990. Polling terbuka itu mempersilakan pembaca untuk memilih tokoh yang dikaguminya dengan cara mengirimkan kartu pos ke redaksi.

Malang tak dapat ditolak. Hasil jajak pendapat ternyata menimbulkan masalah besar dan penentu “nasib” Monitor yang 30 persen sahamnya milik Menteri Penerangan Harmoko. Ranking menjadi masalah saat menampilkan Nabi Muhammad di urusan ke-11, persis di bawah Arswendo.

Protes, terutama dari umat Islam tak terbendung. Protes itu menjadi titik kulminasi karena Monitor memang tabloid yang mengumbar “Sekwilda” dan “Bupati”. Itu alasan lain yang membuat umat Islam protes.

Sebenarnya Monitor hanya menampilkan ranking dari pembaca. Hanya itu. Namun Monitor kurang jeli. Ia tidak memilih dan memilah kriteria tertentu. Misalnya, tidak boleh memasukkan nama Nabi dalam pilihannya.  Sumber masalahnya juga dari sini pula. Soal hasil polling kalau memang begitu apa yang harus diprotes? Nah, soal jurnalisme lher yang dikembangkan Monitor menjadi pemicu lain. Maka demo yang sampai mendatangi kantor redaksi media itu pun tak apat dielakkan.

Akibatnya, pada edisi 22 Oktober 1990, tabloid hiburan tersebut menyatakan permohonan maaf di cover depan tabloidnya,  “Kami, seluruh karyawan Monitor, memohon maaf yang sebesar-besarnya karena berbuat khilaf memuat  “Ini Dia: 50 Tokoh Yang Dikagumi Pembaca Kita” dalam terbitan No. 225/IV 15 Oktober 1990.” “Pemuatan tersebut dapat menimbulkan penafsiran yang keliru dan dapat menyinggung perasaan, khususnya umat Islam. Dengan ini, kami mencabut tulisan tersebut dan menganggap tidak pernah ada.”

Atas desakan masyarakat pula, Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) Monitor dibatalkan pada 23 Oktober 1990. Sementara itu, Arswendo dijatuhi hukuman 5 tahun penjara atas keteledorannya sebagai pemimpin redaksi.

Ditiru

Apa yang menarik dari kasus Monitor tersebut? Berdasar penelitian dan pengamatan saya pada tahun 1996 tersebut, masalah justru muncul setelah tabloid itu “mati”. Apakah saat Monitor mati jurnalisme lher benar-benar mati sesuai keinginan masyarakat? Tidak.  Setelah itu, “anak-anak” Monitor justru bermunculan. Beberapa tabloid yang sebelumnya tidak menerapkan jurnalisme lher pun mengisi kekosongan pasar pembaca.

Saya melihat diantaranya ada Cempaka Minggu Ini (Semarang),  Nyata (Surabaya), Citra (Jakarta) dan beberapa media yang kemudian menyudul seperti  BOS, Hot, Lipstik. Yang lain saya tidak ingat satu per  satu. Tentu tidak berubah total sebagaimana sajian Monitor, tetapi ada proses meniru. Minimal foto cover di bagian muka tabloid.

Tentu saya, perubahan beberapa tabloid karena matinya Monitor itu menunjukkan bahwa media hiburan tersebyt menjadi idola “anak-anak” Monitor  juga. Atau bahkan tabloid yang meniru itu awalnya tidak setuju juga pada jurnalisme lher yang dijalankan Monitor. Mereka protes karena tidak bisa menyangi atau protes karena kekalahan jumlah oplah. Tentu ada banyak versi. Intinya satu, jurnalisme “Sekwilda” dan “Bupati” semakin merebak setelah Monitor mati.

Ternyata, beberapa tabloid yang muncul bukan lantas ikut melawan jurnalisme lher Monitor. Tetapi justru menirunya. Maklum ini berkaitan dengan bisnis. Saling bersaing dan saling merebut pasar.  Tentu saja, jurnalisme lher yang dipraktikkan tabloid-tabloid itu bisa ikut dituduh “merusak” moral masyarakat, sebagaimana yang pernah ditudukan pada Monitor.

Politik Dinasti itu Cenderung Curang

Cerita soal Monitor itu hampir sama dengan politik dinasti yang sedang berkembang di Indonesia. Ada apa dengan politik dinasti? Mengapa politik dinasti? Santer berita wacana soal politik dinasti sejak Jokowi merestui Gibran Rakabuming Raka mmenjadi calon walikota Solo yang kemudian disahkan  oleh DPP PDIP. Sebelumnya santer berita kroni lain Jokowi juga ikut terlibat. Sebut saja, Doli Sinomba Siregar (Besan), Wahyu Purwanto (Gunung Kidul), Bobby Nasution (menantu).

Kalau ditanyakan pada mereka (keluarganya, partai pengusungnya, atau para simpatisannya) tentu itu bukan usaha membangun dinasti politik. Bisa jadi muncul bantahan,   bahwa setiap warga negara berhak ikut terlibat dalam politik. Meskipun Gibran sendiri mengatakan awalnya tak tertarik untuk terlibat politik. Hampir sama persis pernyataan pak Jokowi saat mau menjadi calon gubernur DKI Jakarta atau menjadi calon presiden (saat menjadi gubernur DKI Jakarta). Hampir sama pernyataan-pernyataan yang terungkap. Awalnya mengelak, tetapi akhirnya dilakukan. Sekali lagi, hak setiap warga negara terlibat dalam politik.

Apakah hanya Jokowi yang dipermasalahkan? Tentu tidak. Banyak para pejabat yang memanfaatkan jabatannya untuk membangun dinasti politik. Banyak sekali. Masalahnya menjadi wacana menarik karena Jokowi sedang berkuasa sebagai presiden.  Jika tidak, kasusnya tak akan menjadi heboh. Tentu ada yang menolak anggapan membangun dinasti politik, “wong hanya menjadi calon saja kok sudah paad ribut?” Kalau jawabannya begini apakah jika nanti terpilih berani mundur?

Misalnya laig, apakah Jokowi harus melarang keluarganya untuk terlibat dalam kompetisi Pilkada? Itu pilihan yang tidak mudah memang. Tetapi ini tantangan bagi seorang negawawan yang tak ambisius pada kekuasaan. Nanti sejarah akan mencatat bahwa kekuasaaan seseorang yang kemudian menjadi “pelicin” keluarganya ikut kompetisi menjadi catatan buruk bagi karir jabatannya.

Apakah Jokowi salah? Ya tidak bisa buru-buru disalahkan. Sebagai seorang yang punya kekuasaan tentu dia punya pengaruh. Apakah “resti” muncul semata-mata karena dia sebagai seorang ayah? Tentu saja tidak. Kedudukan dia sebagai presiden tentu tetap punya pengaruh. Dengan cara apapun alasan yang akan dilakukan, tetapi tuduhan kecenderungan membangun dinasti politik  tidak bisa dihindari. Soal kalkulasi politik yang mengitarinya tentu tetap ada. Tapi keputusan terakhir ada restu membuat pandangan publik atas munculnya dinasti politik   semakin kuat.

Salah satu kekuatan Jokowi selama ini adalah dia membangun politik tanpa ada dinasti yang memengaruhinya. Tentu ini modal besar kepercayaan masyarakat yang memilihnya. Namun, saat dia merestui anaknya menjadi calon wakil walikota, maka kekuatan yang sudah mulai goyah itu cenderung semakin luntur.

Sama dengan kasus Monitor, banyak orang dahulu memprotes dinasti politik yang dibangun pak Harto. Bisa jadi mereka yang meneriakkan dinasti politik itu sekarang menikmati. Atau mereka para pengamat yang menolak dinasti politik sudah diam karena mendapat keuntungan tertentu dari politik dinasti tersebut?

Politik memang luwes dan setiap saat bisa berubah. Namun,  kredibilitas yang selama ini dibangun akan rusak hanya gara-gara salah langkah dan tak punya pilihan keputusan berdasar “rasa” masyarakatnya. Dinasti politik yang dibangun tentu akan mencoreng kredibilitas karir politik seseorang.  Dinasti politik bisa melekat pada setiap orang, bahkan pada orang yang mengritiknya itu. Dinasti politik memang riil dan sah dalam praktik politik.  Tetapi  ia memberi dorongan besar dalam penyalahgunaan kekuasaan. Ini lebih pada soal moral politik.