Oleh Devi Ronata*
Terakota.id—Siapa yang tak mengenal Mohammad Hatta, seorang Founding Father, yang hidup dengan kesederhanaan. Ia juga seorang muslim taat yang memiliki rasa toleransi tinggi. Dibuktikan dengan cara mengakomodir kepentingan kaum minoritas terkait rumusan pembukaaan Undang-Undang Dasar 1945.
Baik golongan Protestan maupun Katholik menolak dicantumkannya tujuh kata seperti yang tercantum dalam rumusan Piagam Jakarta. Dalam otobiografinya, Mohammad Hatta menuliskan bahwa :
“Pada sore harinya aku menerima telepon dari Tuan Nishiyama, pembantu admiral Maeda, yang menanyakan, dapatkah aku menemui seorang Opsir Kaigun (Angkatan Laut) karena ia mau mengemukakan suatu hal yang sangat penting bagi Indonesia. Nishiyama sendiri akan menjadi juru bahasanya. Aku persilahkan mereka datang. Opsir itu yang aku lupa namanya, datang sebagai utusan kaigun dan menginformasikan bahwa wakil-wakil umat Protestan dan Katholik, yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang, berkeberatan sangat terhadap bagian kalimat dalam pembukuaan Undang-Undang Dasar yang berbunyi “Ketuhanan dengan Kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya”. Mereka mengakui bahwa bagian kalimat itu tidak mengikat mereka, hanya mengenai rakyat yang beragama Islam. Akan tetapi tercantumnya ketetapan seperti itu di dalam suatu dasar yang menjadi pokok Undang-Undang Dasar berarti mengadakan diksriminasi terhadap mereka golongan minoritas. Jika diskriminasi itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia”.
Terkait polemik itu tentu saja Mohammad Hatta tidak tinggal diam. Keesokan harinya, 18 Agustus 1945 Mohammad Hatta mengadakan musyawarah dengan beberapa tokoh antara lain Ki Bagus Hadikoesomo, Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Mr. Teuku Hasan. Berdasarkan musyawarah itu disepakat menghilangkan tujuh kalimat (Ketuhanan dengan Kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya) dan menggantinya dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Menurut Mohammad Hatta masalah tersebut diselesaikan melalui sidang kecil. Sidang berdurasi selama kurang dari 15 menit. Sidang itu suatu tanda bahwa pemimpin pada waktu itu benar-benar mementingkan nasib dan persatuan bangsa.
Pantas jika Mohammad Hatta disejajarkan dengan Gandhi. Bahkan penduduk Jepang menyebut Hatta sebagai “Gandhi of Java”. Mohamad Hatta dan Gandhi sama-sama memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan dan toleransi. Kita pantas meneladani sikap dan perilaku Mohammad Hatta, menempatkan persatuan dan kesatuan bangsa di atas kepentingan golongan.
Selain memiliki perilaku yang toleran Mohammad Hatta juga dikenal gemar bermain Bola. Dalam Seri Buku Tempo yang berjudul “Bapak Bangsa-Hatta Jejak yang Melampaui Zaman” mencatat masa remaja Hatta tidak dipenuhi dengan ilmu dan agama saja.
Ia mencari kesenangan hidup joie de vivre, dengan bermain bola. Biasanya bermain bola di Plein van Rome, yaitu lapangan sepak bola yang terletak di Alun-Alun kota depan kantor Gemente, Padang. Ia bergabung dengan klub sepak bola yang bernama “Young Fellow”. Klub ini tidak hanya beranggotakan anak-anak pribumi tetapi juga beranggotakan anak-anak Belanda.
Semasa Hatta menjadi anggota, klub ini pernah menjadi juara dan merajai Sumatera selama tiga tahun berturut-turut. Ketika bermain bola Mohammad Hatta menempati posisi sebagai seorang gelandang tengah dan sesekali berganti posisi menjadi bek.
Orang-orang belanda memberikan julukan kepada Hatta onpas seerbaar (sukar diterobos begitu saja). Dengan demikian dapat kita ketahui Hatta tidak hanya handal dalam berpolitik tetapi juga handal dalam bermain Bola.
Sekali lagi kita patut meneladani sosok Mohammad Hatta yang memiliki keseimbangan hidup selain pandai secara intelektual dia juga rajin dalam berolahraga. Suatu teladan hidup yang positif.
*Penulis merupakan Guru Sejarah SMAK Kolose Santo Yusup Malang dan juga Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Malang.
Pembaca Terakota.id bisa mengirim tulisan reportase, artikel, foto atau video tentang seni, budaya, sejarah dan perjalanan ke email : redaksi@terakota.id. Tulisan yang menarik akan diterbitkan di kanal terasiana.
Merawat Tradisi Menebar Inspirasi