Moehammad Sinwan sebagai Sosok Pencerdas Bangsa Oleh: Hasan Basri Maulana Firmansyah*

Moehammad Sinwan alias Lek Boss. (Foto: Teater IDEoT).
Iklan terakota

Terakota.ID–Ada banyak pemahaman yang berbeda saat kita menghadirkan kata guru dalam sebuah perbincangan. Kabarnya, dulu guru adalah salah satu profesi yang sangat mulia. Bagaimana tidak, tanpa ilmu peradaban seperti sekarang ini mungkin tidak akan kita hadapi. Akibat perubahan zaman, belakangan guru tidak dipandang semulia atau sepenting dulu.

Kabarnya, ada guru yang dilecehkan, dipenjara, bahkan dianiaya hingga binasa oleh muridnya. Entah, siapa yang menjadi guru atas tindakan-tindakan keji demikian. Apakah guru-guru yang dihadirkan kemajuan teknologi dari jaringan internet atau tindakan guru yang memang tidak bisa digugu lan ditiru yang menjadi modal kesemrawutan dunia pendidikan kita hari ini? Entahlah…

Selain itu, jika berbicara tentang pendidikan, keberadaan pemerintah tentu berperan penting akan hal ini. Jika salah satu tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tertera pada Pembukaan UUD 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, maka sudah seharusnya keberadaan pemerintah hadir untuk melaksanakan tujuan itu.

Namun, kenyataan pahit bangsa Indonesia hingga saat ini adalah tidak semua bangsa dicerdaskan oleh negara. Masih ada bangsa yang tidak mendapatkan haknya untuk menjadi cerdas. Bahkan, kata “bangsa” dalam hal pendidikan hanya berpihak pada mereka yang punya uang, kenalan “orang dalam”, dan sebagainya. Sungguh, memang masih banyak pekerjaan rumah kita untuk memajukan bangsa negara tercinta ini.

Pekerjaan Seorang Terdidik

Sebagai seorang terdidik, adalah lumrah jika orang terkait menyampaikan ilmunya demi sebuah keabadian dan perkembangan ilmu itu sendiri. Kesadaran ini nyatanya belum sepenuhnya tertanam pada sosok-sosok yang berkesempatan mendapatkan jenjang pendidikan tinggi. Dalam hal ini, masih banyak orang yang mengenyam pendidikan tinggi demi orientasi mereka atas materi.

Realitasnya memang seperti demikian, seseorang bersekolah hanya untuk mendapatkan ijazah sebagai bekal untuk melamar pekerjaan atau mencoba peruntungan nasib. Stigma yang masih berkeliaran di lingkungan kita hari ini pun masih sama, yakni: semakin tinggi pendidikan, maka semakin besar peluang mendapatkan kerja yang lebih baik atau gaji yang lebih besar.

Hal ini memunculkan permasalahan baru seperti pembangunan sekolah atau universitas berkedok bisnis, calo untuk masuk universitas, jual beli ijazah, dan sebagainya. Dengan stigma terkait pula, profesi guru bagi seorang terpelajar kian tidak populer, mengingat gajinya yang pas-pasan, bahkan ada juga yang sangat menyengsarakan.

Jika ada banyak warna hitam dalam dunia pendidikan kita hari ini, bukan berarti tidak ada warna putih. Moehammad Sinwan adalah salah satu sosok yang dapat mempresentasikan warna cerah untuk dunia pendidikan. Sebagai guru Bahasa Indonesia di salah satu SMA Kota Malang, sosok yang juga merupakan Pimpinan Umum Teater Ideōt (salah satu kelompok Teater di Malang) ini benar-benar hadir secara utuh sebagai guru.

Saya bahkan semua siswa yang pernah diajar Pak Sinwan pasti masih ingat dengan kesan pertemuan pertama dengan beliau di kelas. Saat itu, beliau mempresentasikan potongan sajak W. S. Rendra di depan kelas yang berisi:

“Kesadaran adalah matahari,
kesabaran adalah bumi,
keberanian menjadi cakrawala,
dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.”
– W.S. Rendra

Bermodalkan sajak itu pula, Pak Sinwan berhasil menjalin kontrak dengan seisi kelas agar bisa tertib dengan aturannya selama masa pembelajaran. Dari hal ini, kecerdasan Pak Sinwan sebagai seorang guru tidak dapat diragukan. Sebagai seorang terdidik, Pak Sinwan seolah mampu membuat seisi kelas berpikir tanpa harus membaca berlembar-lembar halaman buku.

Malahan, dari beberapa kata dalam puisi yang ia sampaikan bisa menstimulus siswa untuk menyelami satu buku yang bisa menjadi candu untuk membaca lebih banyak buku. Dari hal ini Pak Sinwan berhasil melaksanakan tugasnya sebagai guru yaitu mengajak orang lain untuk berpikir.

Ilmu dan Kehidupan

Ada banyak pepatah yang mengagungkan keberadaan ilmu. Hal itu cukup logis jika mengingat bahwa apa-apa yang ada dalam kehidupan kita pasti ada ilmunya. Hal inilah yang secara tidak langsung diterapkan Pak Sinwan sebagai pendidik. Setiap tindakan darinya pasti ada alasan dan tujuannya, hukum sebab-akibat yang dipraktikan beliau secara tidak langsung mengajarkan kita untuk bersikap rasional, bertanggungjawab, hingga disiplin.

Ketegasan Pak Sinwan terkait hal ini tidak selesai di ruang kelas saja. Ketika berada bersama anggota Teater Ideōt, beliau lebih tegas lagi perihal ini. Tidak jarang anggota dari teater yang ia pimpin mendapat “semprotan” saat melakukan kekeliriuan. Bahkan, jika dalam proses latihan untuk sebuah pertunjukan, bukan hanya cacian saja yang dilontarkan, tapi sapu hingga kursi pun bisa tiba-tiba melayang. Jika dianggap kejam, memang demikian adanya. Namun, percayalah bahwa Tindakan terkait adalah bagian dari proses yang berhasil menciptakan aktor-aktor dan pementasan yang hebat.

Dalam berbagai kesempatan, Pak Sinwan juga sering mengungkapkan bahwa, “orang hebat itu harus kuat uji! Gatotkaca saja bisa tangguh sakti mandra guna karena digembleng dan digodok di kawah Candra Dimuka oleh Bathara Narada. Sekarang zaman sudah berubah, banyak orang tidak kuat diuji. Latihan teater dengan saya sekali saja, besoknya sudah menghilang.

Padahal saya sudah tidak sekeras dulu.” Kenyataan seperti ini memang terbukti dan terus dialami oleh Pak Sinwan dan Teater Ideōt-nya. Hal ini jugalah yang menjadi alasan kenapa logo dari Teater Ideōt adalah ovum dan sperma. Bukankah yang berhasil terlahir di dunia adalah berasal dari bibit terkuat? Dalam hal ini, Teater Ideōt oleh Pak Sinwan dijadikan sebagai wadah untuk menghasilkan orang-orang dengan kapasitas yang unggul dan mampu melawan arus perubahan zaman.

Logo Teater Ideot (Sumber: Dok. Teater Ideōt)

Teater Sebagai Sebuah Proses Pencerdasan

Kesemrawutan pada bidang pendidikan tentu berdampak pada bidang-bidang lainnya, salah satunya seni. Pada seni pertunjukan atau teater, kesalahpahaman tentang akting yang sering diterjemahkan sebagai bentuk kepura-puraan tentu sering kita dengar. Pak Sinwan sebagai pelatih di Teater Ideōt sering menjelaskan hal ini secara gamblang. Singkatnya, akting itu bukan sebuah kepura-puraan.

Seorang aktor itu harus melakukan akting dengan sungguh-sungguh. Untuk bisa menjadi atau memerankan orang lain dengan baik, seorang aktor itu harus bisa menjadi diri sendiri terlebih dahulu. Hal ini selaras dengan isi karya Mochtar Lubis yang berjudul “Harimau! Harimau!” di mana untuk bisa mengalahkan seekor harimau, Buyung (tokoh utama) harus mengalahkan harimau dalam hatinya terlebih dahulu. Dan salah satu modal utama seorang aktor – untuk bisa mencapai tahap tersebut – yang ditanamkan oleh Pak Sinwan adalah, “aktor itu harus jujur, tulus, dan ikhlas.” Ketiga hal ini pula yang kerap disebut oleh beliau sebagai sebuah integritas seorang aktor.

Lantas, apakah belajar teater harus menjadi aktor? Jawabannya adalah tidak. Belajar teater bisa menjadi apa saja, karena menurut Pak Sinwan, “belajar teater adalah belajar hidup.” Oleh sebab itulah, bentuk latihan di Sanggar Teater Ideōt tidak selalu terikat pada latihan-latihan seputar pementasan. Bentuk latihan teater di Sanggar Teater Ideōt sangat beragam dan sering kali terlihat seperti bukan latihan.

Bagaimana tidak, kadang, menonton berita, dialektika, membersihkan Sanggar, mengerjakan PR, olahraga, hingga mengaji pun bisa menjadi bentuk dari latihan di Sanggar Teater Ideōt. Kalau dijabarkan, aktivitas-aktivitas terkait akan meningkatkan kualitas diri dalam hal manajemen waktu, tenaga, hingga pikiran yang tentu secara otomatis akan mencerdaskan. Ketika latihan-latihan terkait sering dilakukan, dampaknya akan menjadi kebiasaan yang baik bagi pelakunya; terlepas dia akan menjadi aktor atau pun tidak.

Pembuktian bahwa berteater adalah sebuah proses yang mencerdaskan dan tidak mengharuskan orang terkait menjadi aktor tertulis dalam buku berjudul “Narasi Kehidupan Teater.” Dalam buku yang sama, terdapat beberapa kisah dari orang yang pernah berkecimpung dengan Teater Ideōt. Ada yang menjadi penulis, kepala sekolah, pengusaha, hingga anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Output dari Teater Ideōt cukup beragam bukan?

Ketulusan Seorang Lekboss

Dalam proses berkesenian, Pak Sinwan sebenarnya mempunyai banyak nama samaran yang bisa disesuaikan dengan keadaan. Namun, beliau paling suka jika dipanggil dengan nama “Lekboss” tanpa embel-embel lainnya. Sebagai seorang guru, Lekboss seolah tidak mau memberikan jarak antara diri dengan muridnya. Penjelasan perihal makna nama Lekboss ini pun cukup menarik. Pada suatu kesempatan, dengan santai Lekboss menjelaskan bahwa makna kata “Lek” adalah plesetan dari kata “cilik” yang berarti kecil, sehingga makna keseluruhannya adalah bos kecil.

Kenapa kecil? Siapakah bos besarnya? Apakah investor, kongsi bisnis, atau istri tercintanya? Sambil terkekeh, Lekboss menjelaskan bahwa beliau suka saja dengan sebutan itu. Menurut Lekboss, meski pun dirinya adalah bos, dia tidak seperti bos-bos kebanyakan yang sering dipandang bergelimang harta. Meski belum kaya raya, setidaknya menyebut diri sendiri dengan sebutan bos kecil bukanlah masalah besar bukan?

Lekboss adalah sosok yang sederhana. Ditipu, ditinggalkan anggotanya, mengalami kerugian dalam pementasan, dan berbagai kepahitan hidup lainnya seolah menjadi hal yang biasa bagi beliau. Lekboss sempat menjelaskan, “ketika kamu sudah jatuh, tapi masih dijatuhkan lagi, berarti kamu belum jatuh di lubang yang terdalam. Maksudnya, kalau kamu sudah jatuh maksimal, itu artinya kamu tinggal berusaha naik.”

Salah satu adegan Pentas NAKAMITSU, 2014. Naskah oleh Zeami. Dan Mohammad Sinwan, Sutradara. (Sumber: Arsip Teater IDEoT)

Dalam suatu kesempatan, ada bagian tulisan Lekboss yang cukup menampar dan berpengaruh kepada kehidupan saya hingga saat ini di mana isi tulisan tersebut adalah, “hidup ini tidak bergantung atas harga pada manusia. Hidup ini bergantung atas harga pada Tuhan.” Dari tulisan ini, saya semakin paham akan alasan di balik ketenangan Lekboss dalam menghadapi segala masalah. Bahkan, saya jadi menerka-nerka bahwa: jika Pak Sinwan menganggap dirinya sebagai Lekboss atau bos kecil, maka Tuhan adalah bos besarnya. Dengan demikian, adalah sebuah kewajiban untuk menjadi bos kecil di lingkungan sekitar demi memeriahkan perintah-Nya.

“Hidup yang berbunga-bunga adalah tipu daya, sering kali kita terperangkap di sana. Sisi hidup lainnya adalah air mata, sering kali kita tak sanggup menerima.”
– Lirik lagu Ironis dari Grup Bendera Hitam Setangah Tiang

Sesunggunya ada banyak sekali ilmu yang bisa didapatkan dari seorang Lekboss. Beruntunglah orang-orang yang pernah berkecimpung hingga berproses bersama beliau. Kini, tepat di usia ke-55-nya, Lekboss telah meninggalkan kita semua. Terima kasih sudah menjadi guru yang baik, Lekboss. Semoga Allah SWT memberikan tempat ternyaman yang hangat dan penuh cahaya untukmu. Aamiin yaa rabbal ’aalamiin.

Obituarium Moehammad Sinwan (Sumber: Dok. Teater IDEōT)

 

“Selamat tinggal hanya untuk mereka yang suka dengan mata mereka. Karena bagi mereka yang suka dengan hati dan jiwa tidak ada hal seperti pemisah.”
–  
Jalaluddin Rumi

– µFOS Lab (NKUST), 10 Maret 2022

*Mahasiswa Master di National Kaohsiung University of Science and Technology, Taiwan
hasan.bsr46@gmail.com  @hasfirmansyah