Mbah Suwarno, pengasuh Sanggar Taruna Krida Rasa (Takir). Mengajar para dalang cilik. (Terakota/Aris Hidayat)
Iklan terakota

Modifikasi Pakem Wayang

Terakota.id–Wayang sebagai seni tradisi kini menghadapi tantangan perubahan jaman. Perilaku masyarakat berubah, berdampak pula pada tren menonton. Soerjo Wido Minarto, akademisi Jurusan Seni dan Desain, Universitas Negeri Malang menilai kesenian tradisi harus adaptif dengan perubahan jaman, tanpa melepas pakem.

“Tradisi bukan sesuatu yang diam, bisa bergeser baik cepat maupun lambat,” kata Wido. Pagelaran wayang kini bersinggungan langsung dengan pakem, penonton, pasar, hingga penanggap. Suyanto menyatakan hal serupa, tradisi bergeser sesuai perkembangan jaman.

“Dulu era 1981 ramai pro-kontra, hingga terjadi hujat-menghujat antar seniman wayang,” ujar Suyanto,akademisi Jurusan Pedalangan, ISI Surakarta. Menurutnya seniman perlu adaptif, kreatif, namun bertanggung jawab. Pakem bisa bergeser, namun tujuannya mesti merujuk pada nilai adiluhung leluhur.

Ki Surwedi, dalang sekaligus budayawan asal Sidoarjo menambahkan seni sebagai tontonan dan hiburan selayaknya dinamis, agar tetap diminati penonton. Beberapa seniman tradisi memang kekeh mempertahankan pakem, hingga ada yang menolak menonton wayang kreasi. Namun, masyarakat awam sebagai penonton utama juga perlu dipertimbangkan.

“Perlu dilakukan adaptasi tanpa merubah pakem, bisa dengan memperpendek durasi gendhing. Juga menyesuaikan keperluan pagelaran.”

Ki Surwedi menyarankan dalang menguasai pakem tradisi sekaligus kreasi. Pentas semalam suntuk tetap mempertahankan pakem. Sementara pagelaran wayang ringkas perlu menggeser tradisi, seperti penggunaan gendhing baru, pemotongan durasi.

“Harus bisa membedakan mana yang dipakemkan, mana yang diubah. Kontekstual sesuai tujuan pagelaran,” pungkas Ki Surwedi.

Literasi Seni Wayang

Kesenian wayang belum diajarkan dalam sistem pendidikan formal sekolah. Suyanto menambahkan beberapa akademisi perdalangan mencoba concern menulis buku wayang untuk anak. Junaidi, akademisi ISI Yogyakarta bersama rekannya menulis beberapa buku. Di antaranya Wayang Sebagai Media Pendidikan Budi Pekerti Bagi Generasi Muda Jilid 1, Anatomi Wayang Kulit Purwa, Wayang Orang Anak-Remaja dan Pendidikan Karakter Bangsa, Pengembangan Wayang Orang Anak-Remaja sebagai Medi Pendidikan Karakter Bangsa.

Suyanto, akademisi Jurusan Pedalangan ISI Surakarta  menilai guru tak harus mematok pembelajaran seni dan budaya pada buku paket. “Anak mengenal wayang layaknya bukan dimulai dari teori pakem atau gaya pedalangan,” ungkapnya. Pun menilik esensi wayang sendiri yang bermakna boneka, memiliki cakupan luas. Tak berpatok pada wayang kulit, wayang juga melingkupi wayang golek, wayang krucil, dan lain sebagainya.

“Harapannya di Jawa Timur ada pelajaran pengenalan wayang, seperti di Yogyakarta yang telah membuat kebijakan pelajaran Muatan Lokal,” kata Suyanto.

Ki Surwedi menambahkan mengenalkan wayang dengan cara memancing ketertarikan anak-anak. Praktik dan berdialog dengan penggiat wayang.  Kesenian di Jawa Timur yang tak diajarkan di sekolah memaksa siswa untuk mempelajari pedalangan secara non-formal, nyantrik.

“Sekolah yang fokus mengajarkan seni yakni SMKI Surakarta, kini SMKN 8 Surakarta. Seniman banyak dilahirkan dari sekolah ini, terutama yang melanjutkan studi ke institute seni,” paparnya.

Wido menyarankan pengenalan wayang pada anak dengan mengenalkan nama tokoh, kharakter, bentuk demonstrasi wayang. Ia menyayangkan di sekolah, sedikit guru yang menguasai wayang, apalagi di Malang. “Sekolah umum, sejauh ini konsep wayang Mataraman diajarkan melalui pelajaran Seni Budaya. Masih ada wayang Banyumasan, Sunda, Mojokerto dan lain-lain belum dikenalkan,” kata Wido.

Tujuh dalang cilik wayang gagrak Malang tampil memperingati hari wayang di Pademokan Seni Mangun Dharma. (Foto: FB/Wibie Maharddhika).

Ia menyayangkan dalang-dalang di Malang belum banyak yang mengunggah karya ke media digital. Kondisi ini dinilainya menghambat pengenalan wayang pada anak, khususnya Wayang Malangan.

“Pelaku seni wayang dan manifestasi pagelaran wayang pada akhirnya hanya dipahami oleh komunitas internal. Pandemi ini jadi momen yang pas untuk memulai seniman bergerak di media daring,” ungkap Wido.

Referensi Rujukan Wayang Malangan

Wayang sebagai seni tradisi lisan yang dikelirkan atau ditampilkan melalui layar (kelir), menuai perdebatan terkait asal rujukan aslinya. Ki Suwardi selama berdiskusi dengan penggiat wayang lain di Jawa Timur sisi utara dan Malangan era 1970 hingga 1980-anmengungkapkan tak ada rujukan tertulis tentang kisah, maupun tokoh wayang jekdong. “Lakon wayang carangan (kreasi) atau mengadaptasi dari Wayang Mataraman,” kata Ki Surwedi.

Suyanto menambahkan dalang Malang disebut sebagai ‘dalang kondho keling’, angger nyekel iling (saat memegang wayang, langsung ingat pakem). “Sumber rujukan oral secara turun temurun, bukan sumber tertulis,” ungkapnya. Secara umum kisah mengambil dari Ramayana dan Mahabharata, dengan sanggit yang berbeda-beda. Rujukan tertulis baru diadakan akhir-akhir ini, generasi baru dalang.

Dalam rangka membuat literasi wayang, Suyanto menulis buku berjudul Panduan Praktik Pedalangan Jawa Timuran Gagrak Malangan. Menukil wayang Malangan wilayah selatan, buku ini menyajikan konten audio-visual terkait materi pedalangan yang dapat diakses melalui barcode.

“Bukan bermaksud menggeneralisasi wayang Malangan, melainkan memberi sumbang saran untuk mendorong semangat seniman dan peminat pedalangan gagrak Malangan.

Sistem Pembelajaran Dalang Tradisi

Terdapat dua pola tradisional proses menjadi dalang Wayang Jekdong. Pertama, nyantrik, meguru pada dalang setempat untuk mendapat pendidikan dasar mendalang. Kedua, nyangkok, paket nyantrik ditambah meniru gaya dalang senior dari sub-gaya lain di Jawa Timuran.

Amen, prosesi pemantaban murid cantrik dalang ketika siap memasuki arena pagelaran. Amen dilakukan atas inisiasi pribadi, didukung saran beberapa panjak. Jua bisa dilakukan karena perintah guru dalang maupun orang tua murid. Murid ditemani lima atau enam panjak datang membawa kotak kecil berisi beberapa lembar wayang. Perangkat gamelan dipersiapkan, kendhang, gender, saron, gong kempul,  layar (kelir) kecil dan mendong (pengganti batang pohon pisang).

Rombongan kecil Amen Pundhungan berjalan mencari lokasi strategis nan lapang. Gamelan ditabuh untuk mengundang perhatian orang. Pertunjukan singkat satu lakon digelar. Besek atau kaleng bekas diedarkan untuk menampung sumbangan penonton.

“Mengamen sambil memikul perangkat pagelaran. Jika beruntung, rombongan didatangi penanggap semalam suntuk,” tulis Wisma Nugraha Christanto dalam artikel ilmiahnya AMEN : Tatakelola Wayang Jekdon dalam Tradisi Jawa Timuran.

Andheg – andheg disebutnya, proses permintaan mempergelarkan lakon wayang kulit purwa semalam suntuk. Menghentikan perjalanan Amen. Cantrik mengelola rombongan memasuki arena pagelaran sesungguhnya, mulai dari sumber daya manusia, pengetahuan dan kemampuan mendalang, hingga negosiasi biaya pergelaran dan fasilitas lain yang jadi tanggung jawab penanggap.

Bukan hanya tampil di lokasi strategis, prosesi Amen dapat dilakukan dengan cara mengamen atau menjajakan dari pintu ke pintu penduduk. Disebutlah nama Amen Mlawang, prosesi nan lebih menantang mentak dan tenaga rombongan. Cara ini dinilai lebih baik dan cepat memperoleh andheg-andheg.

Prosesi Amen menjadi tempaan akhir cantrik dalang untuk mengasah memori dan kemampuan praktis dalam menggelar lakon wayang. Cantrik diharap menjalani laku prihatin, mengamati selera masyarakat tentang lakon wayang, ajang promosi, hingga melatih kepemimpinan menghadapi situasi dan kondisi lapangan.

Prosesi Amen sebagai Metode Promosi Gelaran Wayang Jekdong

Amen kerap dilakukan dalang di desa kala petani sawah dan tambak belum panen.Masa ini jadi bulan yang minim ritual hajatan alias minim tanggapan. Petani masih memutarkan uangnya untuk biaya operasional bertani.

Amen Rendhengan, digelar di musim penghujan, masa awal tanam padi dan pembibitan ikan,” tulis Wisma Nugraha Christanto.

Wayang Jekdong menjadi syarat ritual upacara keleman, upacara memohon berkat pada Tuhan agar tanaman subur dan menghasilkan buah nan berlimpah.

“Ritual keleman diadakan ketika padu sudah muncul buah atau ketika tanaman padi dianggap telah berakar kuat,” tulis Wisma Nugraha Christanto.

Kesenian rakyat lainnya, tandhakan atau tayuban kerap jadi alternatif lain penanggap. Dalang di desa menyikapi kondisi ini dengan gelar Amen. Selain bersaing dengan seniman lintas jenis, ia harus bersaing dengan dalang Jekdong yang lebih populer langganan masyarakat.

Akhir-akhir ini dalang tradisi di desa Jawa Timuran membuat sistem Amen di musim kemarau, Amen Rendhengan. Rombongan direkrut dari tenaga profesional, biasanya dari unsur panjak. Cucuk namanya, tenaga penyelenggara pergelaran wayang jekdong. Relasi para cucuk dioptimalkan untuk mencari keluarga atau perseorangan yang potensial menanggap Wayang Jekdong sebagai bagian dari acara hajatannya.

Cucuk biasa memiliki jaringan relasi nan kuat hingga pelosok dusun, meliputi persewaan wayang, gamelan, sound system, panggung, transportasi hingga perijinan penyelenggaraan pesta. Jasa cucuk masuk dalam anggaran pergelaran keseluruhan, sekira sepuluh persen.

Tradisi Amen sebagai metode marketing pagelaran Wayang Jekdong tercatat dalam lakon Semar Ambarang Jantur dan Wisnu Babar Wade. Prasasti Pupus berangka tahun 1022 Caka menuliskan “…..Pengendang bernama si Manunggang, pelawak bernama di Barangkung, pengamen bernama si Nung, diberi bebed wdihan syani himihimi (?) seberat 4 masa, masing-masing Citrakarsa pemain topeng Sowati diberi 10 masa.”

Prasati Waharu III, menyebut perijinan menanggap pertunjukan ngamen di gelanggang. Prasasti Panumbangan (1062 Caka) memuat kewenangan menanggap menmen.  Prasasti  Poh (tahun 905 AD) memuat gambaran suasana pesta penetapan Sima dengan penampilan seni tari, gamelan dan lawak.